Thursday, January 2, 2014

Taklif Adalah Syarat Wajib Beribadah Adapun Tamyiiz Menjadi Syarat Sah Ibadah

QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Ketujuh :

التَّكْلِيْفُ وَهُوَ الْبُلُوْغُ وَالْعَقْلُ شَرْطٌ لِوُجُوْبِ الْعِبَادَاتِ , وَالتَّمْيِيْزُ شَرْطٌ لِصِحَّتِهَا إِلاَّ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ فَيَصِحَّانِ مِمَّنْ لَمْ يُمَيِّزْ , وَيُشْتَرَطُ مَعَ ذَلِكَ الرُّشْدُ لِلتَّصَرُّفَاتِ , وَالْمِلْكُ لِلتَّبَرُّعَاتِ

Taklîf - yang memuat unsur baligh dan berakal- adalah syarat wajib beribadah (atas seseorang, red). Adapun (usia) Tamyiiz menjadi syarat sah ibadah, kecuali dalam ibadah haji dan umroh yang tetap sah bila dilaksanakan oleh orang yang belum memasuki usia Tamyiiz. Selain syarat-syarat di atas, juga disyaratkan adanya sifat ar-rusyd [1] dalam penggunaan harta (melakukan tasharruf) dan sifat kepemilikan untuk melakukan tabarru'.



Penjelasan Kaidah
Kaidah ini mencakup beberapa pedoman yang menjadi dasar pelaksanaan ibadah, baik ibadah wajib maupun sunat, dan juga dasar pelaksanaan akad tasharruf (wewenang menggunakan harta dalam jual beli, sewa menyewa dsb.) dan tabarru' (menyumbangkan harta, pent).

Maksudnya, seseorang yang mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal, telah terkena kewajiban untuk melaksanakan seluruh ibadah yang bersifat wajib, dan pundaknya telah terbebani dengan seluruh beban syari'at.

Hal ini dikarenakan, Allah Azza wa Jalla Raûf Rahîm (Dzat yang Maha Santun dan Maha Penyayang terhadap hamba-Nya). Sebelum seorang insan mencapai usia dimana ia telah sanggup menjalankan ibadah-ibadah dengan sempurna, yaitu pada usia baligh, maka Allah Azza wa Jalla tidak membebankan beban-beban syariat kepadanya. Demikian pula, jika seseorang tidak memiliki akal (gila atau tidak sadar, red) – yang menjadi hakikat seorang insan-, maka ia lebih utama untuk tidak dikenai beban. Orang yang tidak memiliki akal, tidak berkewajiban melaksanakan ibadah apapun dan jika pun ia mengerjakannya, maka apa yang dilakukan tidak sah. Karena, ada diantara syarat-syarat dalam pelaksanaan ibadah yang tidak terpenuhi yaitu niat. Niat tidak mungkin terwujud dari orang yang tidak berakal.

Usia baligh dapat diketahui dengan beberapa tanda di antaranya dengan keluarnya air mani, baik dalam keadaan terbangun ataupun ketika tidur, atau jika telah genap berusia lima belas tahun, atau dengan tumbuhnya bulu kasar di sekitar kemaluan. Ketiga tanda tersebut berlaku untuk laki-laki maupun perempuan. Dan khusus untuk perempuan ada satu tanda lagi yang menunjukkan dia telah baligh yaitu haid. Jika ia telah haid, berarti ia telah baligh.

Perlu diperhatikan, dalam perjalanan usianya, seorang manusia akan memasuki fase tamyîz sebelum memasuki fase baligh. Seorang yang telah masuk fase tamyîz (berusia tujuh tahun), maka ia diperintahkan untuk melaksanakan sholat dan ibadah-ibadah yang mampu ia kerjakan. Ibadah-ibadah tersebut bukan berstatus wajib atas dirinya, karena ia belum baligh. Jika telah berusia sepuluh tahun, namun ia belum juga mau rutin dalam melaksanakan sholat maka orang tuanya disyariatkan memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai, dalam kerangka pendidikan (dan pembinaan), bukan dalam kerangka sedang mewajibkan.

Dari sini dapat diketahui bahwa semua ibadah yang dikerjakan oleh anak-anak yang telah mencapai usia tamyîz itu telah sah. Karena jika dia telah bisa membedakan beberapa hal serta secara global bisa mengetahui mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya, berarti ia memiliki akal yang bisa ia pakai untuk merangkai niat dalam melaksanakan ibadah dan kebaikan.

Sedangkan anak yang belum sampai pada usia tamyîz, maka semua ibadahnya tidak sah. Karena dalam kondisi seperti ini, ia sama dengan orang yang tidak berakal yang tidak mempunyai niat yang shahih. Kecuali dalam ibadah haji dan umrah. Kedua ibadah ini tetap sah, kendati dikerjakan oleh anak yang belum mencapai usia tamyîz. Dalam sebuah hadits yang shahîh diterangkan :

رَفَعَتْ إِلَيْهِ امْرَأَةٌ صَبِيًا فِي الْمَهْدِ , فَقَالَتْ : أَلِهَذَا حَجٌ ؟ قَالَ : نَعَمْ وَلَكِ أَجْرٌ

Seorang wanita mengangkat seorang anak kecil yang masih digedong kearah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu ia bertanya : Bolehkah anak ini melaksanakan haji ? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Boleh dan bagimu pahala. [2]

Dengan demikian, anak yang belum mencapai usia tamyîz, jika melaksanakan ibadah haji ataupun umrah, maka ibadahnya sah. Dalam hal ini, walinya yang meniatkannya untuk ihram dan menjauhkannya dari perkara-perkara yang dilarang ketika ihram. Demikian pula, si wali harus membawa si anak untuk hadir di tempat-tempat manasik haji dan tempat-tempat masya'ir semuanya. Dan si wali mewakili si anak dalam mengerjakan manasik yang tidak mampu ia kerjakan seperti melempar jumrah.

Selain ibadah haji dan umrah, ibadah mâliyyah termasuk ibadah yang diperkecualikan. Karena ibadah mâliyah seperi membayar zakat, nafkah wajib serta kaffârah adalah wajib atas semua orang; dewasa, anak kecil, yang berakal ataupun orang yang tidak berakal. Hal ini berdasarkan keumuman nash baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[3]

Adapun dalam masalah tasharruf (wewenang menggunakan harta untuk jual beli, sewa menyewa dsb.), maka disamping disyaratkan baligh dan berakal juga ditambah rusyd. Karena tujuan utama dalam tasharruf ini adalah menjaga harta. Rusyd maksudnya orang tersebut mempunyai sifat bijak dalam penjagaan dan pemanfaatan harta tersebut serta memahami akad. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. [an Nisâ'/4: 6]

Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla memberikan syarat kepada wali yang mengurusi anak yatim dalam menyerahkan harta kepada anak yatim tersebut, yaitu telah terpenuhi dua syarat pada anak yatim. Dua sifat itu adalah baligh dan rusyd. Jika walinya masih ragu, apakah syarat rusyd telah terpenuhi atau belum, maka Allah Azza wa Jalla memerintahkan untuk menguji kemampuan anak tersebut dalam menjaga dan membelanjakan harta. Jika anak tersebut ternyata telah mempunyai kemampuan yang baik, maka harta anak yatim yang ada dalam kekuasaan wali bisa diserahkan kepada si yatim. Namun jika belum, maka hartanya tetap ditahan (tetap berada di tangan wali, red) guna menghindarkannya dari penyia-nyiaan terhadap harta.

Dari sini dapat diketahui bahwa baligh, berakal dan mempunyai sifat rusyd merupakan syarat sah melakukan semua bentuk muamalah (jual beli, sewa menyewa dan semisalnya). Orang yang tidak memenuhi persyaratan ini maka semua muamalah yang dia lakukan tidak sah dan hendaklah dilarang dari melakukan muamalat.

Adapun masalah tabarru' (menyumbangkan harta) yaitu memberikan harta dengan tanpa imbalan, bisa berupa hibah, sedekah, wakaf, membebaskan budak, dan semisalnya, maka selain persyaratan baligh, berakal, dan rusyd, orang yang bertabarru' haruslah orang yang memiliki harta tersebut. Sehingga akadnya menjadi sah. Karena orang yang sekedar menjadi wakil dari pemilik harta, atau orang yang sekedar diberi wasiat, saksi wakaf, ataupun wali anak yatim dan wali orang gila, jika ia yang melakukan tabarru' dengan harta orang yang menjadi tanggungannya itu, akadnya tidak sah. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfa`at. [al-An'âm/6: 152]

Yaitu, dengan cara yang baik untuk harta mereka, lebih menjaga dan lebih bermanfaat untuk harta mereka tersebut. Wallahu a'lam.

(Sumber : Al-Qawâ'id wal-Ushûl al-Jûmi'ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî'ah an-Nâfi'ah, karya Syaikh 'Abdur-Rahmân as-Sa'di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin 'Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XII/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Penulis akan menerangkan maknanya di akhir pembahasan.
[2]. HR. Muslim dalam Kitâbul Hajj bab Shihhatu Hajjis Shabiyyi, no. 1336, dari Ibnu 'Abbâs Radhiyallahu anhu.
[3]. Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلاَ فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ ....

Tidak ada seorang pemilik emas ataupun perak yang tidak ia tunaikan hak yang wajib untuk ia bayarkan darinya (berupa zakat) kecuali pada hari Kiamat nanti hartanya akan dijadikan lempengan-lempengan yang dipanaskan dalam neraka untuk menyiksanya….[HR. Muslim dalam Kitâbuz Zakâh bab Itsmi Mâni'iz Zakâh 2/680]

Menghafal Quran Bukan Sekedar Kerja Mengingat

Menghafal Quran Bukan Sekedar Kerja Mengingat

Allah Ta'ala berfirman :

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu
dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Al Quran Al
Kariim Surah Yunus ayat 57)

Menghafal Quran bukanlah sekedar perkara mengingat. Tidak seperti kita
menghafal beragam pelajaran di sekolah ataupun di kampus.

Menghafal Quran adalah upaya meletakkan petunjuk dan pengingat di dada
kita, sehingga kapanpun, apapun dan dimanapun kita menemukan perkara
terkait hidup dan kehidupan, maka dengan mudah kita merujuk kepada
Quran sebagai panduan solusi sikap.

Dengan adanya Quran di dada, dan kewajiban untuk menjaganya agar tidak
hilang, maka penuhlah jadwal harian kita dengan interaksi erat dengan
Al Quran. Dengan demikian otomatis pula penuh pula hari kita dengan
jadwal mengingat Allah, mengingat tujuan akhir kehidupan di dunia.

Menghafal Quran bukan sekedar masalah memorizing. Menempatkannya bukan
sekedar di bilik otak, tapi di ruang dada. Agar hafalan yang kita
miliki dapat menjadi pengingat di kala gembira, penghibur di kala duka,
penerang di kala gelap gulita, pemandu jalan agar tak hilang arah,
penyembuh penyakit hati dan rahmat bagi diri serta orang di sekeliling
kita.

Semoga Allah mencintai kita karena kita mencintai Quran

Aamiin.

Sedekah dari Yang Terdekat

Sedekah itu dari yg terdekat dulu. Itu pun harus bermanfaat misalnya menyelamatkan fakir miskin dari kelaparan. Kalau buat Fitnah/Perang membunuhi sesama Muslim di negara2 Islam, itu malah dosa dan masuk neraka. Ini si penyumbang juga ikut dosa kalau begini: Jika terjadi saling membunuh antara dua orang muslim maka yang membunuh dan yang terbunuh keduanya masuk neraka. Para sahabat bertanya, “Itu untuk si pembunuh, lalu bagaimana tentang yang terbunuh?” Nabi Saw menjawab, “Yang terbunuh juga berusaha membunuh kawannya.” (HR. Bukhari)
Jadi kalau menyumbang juga kita harus hati2.

Berikanlah harta kepada keluarga yang terdekat (kerabat) terlebih dulu:

“…Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya…” [Al Baqarah:177]

“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.”…[Al Baqarah:215]

Tidak pantas dia menyumbang jauh-jauh sementara keluarganya banyak yang miskin dan kekurangan tanpa dibantu.

Hadis riwayat Jabir ra., ia berkata:

Seorang dari Bani Udzrah ingin memerdekakan budaknya jika dia meninggal. Hal itu sampai kepada Rasulullah saw. lalu beliau bertanya: Apakah engkau mempunyai harta lain? Orang itu menjawab: Tidak. Rasulullah saw. bersabda: Siapakah yang mau membelinya dariku? Nu’aim bin Abdullah Al-Adawi membelinya dengan harga delapan ratus dirham. Lalu Rasulullah saw. membawa harga jual budak itu dan membayarkannya kepada orang tersebut. Kemudian bersabda: Mulailah untuk dirimu, bersedekahlah untuk dirimu. Jika masih tersisa, maka berinfaklah kepada keluargamu dan jika masih tersisa, maka berinfaklah kepada kerabatmu. Bila dari kerabatmu masih tersisa, maka begini dan begini. Ia (Jabir) menjelaskan: Tetangga depanmu, tetangga kananmu dan tetangga kirimu. (Shahih Muslim No.1663)

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Bersedekahlah.” Lalu seorang laki-laki berkata: Wahai Rasulullah, aku mempunyai satu dinar? Beliau bersabda: “Bersedekahlah pada dirimu sendiri.” Orang itu berkata: Aku mempunyai yang lain. Beliau bersabda: “Sedekahkan untuk anakmu.” Orang itu berkata: Aku masih mempunyai yang lain. Beliau bersabda: “Sedekahkan untuk istrimu.” Orang itu berkata: Aku masih punya yang lain. Beliau bersabda: “Sedekahkan untuk pembantumu.” Orang itu berkata lagi: Aku masih mempunyai yang lain. Beliau bersabda: “Kamu lebih mengetahui penggunaannya.” Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i

Terhadap orang yang berzakat kepada keluarganya Nabi saw bersabda, “Dia mendapatkan dua pahala, yaitu pahala menyambung kekerabatan dan pahala sedekah.” [HR Bukhari]

Hanya Karena Alloh

Nasehat Syawal #12 : Cintailah karena Allah saja

Rasulullah saw bersabda :

"Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang bukan Nabi,
tetapi para Nabi dan Syuhada merasa cemburu terhadap mereka. Ditanyakan
: "Siapakah mereka? Semoga kami dapat mencintai mereka. Nabinya
menjawab : "Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena
cahaya Allah tanpa ada hubungan keluarga dan nasab di antara mereka.
Wajah-wajah mereka tidak takut di saat manusia takut dan mereka tidak
bersedih di saat manusia bersedih. Kemudian beliau Shallallahu
`alaihi wa Sallam membacakan ayat : "Ingatlah sesungguhnya
wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati (Al Quran Al Kariim Surah Yunus ayat 62).
(Shahih, Sunan Abi Dawud 3527 dan di Sunan Tirmidzi dari jalur
Ja'far bin Burqan).

Kekuatan cinta itu luar biasa.

Cinta membuat orang lemah menjadi kuat, membuat yang jauh terasa dekat.

Apatah lagi jika cinta itu karena Allah, maka tidak ada sekat ruang dan
waktu yang dapat memisahkan.

Begitulah seharusnya seorang mu'min, bahagia di hatinya saat
berkumpul dengan mu'min lainnya, tak peduli jika tak ada hubungan
nasab dan keluarga diantara mereka. Tak juga hirau walau tak ada
hubungan kewarganegaraan, suku dan ras, tak sama organisasi dan partai
karena penghubungnya jelas satu saja : kesamaan aqidah.

Jika cinta seperti ini hadir di tengah-tengah kita, maka mudahlah untuk
bersatu. Mudahlah untuk menghilangkan sifat egosentris dan fanatisme
buta golongan, karena jembatannya kokoh satu saja : kesamaan aqidah.

Jika cinta mencintai seperti ini sudah tumbuh di antara kita, hilanglah
syak wasangka buruk kepada sesama mu'min. Tumbuh pula kerelaan
membantu meringankan beban dan kesusahan saudara seiman. Matilah sifat
dengki, hasud, tamak dan bakhil. Punahlah karakter ghibah dan fitnah
dari masyarakat mu'min.

Jika cinta mencintai seperti ini berkembang di hati kita, maka subur
pulalah budaya nasehat menasehati dalam kebenaran, kesabaran dan kasih
sayang.

Jadi, marilah mulai belajar mencintai karena Allah.

Semoga Allah mencintai kita karenanya

Aamiin,

Allahu `Alam

Friday, November 1, 2013

Asma'ul Husna

Al Awwal, Al Akhir, Azh Zhahir Dan Al Bathin

Oleh
Ustadz Ahmas Fais Asifuddin



Mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan salah satu rukun penting dalam beriman kepada Allah yang memiliki empat rukun, yaitu: Beriman kepada ekstensi Allah, beriman kepada Rububiyah Allah, beriman kepada Uluhiyah Allah dan beriman kepada Asma' wa Sifat (nama-nama serta sifat-sifat) Allah.[1]

Tidak bisa dibayangkan seseorang yang ingin menyembah Allah tetapi tidak mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Ia bisa terjebak dalam kesalahan fatal yang bisa mengakibatkan kecelakaan di dunia dan di akhirat. Minimal, tidak bisa sempurna dalam beribadah.

Sebagai contoh, seseorang menyangka bahwa Allah adalah bapak. Maka ketika ia memanggilNya dengan nama bapak, Allah tidak akan memenuhi panggilannya, karena bapak bukan panggilan untukNya. Dan itu merupakan kekufuran. Contoh lain, seseorang menyangka bila Allah menyenangi suatu perbuatan tertentu. Misalnya, perbuatan yang dianggap Islami, padahal tidak ada contoh dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam atau para sahabatnya. Jelas merupakan perbuatan yang dibenci dan buruk. Sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا...الحديث (رواه مسلم فى كتاب الجمعة – باب رفع الصوت في الخطبة ومايقال فيها)

Sesungguhnya, sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan secara baru dalam agama..dst.[2]

Oleh karena itu, amat penting artinya memahami persoalan Asma' wa Sifat secara benar dan ikhlas untuk tujuan meningkatkan kebenaran serta bobot keimanannya kepada Allah hingga memperkecil kemungkinan terjerumus dalam penyimpangan-penyimpangan.

Di antara nama Allah yang perlu di fahami ialah nama al-Awwal, al-Akhir, azh-Zhahir dan al-Bathin. Empat nama di antara nama-nama Allah yang sangat indah. Empat nama ini ditambah nama al-'Alim terkumpul pada Al-Qur'an, surah al-Hadid ayat 3, yaitu firman-Nya:

هُوَ اْلأَوَّلُ وَاْلأَخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

Dialah Allah, Al-Awwal (Yang Pertama) dan Al-Akhir (Yang Akhir), Azh-Zhahir (Yang paling atas/zhahir) dan Al-Bathin (Yang paling bathin). Dan Dia 'Aliim (Maha mengetahui) terhadap segala sesuatu. [Al-Hadid : 3]

Imam Ibnu Katsir menegaskan dalam Kitab Tafsirnya: "Ayat ini adalah ayat yang diisyaratkan dalam hadits 'Irbadh bin Sariyah bahwasanya merupakan ayat yang lebih utama dari seribu ayat".[3]

Hadits yang semakna diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam sunannya.

عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَنَامُ حَتَّى يَقْرَأَ الْمُسَبِّحَاتِ وَيَقُولُ فِيهَا آيَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ آيَةٍ

Dari Al Irbadh bin Sariah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak tidur sampai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca al musabbihat (surat-surat yang diawali dengan sabbaha) dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Didalamnya terdapat satu ayat yang lebih baik dari seribu ayat. [4]

Sementara, tentang makna empat nama dalam ayat tersebut, tidak ada tafsirnya yang lebih baik daripada tafsir yang dikemukakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda ketika mengajarkan sebuah doa tidur, yang penggalannya sebagai berikut:

اَللَّهُمَّ أَنْتَ الأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَيْءٌ

Ya Allah, Engkau adalah Al-Awwal (Yang pertama), maka tidak ada sesuatupun sebelum-Mu. Engkau adalah Al-Akhir (Yang akhir), maka tidak ada sesuatupun yang sesudah-Mu. Engkau adalah Azh-Zhahir (Yang paling atas), maka tidak ada sesuatupun yang ada di atas-Mu. Dan Engkau adalah Al-Bathin (Yang paling Bathin), maka tidak ada sesuatupun yang lebih lembut/lebih bathin daripada-Mu [5]

Suatu tafsir yang ringkas, padat dan jelas. Nama-nama yang menunjukan bahwa Allah Maha meliputi segala sesuatu, baik ruang maupun waktu.

Pada nama Allah : Al-Awwal dan al-Akhir, menunjukkan betapa Dia Maha meliputi seluruh waktu dengan segala bagian-bagiannya, semenjak waktu pertama hingga waktu kapanpun. Sedangkan nama; Azh-Zhahir dan al-Bathin menunjukkan betapa Dia Maha meliputi seluruh ruang dan tempat dengan segala bagian-bagiannya. [6]

Tidak ada satu bagian waktu sesedikit apapun kecuali berada dalam pengetahuan, penglihatan, kekuasaan dan kewenangan Allah. Begitu pula tidak ada satu tempat sekecil apapun kecuali berada dalam pengetahuan, penglihatan, kekuasaan dan kewenangan-Nya.

Tidak ada satupun pelaku yang melakukan kemaksiatan di satu kurun waktu tertentu, kapanpun dan di tempat manapun, baik yang tersembunyi ataupun terbuka, di dasar laut atau di permukaannya, di langit, di bumi atau di manapun, kecuali pasti di lihat, di awasi dan berada dalam kekuasaan serta ancaman hukum Allah Azza wa Jalla.

Demikian juga, tidak ada satupun pelaku yang menegakkan kebenaran serta ketaatan kepada Allah, di satu kurun waktu tertentu, kapanpun serta di tempat manapun; di darat, laut, langit, bumi atau di manapun, kecuali pasti di lihat, di sertai, di bela dan dijanjikan balasan yang baik oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Syaikh Shalih al-Fauzan menukil perkataan Imam Ibnu al-Qoyyim tentang nama-nama Allah tersebut sebagai berikut: "Empat nama ini saling berhadap-hadapan. Dua nama saling berhadapan antara azaliyahNya (ada semenjak dahulu tanpa ada sesuatupun yang mendahului) dan abadiyahNya (kekal seterusnya /tanpa akhir). Sedangkan dua nama yang lain saling berhadap-hadapan antara Maha TinggiNya dengan Maha dekat-Nya. Awaliyah Allah Subhanahu wa Ta'ala mendahului segala awaliyah (permulaan) segenap yang selainNya. Sedangkan akhiriyah (keMaha akhiran) Allah Subhanahu wa Ta'ala akan tetap terus kekal sesudah segala sesuatu yang selainNya (berakhir). Jadi awaliyah Allah adalah lebih dahulunya Allah bagi adanya segala sesuatu. Sedangkan akhiriyahNya adalah tetap kekalnya Allah, tidak ada sesuatupun yang menyudahiNya.

Adapun zhahiriyah (Maha Zhahirnya) Allah, maksudnya: Maha Atas dan Maha Tingginya Allah mengatasi segala sesuatu. Pengertian azh-zhuhur menunjukkan makna tinggi. Zhahir dari sesuatu maksudnya adalah bagian atas (permukaan) dari sesuatu itu.

Sedangkan Maha Bathin Allah maksudnya adalah, Allah Maha meliputi segala sesuatu, sehingga Allah lebih dekat kepada sesuatu dibandingkan sesuatu itu kepada dirinya. Tetapi maksud kedekatan ini adalah kedekatan dalam arti; ilmu Allah meliputi segala sesuatu". [7]

Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi rahimahullah juga mengemukakan hal senada ketika menerangkan perkataan Imam Thahawi dalam al-Aqidah ath-Thahawiyah….. [8]

Pada sisi lain, Imam Ibnu al-Qoyyim rahimahullah dalam Zaad al-Ma'ad mengatakan : "Dengan ayat ini Allah menunjukkan kepada para hambaNya -berdasarkan aksioma logika- tentang batilnya jaringan mata rantai tak berpenghabisan (tasalsul) mengenai kejadian makhluk. Sesungguhnya mata rantai kejadian segenap makhluk pada permulaannya berawal dari Dzat Maha Pertama yang tidak didahului oleh sesuatupun sebelumnya. Begitu pula segenap makhluk itu akan berakhir diujungnya pada Dzat Maha Akhir yang tidak disudahi oleh sesuatupun sesudahnya.

Demikian juga, Maha Zhahirnya Allah ialah Maha Tingginya Allah yang tidak ada lagi sesuatupun di atasNya. Dan Maha BathinNya adalah Maha Meliputi hingga tidak ada sesuatupun yang berada di luar kekuasaanNya. [9]

Empat nama Allah pada surah al-Hadid tersebut ditutup dengan firmanNya :

وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

Sedangkan Dia Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu.

Ayat ini merupakan penutup yang mempertegas secara jelas bahwa tidak ada sesuatupun, yang lepas dari pengetahuan Allah Subhanahu wa Ta'ala, meski sekecil apapun. Nama al-'Aliim dalam penutup ayat ini merupakan penegasan dari makna yang terkandung dalam empat nama sebelumnya.

Syaikh Shalih al-Fauzan menerangkan makna bagian akhir ayat ini sebagai berikut: "Artinya, Ilmu Allah meliputi segala sesuatu, baik perkara-perkara yang sudah lewat, perkara-perkara yang kini sedang berlangsung, maupun perkara-perkara yang akan berlangsung. Baik yang terjadi di alam atas, maupun di alam bawah. Baik yang lahir maupun yang bathin. Tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari ilmu Allah meskipun hanya seberat biji atom, di darat maupun di langit." [10]

Dengan demikian, akankah seseorang merasa dapat bersembunyi dari pengawasan Allah?

Dari surah al-hadid ayat 3 tersebut dapat diambil beberapa faidah,di antaranya:
a. Adanya penetapan 5 nama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Yaitu : al-Awwal, al-Akhir, azh-Zhahir, al-Bathin dan al-'Aliim.

b. Lima nama Allah itu, memberi arti penetapan bagi sifat-sifat Allah. Yaitu sifat awwaliyah yang tidak didahului oleh sesuatupun sebelumnya. Sifat akhiriyah yang tidak diakhiri dengan sesuatupun sesudahnya. Sifat zhahiriyah yang tidak ada sesuatupun ada di atasNya. Sifat bathiniyah yang tidak ada sesuatupun lebih dekat dariNya. Dan sifat Maha mengetahui yang tidak ada sesutupun dapat tersembunyi dariNya. Maka segala sesuatu berada dalam pengawasan, pengetahuan dan kewenangan Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik waktu, tempat, ketetapan takdir maupun pengaturannya. Maha Tinggi Allah dan Maha Perkasa.

c. Disimpulkan juga, sesungguhnya sifat-sifat Allah tidak dapat dibatasi hanya dalam jumlah tertentu. Para Ulama Ahlu Sunnah wal Jama'ah menyatakan, jumlah sifat Allah lebih banyak dari jumlah namaNya. Sebab setiap nama Allah pasti mengandung sifat. Padahal masih banyak sifat-sifat lain yang tidak berasal dari namaNya. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menegaskan: Bab Sifat lebih luas daripada bab Asma'. [11]

Lebih lanjut beliau memberikan contoh-contoh sifat yang darinya tidak dapat disebutkan sebagai nama Allah. Misalnya, sifat majii' dan sifat ityaan : berarti Allah mempunyai sifat datang. Dari sifat ini Allah tidak bisa disebut al-Jaa'iy atau al-Aatiy (yang datang). Padahal Allah telah berfirman, menerangkan sifatNya:

وَجَآءَ رَبُّكَ

Dan Rabb-mu datang. [Al-Fajr : 22]

هَلْ يَنظُرُونَ إِلآَّ أَن يَأْتِيَهُمُ اللهُ فِي ظُلَلٍ مِّنَ الْغَمَامِ

Tidak ada yang mereka tunggu-tunggu selain kedatangan Allah (untuk mengadili mereka di hari kiamat) di iringi bayang-bayang awan. [Al-Baqarah : 210]

Dan contoh-contoh lain yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. [12] .

Di samping beberapa faidah di atas, penghayatan terhadap nama-nama Allah dalam surah al-Hadid ayat 3 di atas juga dapat memberikan motivasi (dampak) berikut:
a. Dapat mencegah orang yang hendak berbuat maksiat, kejahatan atau tindakan apa saja yang akan mendatangkan murka Allah, sebab ia memahami dengan baik bahwa kemaksiatan, kejahatan serta segala tindakannya tidak dapat ia sembunyikan dari penglihatan Allah dan tidak dapat ia hindarkan dari ancaman kerasNya, kapanpun dan di manapun.

b. Dapat meningkatkan ketakwaan dan kehati-hatian dalam berbuat sesuatu sehingga memperkecil kemungkinan untuk terjerumus dalam bid'ah. Allah melalui RasulNya telah menegaskan bahwa perbuatan bid'ah adalah sesat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه مسلم فى كتاب الجمعة – باب رفع الصوت في الخطبة ومايقال فيها)

Amma Ba’du: Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang diada-adakan secara baru dalam agama, dan setiap bid’ah adalah sesat. [13]

c. Akan menghibur seseorang untuk tidak bersedih dan khawatir menghadapi tantangan ketika ia melakukan ketaatan, sebab ia yakin bahwa Allah senantiasa melihat sepak terjangnya yang di ridhai Allah, dan Allah senantiasa akan menyertainya dengan pertolongan serta perlindunganNya. Sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Allah kepada Musa dan Harun ketika menghadapi Fir'aun. FirmanNya:

قَالَ لاَتَخَافَآ إِنَّنِي مَعَكُمَآ أَسْمَعُ وَأَرَى

Allah berfirman: "Janganlah kamu berdua takut. Sebab sesungguhnya Aku menyertai kamu berdua. Aku mendengar dan Aku melihat. [Thaha : 46]

Yang dimaksud dengan kesertaan Allah kepada Musa dan Harun pada ayat diatas adalah kesertaan dalam arti penjagaan, perlindungan dan pertolonganNya [14]

Demikianlah, tulisan singkat yang diambil dari keterangan Ulama ini diharapkan dapat membantu meningkatkan keimanan secara benar kepada Allah k . Wallahu Waliyyu at-Taufiq.
 

Saturday, August 24, 2013

Al-Ghaniyyu, Allah Maha Kaya

Allah Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah yang Maha kaya (tidak memerlukan sesuatu), Maha terpuji. [Fâthir/35:15]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَأَنَّهُ هُوَ أَغْنَىٰ وَأَقْنَىٰ

Dan sesungguhnya Dialah yang memberikan kekayaan dan kecukupan [an-Najm/53:48]

Allah Azza wa Jalla Maha kaya dengan dzat-Nya, yang memiliki kekayaan yang mutlak dan sempurna dari seluruh sisi dan pandangan lantaran kesempurnaan dzat-Nya dan sifat-Nya yang tidak tersentuh oleh kekurangan dari arah manapun. Ini tidak mungkin terjadi kecuali karena Allah Azza wa Jalla adalah Dzat yang Maha kaya dan lantaran sifat kaya (berkecukupan) sudah lazim pada dzat-Nya. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla Maha pencipta,Pemberi rezeki, dan Maha pengasih serta yang melimpahkan kebaikan, maka Allah Azza wa Jalla juga Maha kaya, tidak membutuhkan seluruh makhluk dari sisi manapun. Para makhluk-Nya itu pasti membutuhkan-Nya dalam kondisi apapun. Mereka tidak bisa mengesampingkan curahan kebaikan, kemurahan, pengaturan dan pemeliharaan-Nya, baik yang bersifat umum maupun khusus dalam sekejap mata sekalipun.

Di antara wujud kesempurnaan kekayaan-Nya;

1. Sesungguhnya perbendaharaan langit dan bumi seluruhnya ada di tangan-Nya, dan kedermawanan-Nya kepada para makhluk datang secara kontinyu sepanjang malam dan siang, dan kedua tangan-Nya selalu memberi di setiap waktu.

2. Allah Azza wa Jalla menyeru para hamba-Nya agar hanya meminta kepada-Nya di setiap waktu dan keadaan; dan berjanji untuk mengabulkan permintaan-permintaan mereka, serta memerintahkan mereka beribadah kepada-Nya dan berjanji menerima amalan dan memberi pahala mereka. Sungguh Allah Azza wa Jalla telah memberi seluruh yang mereka minta dan semua yang mereka inginkan serta apa yang mereka angan-angankan.

3. Kalau seandainya seluruh penduduk langit dan bumi, dari makhluk yang paling awal sampai makhluk yang paling akhir berkumpul di satu tanah lapang, kemudian masing-masing mengajukan permintaannya sendiri-sendiri, selanjutnya Allah Azza wa Jalla mengabulkan seluruh permintaan mereka, maka semua itu tidak mengurangi apa yang Dia Azza wa Jalla miliki kecuali seperti jarum yang dicelupkan ke dalam lautan.

4. Wujud kekayaan-Nya yang sangat agung yang tidak bisa diukur dan tidak mungkin bisa dideskripsikan, apa yang telah Dia Azza wa Jalla bentangkan bagi penghuni Jannah yang berupa kelezatan-kelezatan yang tidak terputus dan pemberian-pemberian-Nya yang beraneka-ragam, serta kenikmatan-kenikmatan yang bervariasi yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terbesit di hati manusia.

Allah Maha kaya dengan dzat-Nya, yang mencukupi (kebutuhan) seluruh makhluk. Allah Azza wa Jalla memenuhi keperluan para hamba-Nya dengan rezeki-rezeki yang telah Allah Azza wa Jalla hamparkan dan menambah berbagai kenikmatan bagi mereka yang tidak terhitung dan tidak terbilang, serta dengan memudahkan sarana-sarana yang mengantarkan kepada perolehan kekayaan.

5. Dan lebih khusus dari semua itu, Allah Azza wa Jalla memperkaya hamba-hamba pilihan-Nya dengan limpahan ma’rifah (pengetahuan), ilmu-ilmu rabbâni dan hakekat-hakekat keimanan ke dalam hati sanubari mereka, sehingga kalbu-kalbu mereka hanya bergantung kepada-Nya dan tidak bergantung kepada selain-Nya. Inilah kekayaan tertinggi dan kekayaan yang sebenarnya, sesuai sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm :

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَشْرَةِ الْعَرْضِ إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Kekayaan itu bukan karena banyaknya harta, akan tetapi kekayaan yang sejati ialah kekayaan hati [HR. al-Bukhâri, no. 6446, Muslim no. 1051]

Pada saat hati itu kaya (merasa berkecukupan) dengan Allah Azza wa Jalla, pengetahuan tentang-Nya dan hakekat-hakekat keimanan, maka akan merasa cukup dengan rezeki dari-Nya dan menerimanya dengan tulus (bersifat qanâ’ah) dan berbahagia dengan apa yang telah Allah Azza wa Jalla berikan kepadanya, maka seorang hamba yang telah sampai ke derajat ini, tidak akan merasa iri terhadap (kekayaan) raja-raja dan pemegang kekuasaan. Hal ini disebabkan dia telah memperoleh kekayaan yang tidak ia harapkan digantikan dengan yang lainya; kekayaan yang membuat hatinya tentram, menjadikan ruhaninya merasa damai dan menyebabkan jiwanya merasa senang dengannya.

Kita memohon semoga Allah Azza wa Jalla memperkaya hati kita dengan hidayah, cahaya dan ma’rifah dan sifat qanâ’ah, dan juga membentangkan keluasan karunia-Nya dan rezeki halal kepada kita sekalian. Wallâhu a’lam.

Thursday, August 1, 2013

Seri Kultum

Seri Kultum Ramadhan

ISLAM ITU AGAMA KELUARGA


Sungguh menarik paparan tafsir Fii Zhilalil Quran saat menafsirkan surah
Ath Thalaaq :
Sesungguhnya ia menunjukkan pentingnya urusan keluarga dalam sistem
kehidupan yang Islami
.

Sesungguhnya Islam mengatur sistem keluarga. Dalam pandangan Islam,

rumah merupakan tempat tinggal dan istirahat. Di dalamnya setiap jiwa
harus mendapatkan kasih sayang, rahmat, cinta, tirai penutup,
perhiasan, penjagaan dan kesucian.

Dalam naungan rumah itu, anak-anak tumbuh dan generasi baru
berangsur-angsur mencapai kesempurnaan.

Dan, dari rumah itu pula ikatan-ikatan kasih dan hubungan-hubungan
ketergantungan dan pengasuhan berkembang.

Oleh karena itu, Islam menggambarkan hubungan rumah tangga dengan
gambaran yang halus dan lembut, yang darinya tersebar sifat kasih
sayang, di dalamnya terbentang naungan, dan menyebarkan semangat dan
wangi keharuman yang semerbak di dalamnya.

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu 
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa 
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. 
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda 
bagi kaum yang berfikir. (Al Quran Al Kariim Surah Ar Ruum ayat 21)

mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi
mereka … (Al Quran Al Kariim Surah Al Baqarah ayat 187)

Jadi hubungan rumah tangga merupakan hubungan dan ikatan antara jiwa
dengan jiwa. Ia merupakan hubungan dan ikatan antara tempat tinggal
dengan kestabilan. Ia merupakan hubungan dan ikatan antara cinta dengan
kasih sayang. Dan ia merupakan hubungan dan ikatan antara tirai penutup
dan perhiasan. Sesungguhnya manusia pasti merasakan cinta dan
kelembutan ungkapan-ungkapan, dan dari sela-selanya dia mendapatkan
semangat dan naungan.

Sesungguhnya ia merupakan ungkapan sempurna tentang hakikat hubungan
yang diwajibkan oleh Islam dalam membina ikatan manusia yang melekat
dan kuat.


Pada saat yang sama, segala maksud dan tujuan puncak dari ikatan
perkawinan sangat diperhatikan dan diprioritaskan. Diantaranya,
perkembangan dan penerusan keturunan. Islam memberikan porsi yang cukup
terhadap segala tujuan dan maksud dengan karakter kebersihan dan
kesuciannya. Juga pengakuan terhadap kesungguhan dan keseriusannya
serta mengatur antara arahan dan problematikanya. Hal itu ditunjukkan
ketika Allah menyatakan :


Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (Al
Quran Al Kariim Surah Al Baqarah ayat 223)


Dalam hal ini, Allah memperhatikan makna kesuburan dan perkembangbiakan.


Islam meliputi sarang ini, atau buaian ini, atau tempat tinggal ini 
(maksudnya rumah tangga) dengan segala perhatian dan jaminan sebagaimana
tabiat Islam demikian adanya, yakni memandang sesuatu secara totalitas. 
Karena sesungguhnya Islam itu tidak cukup hanya semangat-semangat 
ruhiyah, namun ia harus diikuti dengan sistematika hukum dan jaminan 
syariat.
Orang yang memahami sistem keluarga dalam Al Quran dan hadits pada
setiap persepsinya dan bagi setiap keadaannya, kemudian menyaksikan 
pengarahan-pengarahan yang menyertai persyariatan itu dan penghimpunan 
yang jelas di sekitarnya dengan segala pengaruh dan komentar, serta 
dalam mengaitkan urausan rumah tangga ini dengan Allah secara langsung 
pada setiap temanya, sebagaimana yang tampak dalam surah ini (Ath 
Thalaaq) dan surah lainnya, pastilah dia mengetahui secara sempurna 
tentang agungnya urusan keluarga dalam sistem ajaran Islam. Juga betapa 
tingginya nilai keluarga ini di sisi Allah. Dalam hal ini dia telah 
menghimpun antara takwa kepada Allah dan takwa silaturahmi yang 
difirmankan oleh Allah di awal surah An Nisa :

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan 
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan 
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga 
dan mengawasi kamu. (Al Quran Al Kariim Surah An Nisa ayat 1)

Sebagaimana Islam juga menghimpun antara persembahan ibadah kepada

Allah dengan berbakti kepada kedua orang tua dalam surah Al Isra dan
surah lainnya :
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur 
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan 
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Surah Al
Israa ayat 23)


Islam pun menjelaskan tentang kesyukuran kepada Allah dan kesyukuran
kepada kedua orang tua pada surah Luqman :

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang 
ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang 
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah 
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah 
kembalimu. (Al Quran Al Kariim Surah Luqman ayat 14)

Sesungguhnya perhatian yang sangat jauh dan mendalam tentang perkara

keluarga ini seiring dengan ketentuan qadar Ilahi dalam membangun
kehidupan manusia atas asas keluarga. Yaitu, ketika ketentuan qadar
Allah berlaku bahwa sarang pertama yang berwujud dalam kehidupan
manusia adalah keluarga Adam dan istrinya. Kemudian manusia berkembang
menjadi banyak sekali. Padahal Allah Maha Berkuasa untuk menciptakan
berjuta-juta manusia sekaligus.

Namua ketentuan qadar Allah menentukan hal ini untuk sebuah hikmah yang
tersimpan dalam kewajiban dan tugas keluarga yang agung dalam kehidupan 
manusia. Dan, manusia dengan bekal fitrah dan potensinya mampu memenuhi 
segala kebutuhan kehidupan keluarga. Dalam institusi keluargalah 
kepribadian seorang manusia dan keistimewaan-keistimewaannya tumbuh. Dan
disanalah dia menemukan pengaruh-pengaruh yang paling mendalam pada 
kehidupannya.

Kemudian perhatian yang besar itu berlaku pada sistem Islam yang
merupakan manhaj Allah yang terakhir di muka bumi.

Demikian paparan Tafsir Fii Zhilalil Quran tentang Keluarga dalam Islam.


Allahu `Alam

Masih diperlukan Ratusan Mushaf Quran. Bantu lewat donasi Mushaf Quran :