Definisi Kufur
Kufur secara bahasa, berarti menutupi. Sedangkan menurut syara’, kufur
adalah, tidak beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam , baik dengan mendustakannya atau tidak
mendustakannya.[37] Orang yang melakukan kekufuran, tidak beriman kepada
Allah dan Rasul- Nya disebut kafir.
Prinsip-Prinsip Ahlus Sunnah Dalam Masalah Kufur Dan Takfir
Masalah takfir (kafir-mengkafirkan) adalah masalah yang sangat
berbahaya. Karena itu, para ulama sangat berhati-hati dalam masalah ini,
sebagaimana penjelasan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
“Karena inilah, wajib berhatihati dalam mengkafirkan kaum Muslimin
dengan sebab dosa dan kesalahan (yang dilakukan). Karena hal ini adalah
bid’ah yang pertama kali muncul dalam Islam, sehingga pelakunya
mengkafirkan kaum Muslimin dan menghalalkan darah serta harta
mereka”.[38]
Di bawah ini saya akan jelaskan kaidah-kaidah menurut para ulama Ahlus Sunnah tentang masalah kufur dan takfir.
[1]. Masalah pengkafiran adalah hukum syar’i dan tempat kembalinya
kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[2]. Barangsiapa yang tetap keislamannya secara meyakinkan, maka
keislaman itu tidak bisa lenyap darinya, kecuali dengan sebab yang
meyakinkan pula.[39]
[3]. Tidak setiap ucapan dan perbuatan -yang disifatkan nash sebagai
kekufuran- merupakan kekafiran yang besar (kufur akbar) yang
mengeluarkan seseorang dari agama, karena sesungguhnya kekafiran itu ada
dua macam, yaitu: kekafiran kecil (asghar) dan kekafiran besar (akbar).
Maka, hukum atas ucapan-ucapan maupun perbuatan-perbuatan ini,
sesungguhnya berlaku menurut ketentuan metode para ulama Ahlus Sunnah
dan hukumhukum yang mereka keluarkan.
[4]. Tidak boleh menjatuhkan hukum kafir kepada seorang muslim, kecuali
telah ada petunjuk yang jelas, terang dan mantap dari al-Qur‘an dan
as-Sunnah atas kekufurannya. Maka, dalam permasalahan ini, tidak cukup
hanya dengan syubhat dan zhan (persangkaan) saja.
Ahlus Sunnah tidak menghukumi atas pelaku dosa besar tersebut dengan
kekafiran. Namun menghukuminya sebagai bentuk kefasikan dan kurangnya
iman, apabila bukan dosa syirik dan dia tidak menganggap halal perbuatan
dosanya. Hal ini karena Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia
telah berbuat dosa yang besar” [An-Nisa‘: 48]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam memperingatkan dengan keras
tentang tidak bolehnya seseorang menuduh orang lain dengan “kafir” atau
“musuh Allah”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
"Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya “wahai kafir”, maka
dengan ucapan itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya, apabila
seperti yang ia katakan; namun apabila tidak, maka akan kembali kepada
yang menuduh” [40]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
“ ... Dan barangsiapa yang menuduh kafir kepada seseorang atau
mengatakan ia musuh Allah, sedangkan orang tersebut tidaklah demikian,
maka tuduhan tersebut berbalik kepada dirinya sendiri”.[41]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan ataupun
kekufuran, karena tuduhannya akan kembali kepada dirinya, jika orang
yang dituduh tidak seperti yang ia tuduhkan.[42]
[5]. Terkadang ada keterangan dalam al-Qur‘an dan as-Sunnah yang
mendefinisikan bahwa suatu ucapan, perbuatan atau keyakinan merupakan
kekufuran (bisa disebut kufur). Namun, tidak boleh seseorang dihukumi
kafir, kecuali telah ditegakkan hujjah atasnya dengan kepastian
syarat-syaratnya, yakni mengetahui, dilakukan dengan sengaja dan bebas
dari paksaan, serta tidak ada penghalang-penghalang (yang berupa
kebalikan dari syarat-syarat tersebut).[43]
Dan yang berhak menentukan seseorang telah kafir atau tidak adalah Ahlul
‘Ilmi yang dalam ilmunya, dan para ulama Rabbani44 dengan
ketentuan-ketentuan syari’at yang sudah disepakati.
[6]. Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan orang yang dipaksa (dalam keadaan
diancam), selama hatinya tetap dalam keadaan beriman. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap
tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan
baginya adzab yang besar” [An-Nahl:106]
[7]. Kufrun akbar (kekafiran besar) ada beberapa macam, sebagai berikut.
a. Juhud (mengingkari)
b.Takdzib (mendustakan)
c. Iba‘ (sikap enggan)
d. Syakk (keraguan)
e. Nifaq (kemunafikan)
f. I’radh (sikap berpaling)
g. Istihza‘ (memperolok-olok)
h. Istihlal (penghalalan)
[8]. Sebab-sebab yang dapat membawa kepada kekafiran besar ada tiga
macam, yaitu: perkataan, perbuatan, dan i’tiqad (keyakinan). Di antara
kufur ‘amali (perbuatan) dan qauli (ucapan), ada yang bisa mengeluarkan
pelakunya dari agama dengan sendirinya dan tidak mensyaratkan
penghalalan hati. Yaitu sesuatu perbuatan atau perkataan yang jelas
bertentangan dengan iman dari segala seginya, misalnya menghujat Allah
Ta’ala, mencaci-maki Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersujud
kepada berhala, membuang mushaf al Qur`an di tempat sampah, dan
perbuatan-perbuatan lain yang semakna dengan itu.
Dijatuhkannya hukum kufur ini kepada orang-orang tertentu tidak boleh,
melainkan setelah memenuhi syarat-syarat (kufur) yang bisa diterima,
sebagaimana perbuatanperbuatan lain yang menyebabkan kafir pelakunya.
[9]. Sesungguhnya amalan kekafiran adalah kufur dan bisa menyebabkan
pelakunya kafir, sebab keadaannya menunjukkan kepada batinnya yang juga
kufur. Ahlus Sunnah tidak mengatakan seperti ucapannya para ahli bid’ah:
“Amalan kekafiran tidak kufur, tapi dia menunjukkan kepada kekufuran!”
Perbedaan keduanya jelas.
[10]. Sebagaimana ketaatan merupakan sebagian dari cabang-cabang iman,
demikian juga maksiat merupakan sebagian dari cabang kekafiran.
Masing-masing sesuai dengan kadarnya.
[11]. Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan seorang pun dari ahlul kiblat
(kaum Muslimin), yang dikarenakan dosa-dosa besarnya. Mereka
mengkhawatirkan terjadinya nash-nash ancaman kepada pelaku dosa-dosa
besar, walaupun mereka tidak kekal di dalam neraka. Bahkan mereka akan
bisa keluar dengan syafa’at para pemberi syafa’at, dan karena rahmat
Allah Ta’ala disebabkan pada mereka masih ada tauhid. Pengkafiran karena
dosa besar adalah madzhab Khawarij yang keji.[45]
Perbedaan Antara Kufur Besar dan Kufur Kecil
[1]. Kufur besar mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan
menghapuskan (pahala) amalnya, sedangkan kufur kecil tidak menjadikan
pelakunya keluar dari agama Islam, juga tidak menghapuskan (pahala)
amalnya, tetapi bisa mengurangi (pahala)nya sesuai dengan kadar
kekufurannya, dan pelakunya tetap dihadapkan dengan ancaman.
[2]. Kufur besar menjadikan pelakunya kekal di dalam neraka, sedangkan
kufur kecil, jika pelakunya masuk neraka, maka ia tidak kekal di
dalamnya, dan bisa saja Allah Ta’ala memberi ampunan kepada pelakunya
sehingga ia tidak masuk neraka sama sekali.
[3]. Kufur besar menjadikan halal darah dan harta pelakunya, sedangkan kufur kecil tidak demikian.
[4]. Kufur besar mengharuskan adanya permusuhan yang sesung-guhnya,
antara pelakunya dengan orang-orang mukmin. Dan orang-orang mukmin tidak
boleh mencintai dan setia kepadanya, betapa pun ia adalah keluarga
terdekat. Adapun kufur kecil, maka ia tidak melarang secara mutlak
adanya kesetiaan, tetapi pelakunya dicintai dan diberi kesetiaan sesuai
dengan kadar keimanannya, dan dibenci serta dimusuhi sesuai dengan kadar
kemaksiatannya.[46] Wallaahu a’lam.
[Dinukil dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007M. Judul
Lengkapnya Hakikat Iman, Kufur, Dan Takfir Menurut Ahlus Sunnah Wal
Jama'ah & Menurut Firqah-Firqah Yang Sesat. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
__________
Foote Note
[37]. Majmu’ Fatawa’ ‘ (XII/335), dan lihat ‘Aqidatut-Tauhid, Syaikh Shalih al-Fauzan, halaman 81.
[38]. Majmu’ Fatawa’ (XIII/31)
[39]. Majmu’ Fatawa’ (XII/466).
[40]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 60), Abu ‘Awanah
(I/23), Ibnu Hibban (no. 250-at-Ta’liqatul-Hisan ‘ala Shahih Ibni
Hibban), dan Ahmad (II/44) dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma .
[41]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 61), dari Sahabat Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu
[42]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6045) dan Ahmad (V/181), dari Sahabat Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu
[43]. Syarat-syarat seseorang bisa dihukumi kafir: (1). mengetahui
(dengan jelas), (2). dilakukan dengan sengaja, dan, (3). tidak ada
paksaan.
Sedangkan intifa’ul mawani’ (tidak ada penghalang yang menjadikan
seseorang dihukumi kafir), yaitu kebalikan dari syarat tersebut di atas.
(1). Tidak mengetahui, (2). Tidak disengaja, dan (3). Karena dipaksa.
Lihat Mujmal Masa-ilil Iman wal Kufr al-‘Ilmiyyah fi Ushulil-‘Aqidah
as-Salafiyyah, Cetakan II Tahun 1424 H, halaman 28-35, dan Majmu’
Fatawa’ (XII/498).
[44]. Rabbani, adalah orang yang bijaksana, ‘alim, dan penyantun, serta
banyak ibadah dan ketakwaannya. Lihat Tafsir Ibnu Katsir (I/405).
[45]. Lihat bahasan kufur dan takfir dalam Majmu’ al-Fatawa (XII/498)
dan Mujmal Masa-ilil-Iman wal-Kufr al-‘Ilmiyyah fi Ushulil-‘Aqidah
as-Salafiyyah, oleh Musa Alu Nashr, ‘Ali Hasan al-Halabi al-Atsari,
Salim bin ‘Id al-Hilali, Masyhur Hasan Alu Salman, Husain bin ‘Audah
al-‘Awayisyah, Basim bin Faishal al-Jawabirah - -, Cetakan II Tahun 1424
H, halaman 28-35. Lihat pula Al-Wajiz fi ‘Aqidatis-Salafish-Shalih,
‘Abdullah bin ‘Abdil Hamid al-Atsari, dimuraja’ah dan ditaqdim oleh
beberapa ulama, Darur-Rayah, Cetakan II Tahun 1422 H, halaman 121-126,
dan Fitnatut-Takfiir, oleh Muhadditsul-‘Ashr Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani, Taqdim : Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, dan Ta’liq : Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin , dikumpulkan oleh ‘Ali bin Husain Abu
Lauz, Dar Ibnu Khuzaimah, Cetakan II Tahun 1418 H, dan Tabshir bi
Qawa’idit-Takfiir, Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, Cetakan I Tahun
1423 H.
[46]. ‘Aqidatut Tauhid, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah
al-Fauzan, halaman 84. Pembahasan tentang pembatal-pembatal Islam dapat
dilihat pada buku saya, Prinsip Dasar Islam, Pustaka at-Taqwa, Bogor,
Cetakan II.
0 comments:
Post a Comment
Saudaraku......silahkan berikan komentar antum,,,,, untuk menjadi pelajaran bagiku.... jazakumullah....