Friday, November 23, 2012

Untuk PALESTINA

Donasi Peduli Kaum Muslimin di Palestina

بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah ta’ala, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka hingga kiamat tiba. Amma ba’du.

Yahudi dan orang-orang yang mempersekutukan Allah (musyrik) merupakan dua kelompok musuh Islam yang paling keras dalam berupaya untuk menghancurkan umat Islam. Allah ta’ala berfirman

لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آَمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَوَدَّةً لِلَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ
“Sungguh akan kalian dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang yang mempersekutukan Allah (musyrik).”
(QS. al-Maa-idah: 82)

Sesungguhnya bumi Palestina merupakan bagian dari tanah air kaum muslimin. Kaum muslimin yang berada di sana adalah saudara-saudara kita seaqidah. Oleh karena itu, musibah yang menimpa mereka akibat kekejaman Yahudi merupakan musibah yang menimpa kita pula. Doa dan bantuan kita untuk mereka (sesuai kemampuan kita) adalah keharusan sebagai wujud persaudaraan kita di jalan Allah ta’ala, sebagaimana Firman-Nya
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara.”
(QS. al-Hujurat: 10)
Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita dengan sabda beliau,
لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه
“Tidak sempurna keimanan salah seorang dari kalian sampai dia mencintai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana yang dia cintai bagi dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Berkaitan dengan hal di atas, Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari bermaksud untuk mengajak segenap kaum muslimin yang memiliki kemampuan, untuk membantu kesusahan yang sedang dialami saudara-saudara kita yang terzalimi di Palestina tersebut. Kaum muslimin yang ingin memberikan donasinya, dapat menyalurkannya melalui:
  • Bank Syariah Mandiri dengan nomor rekening 7031571329 atas nama YPIA Yogyakarta.
  • BNI Syariah Yogyakarta dengan nomor rekening 0241913801 atas nama Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari.
  • Western Union atas nama Wahyu Pradana Arsitika, dengan alamat: Pogung Rejo RT 13 Rw 51, Sinduadi Mlati Sleman Yogyakarta.
Donatur yang telah menyerahkan bantuan, dimohon memberikan sms konfirmasi ke nomor HP: 085265222500 ( Abdiyat Sakrie), dengan format sebagai berikut:
  • DonasiPalestina#Nama#Alamat#JumlahTransfer#Bank# TanggalTransfer
  • Contoh: DonasiPalestina#Muhammad#Semarang#1.000.000#Mandiri#21/11/2012
Sebagai pertanggung jawaban atas kegiatan ini, perkembangan penyaluran donasi dan laporannya insya Allah akan kami update secara berkala melalui website muslim.or.id.
Semoga Allah ta’ala mengikhlaskan ucapan dan langkah-langkah kita untuk ikut serta meringankan beban dan derita yang dialami oleh saudara-saudara kita di Palestina. Sesungguhnya Allah ta’ala Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa. Aamiin.

___________________

Tim Donasi Palestina:
Pengarah: Ustadz Abu Sa’ad Muhammad Nur Huda dan Ustadz Afifi Abdul Wadud
Penanggung jawab: Ustadz Amrullah Akadhinta
Ketua pelaksana: Wahyu Pradana Arsitika
Humas Donasi: Abdiyat Sakrie
Humas Social Media: Ginanjar Indrajati dan Yosia C. Sulistian
Bendahara: Muhammad Akmalul Khuluk
Kontributor artikel page/website: Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi, Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, dan Ustadz Adika Mianoki
PJ Info website: Wiwit Hardi Priyanto
Informasi: 0852 6522 2500 ( Abdiyat Sakrie)

Hakikat Hizbullah

Di antara sepak terjang yang paling mengagumkan bagi mayoritas kaum muslimin, khususnya beberapa tahun belakangan ini adalah sepak terjang Hizbullah dan pemimpinnya: Hasan Nasrallah. Hasan Nasrallah bahkan dijuluki oleh majalah Newsweek Amerika Serikat sebagai tokoh yang paling kharismatik di dunia Islam, plus yang paling berpengaruh bagi mayoritas kaum muslimin.
Pun demikian, ulama dan cendekiawan muslim memiliki pendapat yang bermacam-macam dan bertolak belakang dalam menilai Hizbullah dan Hasan Nasrallah sebagai pemimpinnya. Di antara mereka ada yang membelanya mati-matian hingga menjuluki Nasrallah sebagai Khalifah kaum muslimin. Tapi ada pula yang menyerangnya habis-habisan hingga mengeluarkan Hizbullah dari Islam secara keseluruhan, dan masih puluhan pendapat lagi yang berkisar di antara dua penilaian tadi.
Lantas di manakah kebenaran yang sesungguhnya dalam masalah ini? Bolehkah kita berbangga dengan sepak terjang Hizbullah selama ini? Pantaskah kita menganggapnya sebagai lambang kebanggaan, ataukah kita harus peringatkan orang-orang akan bahayanya? Dan bolehkan kita mengikuti gerakan ‘bungkam mulut’ yang dianjurkan oleh banyak kaum muslimin, dengan mengatakan: “Apa perlunya mengungkit-ungkit masalah ini sekarang?”, ataukah ‘bungkam mulut’ tadi ada artinya, mengingat peristiwa yang terus berlanjut dan masalah-masalah yang makin ruwet… dan Anda tahu bahwa orang yang mengacuhkan kebenaran seperti syaithan yang tuli?!
Sebagaimana yang biasa kami lakukan dalam tulisan-tulisan kami sebelumnya, untuk memahami sesuatu, kita harus menelusuri asal-usulnya. Kita harus menyimak kisah ini dari awalnya, dan harus tahu bagaimana Hizbullah tiba-tiba berdiri? Dalam kondisi apa ia muncul? Dan kita harus tahu kisah pendirinya, akidahnya, cara berfikir mereka, impian mereka, target mereka dan sarana yang mereka pergunakan untuk mewujudkannya. Ketika itulah kita akan tahu banyak hal yang selama ini tersembunyi. Kita akan menggunakan akal untuk mengarahkan perasaan dan sikap kita, sebab bisikan akal akan berbeda sama sekali dengan bisikan perasaan.
Bagaimana Berdirinya Hizbullah?
Hizbullah berdiri di negara Lebanon. Negara ini memiliki karakter spesial yang berbeda dengan seluruh negara di dunia. Ia merupakan negara multi golongan yang aneh bentuknya, sebab dataran Lebanon dihuni oleh sekitar 18 sekte agama yang semuanya diakui. Barangkali faktor geografis Lebanon yang bergunung-gunung itulah yang menjadikannya sarang bagi berbagai aliran yang saling bertentangan. Dari sanalah terdapat kaum Nasrani dengan berbagai sektenya, demikian pula Syiah, Druz, dan lain sebagainya.
Orang-orang Lebanon mengakui bahwa tiga golongan terbesar di Lebanon adalah: Golongan muslimin Ahlussunnah, Golongan Syiah Itsna Asyariah, dan Golongan Nasrani Maronit. Jauh setelah mereka barulah diikuti oleh Sekte Druz yang masih dianggap sebagai muslimin meskipun mereka tidak demikian.
Penjajah Perancis yang menginvasi Lebanon pada tahun 1920, bertekad untuk memantapkan fenomena multi golongan ini. Bahkan mereka sengaja menyerahkan sebagian besar pusat pemerintahan kepada sekutu-sekutu mereka dari kalangan Nasrani Maronit. Akan tetapi pasca kemerdekaan Lebanon tahun 1943, ditetapkanlah Undang-undang Lebanon yang memberikan jabatan presiden kepada Nasrani Maronit, lalu jabatan kepala pemerintahan (Perdana Menteri) kepada Ahlussunnah, dan jabatan ketua DPR kepada Syi’ah. Undang-undang ini belum bisa diterapkan secara praktis hingga tahun  1959, yaitu setelah semua pusat pemerintahan menerima ketetapan yang dikeluarkan oleh pihak Nasrani Maronit tersebut.
Berangkat dari sensitivitas multi golongan tadi, maka orang-orang Lebanon mengacuhkan sama sekali masalah sensus penduduk yang dapat memberi gambaran lebih rinci akan persentase masing-masing golongan. Pun demikian, penelitian yang paling mendekati kebenaran ialah yang mengatakan bahwa nisbah Ahlussunnah adalah 26%, demikian pula Syia’h 26%, sedangkan Maronit 22% dan Druz 5,6%.
Wajarlah, jika setiap golongan akan berusaha untuk bermarkas di daerah tertentu sebagai basis kekuatan yang mempengaruhi daerah sekitarnya. Syiah misalnya, bermarkas di daerah selatan Lebanon dan lembah Bikaa, sedangkan Ahlussunnah bermarkas di daerah Utara dan Tengah Lebanon, serta kota-kota pesisir seperti Beirut Tripoli, dan Saida. Sedangkan Maronit bermarkas di Gunung Lebanon dan Beirut Timur.
Barangkali, posisi markas Syi’ah yang ada di selatan inilah yang menjadi alasan terjadinya bentrokan dengan pihak Yahudi dalam dekade-dekade terakhir. Jadi, konflik Hizbullah-Israel yang terjadi –sebagaimana yang akan kami ulas nantinya- bukanlah perseteruan karena akidah, bukan pula karena Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan BUKAN demi membebaskan tanah palestina. Konflik ini terjadi karena mereka merasa bahwa daerah-daerah strategis yang mereka kuasai terancam hilang, dan mau tidak mau mereka harus mempertahankannya. Sebab jika tidak, kisah mereka akan segera tamat!! Andai saja agresi militer Yahudi ditujukan kepada daerah-daerah kekuasaan Ahlussunnah, dapat dipastikan Syi’ah tidak akan bergerak sejengkal pun untuk melawan.
Musa Ash Shadr dan kaitannya dengan kronologi kisah ini
Kembali ke awal cerita…
Baik Ahlussunnah maupun Syi’ah, pernah hidup secara sangat terpinggirkan dibandingkan kaum Maronit yang mendukung penjajah Perancis dan masyarakat dunia. Akan tetapi, golongan Ahlussunnah dan Syi’ah mulai berusaha mencari jatidiri dan pengakuan akan eksistensi mereka, terutama di akhir era lima puluhan.
Di saat Ahlussunnah kehilangan pihak yang memperjuangkan nasibnya, lebih-lebih seiring dengan munculnya gerakan nasionalis-komunis yang melanda dunia Arab waktu itu; saat itulah Syi’ah mendapat nafas segar untuk tumbuh dan berkembang. Tepatnya ketika mendarat di tanah Lebanon seorang tokoh Syi’ah berpengaruh yang meninggalkan bekas-bekas nyata di peta Lebanon; dialah Musa Ash Shadr, yang tiba di Lebanon tahun 1959.
Musa Ash Shadr lahir di kota Qumm, Iran, tahun 1928, dan mendalami madzhab Syi’ah Itsna ‘Asyariah di kota tersebut. Ia kemudian menjadi dosen di Univ. Qumm yang mengajarkan mata kuliah fiqih dan mantiqq. Ia kemudian pindah ke kota Najaf, Irak, pada tahun 1954 untuk melanjutkan studinya tentang Syi’ah di tangan sejumlah rujukan Syi’ah top, seperti Muhsin Al Hakiem dan Abul Qasim Al Khu’iy. Setelah itu ia pindah ke Lebanon pada tahun 1959 dan menetap di sana hingga akhir hayatnya.
Musa Ash Shadr tiba di Lebanon mengemban dua misi penting:
Misi pertama ialah misi religius Syi’ah untuk mendirikan Negara Syi’ah di Lebanon. Ia hendak mendirikan negara tersebut dengan bertolak dari madzhab Syi’ah Itsna ‘Asyariyah dengan segala akidah dan kepercayaannya yang menyimpang, plus seluruh bid’ah-bid’ahnya yang mungkar.
Hal ini dapat Anda pelajari secara lebih rinci dalam tulisan-tulisan yang membahas tentang pokok-pokok keyakinan kaum Syi’ah.
Perlu diketahui, bahwa Syi’ah di Lebanon kala itu bukanlah syi’ah yang agamis, artinya mereka hanya membawa nama ‘syi’ah’ tanpa mengetahui tabiat dan prinsip dari madzhab mereka.
Sedangkan misi keduanya ialah dana yang sangat besar jumlahnya untuk memudahkannya dalam mewujudkan megaproyeknya tadi. Bukan suatu rahasia bahwa para rujukan Syi’ah di dunia adalah orang-orang yang sangat kaya, sebab kaum Syi’ah menyumbangkan seperlima (20 %) dari penghasilan mereka kepada para rujukan tadi, dengan anggapan bahwa mereka berasal dari Ahlul Bait. Harta tersebut adalah khusus bagi mereka secara pribadi dan mereka bebas mempergunakan semau mereka. Dengan harta inilah mereka mampu mengendalikan berbagai hal karena mereka telah membentuk kekuatan ekonomi raksasa.
Kaum Syi’ah dan perlawanan terhadap pemerintahan Sunni
Azas madzhab syi’ah sebenarnya hanyalah pemberontakan terhadap sistem pemerintahan yang bertujuan untuk menguasai dan mencapai kekuasaan, dengan cara menentang dan memerangi ajaran-ajaran Sunni. Syi’ah telah berhasil menguasai daerah yang cukup luas di dunia Islam dalam kurun sejarah yang berbeda. Anda bisa membaca kembali tulisan tentang “Hegemoni Syi’ah”, yang menampakkan dengan jelas berbagai dampak negatif yang tercela yang mereka timbulkan setelah mereka berhasil memegang tampuk kekuasaan di suatu tempat. Akan tetapi seiring dengan tumbangnya Daulah Ash Shafawiyyah (Savafid Empire) di pertengahan abad 18 M, Syi’ah kehilangan kendalinya di seluruh dunia, dan megaproyek mereka pun menyurut selama beberapa waktu.
Akan tetapi, jiwa suka menguasai tadi mulai muncul di era lima puluhan. Ambisi besar mereka untuk mendirikan sebuah daulah yang menyebarkan ajaran Itsna ‘Asyariyah yang sesat tadi dengan tangan kekuasaan dan senjata. Konon tempat yang dianggap strategis untuk mendirikan daulah tersebut tidak keluar dari tiga tempat: Iran, Irak, dan Lebanon. Sebab di ketiga tempat tadi Syi’ah memiliki massa yang mendukung berdirinya negara yang dimaksud.
Lobi-lobi Syi’ah sejak semula merencanakan pendirian daulah tersebut di salah satu dari ketiga negara tadi, atau di ketiga-tiganya. Kader-kader pun telah disebar di berbagai daerah. Ada yang khusus bekerja untuk menggulingkan pemerintahan di Iran, yang dipimpin oleh Khomeini. Ada juga yang bekerja untuk hal serupa di Irak, dan insya Allah akan kita ulas dalam tulisan mendatang. Dan ada juga yang dikirim untuk beroperasi di Lebanon, yaitu Musa Ash Shadr.
Megaproyek ini merupakan jaringan operasi yang rumit dan bergerak perlahan-lahan. Bagi mereka tidak masalah bila targetnya baru dicapai puluhan tahun mendatang, yang penting target itu bisa tercapai. Cara seperti inilah yang dahulu dipakai untuk mendirikan daulah-daulah Syi’ah tempo dulu, seperti Daulah Buwaihiyyah, dan Daulah Ubeidiyyah yang menamakan dirinya secara dusta sebagai Daulah Fathimiyyah; dan lain-lain. Lihat kembali tulisan kami tentang “Hegemoni Syi’ah”.
Biasanya, organisasi-organisasi tersebut bekerja sama dengan masyarakat papan bawah dan kaum fakir miskin di suatu negara. Kepada merekalah angin pemberontakan dihembuskan agar menggulingkan golongan kaya dan para penghuni istana. Organisasi-organisasi tersebut senantiasa mengungkit-ungkit masalah revolusi yang telah mengakar dalam jiwa kaum syi’ah, lalu dari sanalah terjadinya kudeta dan berdirinya negara Syi’ah.
Peristiwa ini telah kita saksikan dalam sejarah, dan kita saksikan pula di Iran. Mungkin bila tersisa cukup waktu, kita akan menjelaskan kronologi Revolusi Syi’ah di Iran. Akan tetapi sekarang kita sedang menyaksikan langkah-langkah nyata di Lebanon dan Irak yang mengarah ke sana. Jika megaproyek mereka berhasil di kedua negara ini, maka ekspansi mereka berikutnya akan meliputi Suriah, Kuwait, Bahrain, dan wilayah timur Saudi. Oleh karena itu, penjelasan ini wajib ditulis, dan kaum muslimin harus faham akan apa yang terjadi di sekitar mereka.
Rencana pendirian Negara Syi’ah
Kembali ke kisah Lebanon…
Musa Ash Shadr berhasil di kirim ke Lebanon untuk merencanakan pendirian negara syi’ah. Ialah yang dipilih, sebab ia memiliki asal usul Lebanon, dan dia pandai berbahasa Arab selain menguasai bahasa Parsi. Ia senantiasa melakukan kontak dengan Khomeini, bahkan ada hubungan lain antara keduanya yang lebih kuat dari sekedar relasi politik; sebab putera Khomeini yang bernama Ahmad Al Khomeini, menikahi puteri saudari kandung Musa Ash Shadr. Sedangkan Musa Ash Shadr menikahi cucu Khomeini, di samping itu, Musthafa Al Khomeini juga merupakan salah satu sahabat terdekat Ash Shadr.
Musa Ash Shadr segera menuju Lebanon selatan yang merupakan kantong Syi’ah. Di sana ia memulai misinya atas nama sosial, tanpa menonjolkan masalah agama dengan jelas. Ia mendirian yayasan-yayasan sosial untuk membantu kaum fuqara’, demikian pula sekolah-sekolah dan klinik-klinik kesehatan. Kemudian ia mulai menampakkan perspektif syi’ah-nya sedikit demi sedikit. Ia lalu mendirikan lembaga-lembaga peradilan Ja’fari, yang mengadili kaum syi’ah berdasarkan madzhab Itsna ‘Asyariah mereka. Karakter multi golongan yang ada di Lebanon memang mendukungnya untuk beroperasi secara luas, lebih-lebih mengingat sangat lemahnya pengaruh pemerintah dan militer Lebanon…
Musa Ash Shadr adalah tipe laki-laki yang menempuh segala cara. Ia siap menggandeng tangan siapa saja demi mewujudkan keinginannya. Sejak semula ia tahu bahwa golongan Nasrani Maronit adalah golongan terkuat di Lebanon kala itu, dan pesaingnya adalah golongan Sunni. Padahal perlu kita ketahui bahwa Ahlussunnah kala itu bukanlah kaum fundamentalis yang berpegang teguh dengan sunnah atau agama Islam. Mereka tak lain adalah orang-orang berfaham Nasionalis-Sosialis-sekuler, kecuali orang-orang yang mendapat rahmat Allah.
Musa Ash Shadr pun mulai mendekati golongan Nasrani, sebab Syi’ah sebagaimana yang kita ketahui sejak dulu, tak lain adalah pemberontakan atas ajaran Islam Sunni.
Syi’ah hanyalah penentang sejarah Islam sejak Abu Bakar Ash Shiddiq dan Umar bin Khatthab radhiyallaahu ‘anhuma, lalu demikian seterusnya di setiap negara Islam yang menaungi umat ini. Intinya, pemikiran syi’ah sejak semula ialah konfrontasi dengan Ahlussunnah. Nah sebab itulah Musa Ash Shadr berusaha merangkul Sharel Al Halew, Presiden Lebanon yang Maronit kala itu. Ia tidak merangkul pemimpin-pemimpin Sunni untuk mengumpulkan kekuatan kaum muslimin. Ia justeru menganggap bahwa Sharel Al Halew sebagai sekutu yang pantas untuk menentang penguasa Sunni. Ia mulai mendekatinya dan memprovokasinya. Hingga akhirnya pada tahun 1967 terjadilah kesepakatan untuk mendirikan Majelis Tinggi Syi’ah yang bertindak sebagai wakil Syi’ah di Lebanon. Sharel Al Halew bahkan sepakat untuk menetapkan undang-undang nomor 72/76 yang memutuskan: bolehnya menjadikan rujukan-rujukan Syi’ah dunia (di Iran, Irak dan lainnya) sebagai rujukan Majelis Syi’ah dalam menetapkan fatwa, hukum dan undang-undangnya. Mereka tidak harus mengikuti hukum yang berlaku di Lebanon!
Majelis ini benar-benar berhasil didirikan tahun 1969 dan ketuanya yang pertama kali tentulah Musa Ash Shadr sendiri. Pemerintah Lebanon mengakui keberadaan majelis tersebut pada tahun 1970, bahkan pemerintah menetapkan dana sebanyak 10 juta Dollar sebagai bantuan untuk wilayah selatan yang Syi’ah.
Musa Ash Shadr juga tak lupa menjual dirinya kepada Amerika. Dalam pertemuannya dengan Dubes AS, Ash Shadr menyebutkan bahwa ia akan menghadapi gerakan Nashiri yang Komunis bersama pemuda-pemuda Syi’ah di Lebanon. Kedekatan hubungannya dengan orang-orang Amerika telah demikian terkenal, hingga ia dituduh oleh orang-orang dekatnya Khomeini. Sebab Khomeini ketika itu menganggap AS sebagai bahaya besar, sebab AS mendukung kuat pemerintahan Shah Iran.
Akan tetapi terjadilah perkembangan di luar keinginan Musa Ash Shadr pada tahun 1970. Yaitu dengan terjadinya pembantaian para pengungsi Palestina di Yordania, yang terkenal dengan pembantaian “September Hitam”. Dari sanalah orang-orang Palestina di bawah komando Fatah diungsikan ke Lebanon. Tanpa diinginkan oleh Syi’ah, pengungsian tersebut menempati wilayah selatan Lebanon yang berbatasan dengan Palestina. Masalahnya orang-orang Palestina tadi adalah Ahlussunnah, dan hal ini berarti akan menghambat megaproyek pendirian negara Syi’ah tadi. Padahal gerakan Fatah ketika itu menganut faham Sosialis-sekuler yang sangat jauh dari ajaran Islam.
Pun demikian, Musa Ash Shadr sempat memanfaatkan gerakan Fatah dalam periode ini. Ia menjalin hubungan solidaritas dengan Fatah, dengan harapan bahwa Fatah kelak akan memberikan training militer terhadap Syi’ah. Ini merupakan persiapan pembentukan milisi-milisi bersenjata yang dapat mempengaruhi masa depan Lebanon. Kebetulan Fatah saat itu juga sedang mencari sekutu untuk menghadapi kaum Komunis, hingga terjadilah simbiosis mutualisme antara Fatah dan Ash Shadr.
Pada tahun 1971, Hafizh Asad menduduki kursi kepresidenan di Suriah. Ia termasuk kelompok Nushairiyyah ‘Alawiyyin, yang berada di luar Islam meskipun secara politik dihitung sebagai ‘muslim’. Mereka –kaum Nushairiyyah ‘Alawiyyin tadi- menuhankan Ali bin Abi Thalib. Namun, segera saja Musa Ash Shadr mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa kaum ‘Alawiyyin tersebut adalah Syi’ah, yang konsekuensinya ia menganggap Hafiz Asad sebagai muslim! Ini menyebabkan makin eratnya hubungan Ash Shadr dengan Suriah dan pemerintahan yang berkuasa di sana. Musa Ash Shadr menjadi mata rantai penghubung antara Hafiz Asad dan pemimpin-pemimpin Revolusi Iran, hingga Hafiz Asad pun mendukung penggulingan Shah Iran, bahkan mendukung Iran pasca Revolusi saat berperang melawan Irak, sebab ia sangat memusuhi Saddam Husein.
Demikianlah Musa Ash Shadr menanamkan benih-benih negara Syi’ah-nya yang baru. Ia bekerja sama sangat kuat dengan para tokoh agama di seluruh dunia, khususnya Khomeini, demikian pula dengan kaum Nasrani Lebanon, Amerika Serikat, Suriah, bahkan dengan Fatah yang dianggap bagian dari Ahlussunnah.
Pada tahun 1974, Musa Ash Shadr mendirikan Harakah al Mahrumin yang menyerukan agar kaum fuqara mendapat hak-hak yang lebih banyak. Mulanya, banyak kaum Nasrani di selatan yang bergabung dalam gerakan tersebut. Mereka menyangka bahwa gerakan tersebut bersifat nasionalis yang bertujuan mengentaskan fakir miskin di Lebanon dari krisis ekonomi. Akan tetapi mereka akhirnya keluar setelah mencium aroma Syi’ah yang kuat dari Harakah tersebut.
Tak lama kemudian, Ash Shadr membuat kesepakatan dengan Yasir Arafat sebagai pemimpin Fatah untuk melatih Harakah al Mahrumin secara militer, dan hal itu atas sepengetahuan pemerintah Lebanon yang lemah.
Pada bulan Juli 1975, Ash Shadr mengumumkan pembentukan sayap militer Harakah al Mahrumin yang dinamakan ‘Gelomban Perlawanan Lebanon (Afwaaj Al Muqaawamah ALubnaaniyyah’), yang disingkat Harakah AMAL, dan tentulah dia sendiri yang mengepalainya.
Tiba-tiba Musa Ash Shadr berbalik menentang orang-orang Palestina, dan menuntut dengan sangat agar warga Palestina yang berfaham Sunni diusir dari daerah selatan yang notabene syi’ah. Kita akan menyaksikan selanjutnya, bagaimana anggota Harakah AMAL membantai orang-orang Palestina tersebut dalam Serangan atas Kamp pengungsian, yang terkenal sejak tahun 1985 hingga 1988.
Pada tahun 1975, Lebanon mulai memasuki silsilah perang saudara yang membingungkan. Perang ini demikian rumit karena terkait dengan berbagai faktor internal dan eksternal. Kita mungkin membutuhkan berbagai analisa khusus untuk dapat memahaminya dengan jelas.
Musa Ash Shadr dan berbagai permusuhan
Setelah terbentuknya Majelis Perwakilan Tinngi Syi’ah dan Harakah AMAL, Musa Ash Shadr menjadi sebuah kekuatan yang tak bisa disepelekan. Hal ini mulai menggugah kesadaran banyak orang, sebab Musa Ash Shadr tidak lagi menutupi kekuatan tersebut atau menyembunyikannya. Ia bahkan sering kali mengancam terang-terangan dalam berbagai liputan persnya untuk mengerahkan massanya ke rumah-rumah orang kaya di Lebanon jika mereka tidak memenuhi tuntutannya. Bahkan ia berani mengritik sebagian tindakan Khomeini, dan menjalin hubungan dengan pihak-pihak internasional tanpa merujuk ke tokoh-tokoh agama yang semula mengirimnya ke Lebanon. Masalah semakin meruncing saat ia mengunjungi Iran dan bertemu Shah secara langsung. Ia meminta agar Shah memberikan amnesti kepada 12 tokoh agama yang telah divonis mati olehnya, dan hal ini dianggap oleh Khomeini sebagai tindakan keluar dari kesepakatan internasional Syi’ah, dan kerjasama dengan Shah yang notabene adalah musuhnya kaum revolusioner.
Konflik semakin memuncak pada tahun 1978, ketika terjadi krisis hubungan antara Suriah dan Ash Shadr secara tiba-tiba. Hal ini dikarenakan Suriah mengalami banyak tekanan dari Negara-negara sekitar dan AS, setelah Anwar Sadat melakukan kunjungan ke Zionis Israel tahun 1977. Suriah berharap agar Lebanon menjadi pembela utamanya, sebab Suriah memiliki pasukan di Lebanon saat itu. Suriah juga berharap agar Ash Shadr tidak bersekutu dengan selain Suriah. Akan tetapi Ash Shadr telah merasakan bahwa dirinya kuat dan posisi Suriah lemah, karenanya ia sengaja mempererat hubungannya dengan negara-negara Arab dan sengaja melanggar peringatan Suriah. Ia mulai mengunjungi Kuwait, kemudian Al Jazair, dan terakhir berangkat ke Libya pada bulan Agustus 1978, yang diiringi sebuah kejutan besar… karena Libya mengumumkan bahwa Ash Shadr telah angkat kaki dari wilayahnya pada tanggal 25 Agustus 1978, akan tetapi ia tak pernah muncul lagi di tempat mana pun di muka bumi!!
Ini merupakan kejadian yang sungguh ajaib. Sebab Musa Ash Shadr bukanlah anak kecil yang gampang tersesat di airport, dan bukan pula orang biasa yang disikapi masa bodoh oleh Libya kemana perginya… akan tetapi yang jelas ia telah diculik atau dibunuh.
Saat itu memang banyak musuh yang mengintai Musa Ash Shadr, dan banyak di antara mereka yang dituding berada di balik pembunuhannya. Yang paling utama ialah tokoh-tokoh Revolusi yang setahun kemudian muncul di Iran. Dan tentu mereka tidak menginginkan keberadaan tokoh-tokoh kharismatik yang memiliki multi relasi sebagai saingan Khomeini yang berada di garda depan Negara Syi’ah yang baru.
Apalagi membikin berang pemerintah Suriah saat itu, berarti memberi lampu hijau bagi rencana pembunuhan, sebab pemerintah Suriah memang terkenal berdarah dingin dalam menghadapi para penentangnya. Libya sendiri ketika itu berhubungan erat dengan tokoh-tokoh revolusi Iran, dan siap mendukung mereka pasca revolusi untuk melawan Irak. Adapun kekuatan internal Lebanon yang mendapat manfaat dari tersingkirnya Musa Ash Shadr juga cukup banyak, sebab perang saudara di Lebanon saat itu memang sedang klimaksnya.
Lenyapnya Musa Ash Shadr memang teka-teki yang membingungkan, yang para politikus berlomba-lomba memecahkannya, akan tetapi tak satu pun dari mereka yang dapat memberikan jawaban pasti. Yang jelas, Musa Ash Shadr telah meninggalkan medan pertempuran yang menyala di belakangnya, dan meninggalkan Harakah AMAL yang melanjutkan cita-citanya, dan meninggalkan jabatan kosong di Majelis Perwakilan Tinggi Syi’ah… lalu tepat setahun kemudian terjadilah revolusi Iran untuk menggulingkan Shah, dan empat tahun berikutnya militer Zionis mencaplok Lebanon selatan, lalu dari ‘rahim’ pergolakan yang rumit tadi lahirlah Hizbullah yang Syi’ah, untuk melanjutkan megaproyek Ash Shadr, akan tetapi yang jelas dengan pengarahan dari Iran.
Bagaimana ini semua terjadi? Bagaimana pula nasib Harakah AMAL? Dan Bagaimana sikap Syi’ah terhadap orang-orang Palestina di Lebanon selatan? Bagaimana pamor Hizbullah tiba-tiba mencuat? Siapakah sebenarnya Hasan Nasrallah, dan bagaimana akidah serta pemikirannya?
Kisahnya masih panjang, dan insya Allah akan kita sambung dalam artikel berikutnya. Semoga Allah memuliakan Islam dan kaum muslimin.

Bermadzab Syafi'i Berakhlaq Asy'ari

Suatu ketika penulis membaca sebuah kitab fikih syafi’i bertajuk Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi’in syarh Qurratil ‘Ain bi Muhimmatid Din lil Malibari. Ketika membaca muqaddimah pensyarah, penulis dikejutkan dengan sebuah pernyataan yang mengganjil di hati. Pernyataan itu adalah sebagai berikut:
          أَمَّا بَعْدُ، فَيَقُوْلُ العَبْدُ الْفَقِيْرُ الْرَّاجِي مِنْ رَبِّهِ الْخَبِيْرُ غَفَرَ الْذُّنُوْبَ وَ الْتَّقْصِيْرَ، مُحَمَّدُ نَوَوِيُّ ابْنُ عُمَرَ الْتَّنَارْيُّ بَلَداً، اَلْأَشْعَرِيَّ إِعْتِقَاداً، اَلْشَّافِعِيَّ مَذْهَباً…
“Adapun selanjutnya, berkata hamba yang membutuhkan lagi mengharapkan dari Robb-nya agar Dia mengampuni dosa-dosa serta kecerobohannya, Muhammad Nawawi bin ‘Umar At Tanari negerinya, Al Asy’ari akidahnya, dan Asy Syafi’i madzhab fikihnya…” (Nihayatuz Zain, hal. 5)
Di halaman ke-10, pensyarah mengatakan, “Dan wajib bagi siapa saja yang tidak memiliki keahlian (dalam agama) untuk bertaklid dalam masalah ushul, yaitu akidah, kepada Abul Hasan Al Asy’ari atau Abu Manshur Al Maturidi.” “Dan juga wajib kepada orang yang disebut di atas (yaitu orang yang tidak memiliki keahlian) untuk bertaklid kepada salah satu imam dari imam-imam tasawuf, seperti Al Junaid. Dia adalah Imam Sa’id bin Muhammad Abul Qasim Al Junaid, seorang penghulu para shufi; baik secara ilmu maupun amal. Semoga Allah meridhainya.”
Ternyata penulis juga mendapatkan hal yang sama di beberapa kitab ulama-ulama yang berakidah Asy’ari. Ini senada dengan pernyataan banyak kaum muslimin –terutama di Tanah Air-, “Madzhab saya adalah syafi’i dan akidah saya Ahlussunnah wal Jama’ah Asy’ariyyah (!?).” Sebagaimana juga yang sering dijumpai dalam buku-buku tulisan KH Siradjuddin ‘Abbas –salah satu ulama kenamaan dan pemerang utama tauhid di Indonesia- , seperti bukunya yang ma’ruf,  I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah dan lainnya. Setelah membaca pernyataan semacam di atas, terbetik dalam hati, “Apa mereka menyangka bahwa Imam Syafi’i tidak memiliki akidah, sehingga beliau hanya layak diikuti dalam masalah fikih saja?! Bukankah Imam Syafi’i adalah mujaddid di zamannya?”
Oleh karena itu, dalam artikel ringkas ini penulis akan mencoba menyingkap beberapa kerancuan-kerancuan pernyataan semacam ini.
Imam Syafi’i Tidak Mempunyai Akidah?
Sesunguhnya para ulama di sepanjang zaman bersepakat bahwa Imam Syafi’i rahimahullah  adalah mujaddid di zamanya. [Al Khazain As Saniyyah (hal. 108) karya ‘Abdul Qadir Al Mandili] Karena keilmuan dan perjuangan beliau yang begitu gigih. Imam Ahmad, selaku muridnya, pernah mengatakan, “Dahulu ilmu fikih itu terkunci, sampai kemudian datang Imam Syafi’i membukanya.”
Jika seseorang yang memperhatikan madzhab Imam Asy Syafi’i dengan sebenar-benar perhatian, niscaya ia akan mendapatkan bahwa madzhab yang beliau dirikan adalah madzhab yang berasaskan ushul Ahlissunnah wal Jama’ah. Ini karena beliau melihat di zamannya banyak bermunculan kelompok-kelompok sesat yang berkembang, seperti Zindiq, Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, dan ahli kalam lainnya. [Al Imam Asy Syafi’i wa Madzhabaih Al Qadim wal Jadid hal. 121 karya Dr. Ahmad Nahrawi ‘Abdussalam]
Melihat kelompok-kelompok bid’ah yang semakin gencar menyebarkan idiologi-idiologi ini, Imam Asy Syafi’i pun merasa terpanggil untuk membendung dakwah sesat mereka. Maka beliau pun dengan sepenuh jiwa membela sunnah dari campur tangan kotor itu. Tidak heran, Imam Asy Syafi’i digelari Nashirus Sunnah (pembela/penolong sunnah) ketika di Iraq.
Sebagai penganut madzhab syafi’i saja, yang benar-benar bermadzhab dengannya, mengambil dasar-dasarnya dari sumber-sumbernya yang mu’tabar, dan mengetahui kepribadian pendirinya, tentu akan menjumpai bahwa Imam Asy Syafi’i tidak hanya mengenalkan fikih kepada umat, akan tetapi semua keilmuan islam telah beliau ajarkan kepada umat, terlebih akidah.
Dari sini, maka seseorang yang bermadzhab syafi’i harus cerdas dalam menilai madzhab syafi’i itu sendiri. Jika tidak, ia akan tergelincir seprti banyak penganunt syafi’i lainnya, terutama dari kalangan belakangan, yang hanya melihat madzhab dengan hanya menggunakan kacamata kuda. Sehingga hanya mengikuti madzhab fikih saja, bukan madzhab akidah yang lebih penting.
Ya. Madzhab syafi’i tidak hanya sebatas hukum amaliyyah saja, yang biasa diungkapkan dengan istilah fikih. Bahkan ia merupakan madzhab yang lengkap, yang mencakup akidah. Oleh karena itu, sebagian murid Imam Asy Syafi’i apabila ditanya tentang akidah mereka atau mengarang buku yang menjelaskan masalah-masalah akidah, mereka menyatakan bahwa apa yang mereka tetapkan adalah semata-mata akidah imam mereka. Sebagaimana perkataan Abu Hamid Al Isfirayini rahimahullah  ketika menyebutkan masalah-masalah akidah:
مَذْهَبِي وَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَ جَمِيْعُ عُلَمَاءِ الْأَعْصَارِ، أَنَّ الْقُرْآنِ كَلَامُ اللهِ…إلخ
 “Madzhabku, madzhab Syafi’i, dan madzhab seluruh ulama sepanjang zaman, bahwa Al Quran adalah perkataan Allah….dsb.” [Dinukil Imam Ibnul Qayyim dalam Ijtima’ul Juyusyil Islamiyyah hal. 156]
Dalam muqaddimah kitabnya yang bertajuk Ushuluddin, Imam Abu ‘Amru As Sahruardi rahimahullah mengatakan, “Ia memintaku agar aku mengumpulkan ringkasan (mukhtashar) ini dalam akidah sunnah menurut madzhab Asy Syafi’i…dsb.” [Dinukil Ibnul Qayyim dalam Ijtima’ul Juyusyil Islamiyyah hal.
Ketika Imam Al Muzani rahimahullah (w. 264) ditanya tentang pendapatnya terhadap Al Quran, beliau menjawab:
مَذْهَبِي مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ
“Madzhabku adalah sebagaimana madzhab Asy Syafi’i.” Ketika ditanya apa madzhab Syafi’i itu, beliau menjawab, “Bahwasannya Al Quran adalah firman Allah dan bukanlah makhluk.” [Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah karya Imam Al Lalika’i (II/254)]
Tidak ragu lagi bahwa yang beliau maksud di sini adalah madzhabnya dalam akidah. Adapun madzhab fikih, maka beliau termasuk ulama syafi’iyyah yang banyak membantah dan mengoreksi kekeliruan gurunya, Asy Syafi’i.
Ulama-ulama syafi’iyyah sendiri mengkencap dengan keras kepada setiap orang yang hanya menisbatkan dirinya kepada madzhab syafi’i dalam masalah fikih namun malah menyelisihinya dalam masalah yang paling mendasar, yaitu akidah.
Salah seorang ulama syafi’iyyah yang paling banyak menjelaskan masalah ini adalah Syaikh Abul Hasan Al Karji Asy Syafi’irahimahullah dalam kitabnya, Al Fushul fil Ushul ‘anil Aimmatil Fuhul. Di sini beliau banyak mengkeritik orang yang menyelisi Imam Asy Syafi’i dalam akidah, hanya mengambil madzhabnya dalam fikih dan hukum. Beliau juga banyak menukil dari ulama-ulama syafi’iyyah semacam Abu Hamid Al Isfirayini yang mengkeritik dengan keras kepada pengikut-pengikut Asy Syafi’i yang malah menyelisihi akidah Asy Syafi’i.
Imam Abul Muzhaffar As Sam’ani Asy Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya, Al Intishar li Ash-habil Hadits, setelah beliau menjelaskan sikap Imam Asy Syafi’i terhadap ilmu kalam dan ahlinya, beliau berkata, “Tidak sepantasnya bagi seseorang yang membela madzhabnya dalam furu’ (fikih) namun kemudian membenci metodenya dalam ushul (akidah).” [Dinukil As Suyuthi dalamShaunul Manthiq]
Imam Ibnu Qayyimil Jauziyyah rahimahullah dalam Ijtima’ul Juyusyil Islamiyyah (hal. 150) menukilkan perkataan Imam Abu ‘Amru As Sahrawardi dalam kitab Ushuluddin, “Imam kami dalam ushul & furu’, yaitu Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.”
Lihatlhah, bagaimana sikap ulama-ulama besar di atas terhadap madzhab Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya. Seandainya benar mereka mengikuti madzhab Imam Asy Syafi’i dengan sebenarnya, pasti tidak hanya fikih saja yang diikuti. Karena sesungguhnya madzhab besar Syafi’i adalah madzhab dalam akidah.
Sampai di sini kiranya sudah dapat dijawab pertanyaan di atas. Ternyata Imam Asy Syafi’i juga memiliki akidah yang juga patut diikuti. Maka seyogyanga pengikut madzhab Asy Syafi’i tidak memilah-milih dan memisahkan antara madzhab fikih dan madzhab akidah. Bahkan madzhab akidah itulah yang lebih penting, karena dia merupakan fikih akbar.
Di Mana Dijumpai Akidah Imam Asy Syafi’i?
Imam Asy Syafi’i memang tidak menulis kitab akidah secara khusus, namun bukan berarti menunjukkan beliau tidak memiliki perhatian terhadap akidah. Perhatiaan seseorang terhadap sesuatu tidak harus diterjemahkan dengan menulis suatu kitab, namun bisa dengan yang lainnya. Demikian juga dengan Imam Asy Syafi’i.
Perhatian Imam Asy Syafi’i diterjemahkan dalam bentuk putusan-putusan serta fatwa-fatwanya yang diriwayatkan banyak ulama dan ‘direkam’ dalam kitab-kitab mereka. Berikut kami nukilkan dari kitab ‘Aqidatul Imam Asy Syafi’i min Nushush Kalamih wa Idhah Ash-habihi karya Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al ‘Anqari tentang di mana ditemui akidah Asy
Kita dapat menjumpai Imam Asy Syafi’i dalam masalah akidah dalam dua tempat,
Pertama, di dalam karangan-karangan Imam Asy Syafi’i sendiri. Jika ada seseorang yang meneliti karangan-karanagan Imam Asy Syafi’i, ia akan bisa mengeluarkan sejumlah perkara-perkara akidah. Ini adalah jalan terbaik dalam mengetahui akidah beliau. Sebagaimana dalam kitab Al Umm & Ar 
Kitab Al Umm tidak hanya sebatas memuat hukum-hukum fikih saja, bahkan ia memiliki hubungan erat dengan akidah. Karena secara umum, kitab fikih juga didapati masalah-maslah akidah, yang bisa diistilahkan dengan masalah-masalah musytarakantara akidah & fikih, yang disebutkan dalam kitab-kitab fikih. Sebagaimana dalam kitab jenazah, haji, hukum murtad, dan masalah-masalah yang bertebaran dalam perkara jihad, warisan, dan
Hal serupa juga dijumpai dalam kitab Ar Risalah, sebuah kitab ushul fikih pertama yang ‘dilahirkan’ di dunia
Kedua, dalam riwayat-riwayat yang bertebaran dalam kitab-kitab akidah yang bersanad. Di antara ulama-ulama syafi’iyyah yang menukilkan darinya dalam masalah akidah:
1.      Imam Al Lalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah
2.      Al Ashbahani At Taimi dalam Al Hujjah
3.      Syaikhul Islam Abu ‘Utsman Ash Shabuni dalam ‘Aqidatus Salaf Ash-habul Hadits
4.      Dan lain-lain.
Al Hikkari bahkan menulis sebuah juz yang diberi judul I’tiqad Asy Syafi’i yang dinukil dari Imam Asy Syafi’i dalam beberapa perkara-perkara akidah dengan bersanad.
Contoh Akidah Imam Asy Syafi’i
-  Madzhab Imam Asy Syafi’i dalam Masalah Tauhid
Ketika datang seseorang kepada Imam Al Muzani yang menanyakan tentang masalah kalam, beliau menjawab, “Aku membenci yang semacam ini, bahkan aku melarang darinya, sebagaimana Imam Asy Syafi’i melarangnya. Aku telah mendengar Imam Asy Syafi’i berkata, Malik (bin Anas) ditanya tentang kalam dan tauhid, maka beliau menjawab, ‘Mustahil kita menyangka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan umatnya (cara) beristinja akan tetapi tidak mengajari mereka tauhid. Tauhid adalah apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ الْنَّاسَ حَتَّى يَقُوْلَ لَا إِلهَ إِلَّا اللُه
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia ia mengatakan laa ilaaha illallah (tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah).” [HR Al Bukhari & Muslim]
Maka apa yang dapat melindungi darah dan harta, itulah hakekat tauhid.’” [Siyar A’lam An Nubala’ (X/26)]
Dan sudah diketahui bahwa yang melindungi darah dan harta adalah mengingkari thaghut & iman kepada Allah. [Manhaj Al Imam Asy Syafi’i At Tauhid fi Itsbatil ‘Aqidah hal. 241-242]
Asy Syafi’i berkata, “Allah berfirman, ‘Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk menyembah-Ku.’ [QS Adz Dzariyat: 56]” Asy Syafi’i berkata, “Allah menciptakan makhluk agar (mereka) menyembah-Nya.”
Adz Dzahabi meriwayatkan dari Al Muzani, katanya, “Apa bila ada orang yang mengeluarkan uneg-uneg yang berkaitan dalam maslah tauhid yang ada di dalam hati saya, maka orang itu adalah Asy Syafi’i.” [Siyar A’lam An Nubala’ (X/31)]
- Madzhab Imam Asy Syafi’i bahwa Iman Adalah Keyakinan, Ucapan, dan Perbuatan
Al Hakim dalam Manaqib Asy Syafi’i berkata, Abul ‘Abbas Al Ashamm bercerita kepada kami, Ar Rabi’ mengkabari kami, ia berkata, ‘Aku mendengar Asy Syafi’i berkata, ‘Iman adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.’ [Fathul Bari (I/47)]
Dalam Al Hilyah [IX/115] ditambahkan, “Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.” Lalu beliau membaca firman Allah [QS Al Muddatstsir: 31]:
وَ يَزْدَادُ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِيْمَانًا
“Dan orang-orang beriman bertambah imannya.”
-  Madzhab Imam Asy Syafi’i tentang Taqdir
Al Baihaqi [Manaqib Asy Syafi’i (I/412-413) dan juga disebutkan Al Lalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah (II/702)] meriwayatkan dari Ar Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Asy Syafi’i pernah ditanya tentang taqdir, beliau menjawab dengan bait-bait syair yang terkenal:
Apa yang Engkau kehendaki terjadi
Meskipun aku tidak menghendaki
Apa yang aku kehendaki tidak terjadi
Apabila Engkau tidak menghendaki
Engkau ciptakan hamba-hamba
Sesuai apa yang Engkau ketahui
Maka dalam ilmu-Mu
Pemuda dan kakek berjalan
Yang ini Engkau karuniai
Sementara yang itu Engkau rendahkan
Yang ini Engkau beri pertolongan
Yang itu tidak Engkau tolong
Manusia ada yang celaka
Manusia juga ada yang beruntung
Manusia ada yang buruk rupa
Dan juga ada yang bagus rupawan
-  Madzhab Imam Asy Syafi’i dalam Memahami Asma’ & Sifat Allah
Ibnu Qudamah dalam Lum’atul I’tiqad ( beserta syarah Al ‘Utsaimin hal. 19) berkata, “Al Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Aku beriman kepada Allah, dengan apa yang datang dari Allah dengan apa yang Allah inginkan. Dan aku beriman kepada Rasulullah, dengan apa yang datang dari Rasulullah, dengan apa yang diinginkan Rasulullah.”
Ibnu ‘Abdil Barr meriwayatkan dari Yunus bin ‘Abdul A’la, katanya saya mendengar Imam Asy Syafi’i berkata, “Apabila Anda mendengar ada orang yang berkata bahwa nama itu berlainan dengan apa yang diberi nama, atau sesuatu itu berbeda dengan sesuatu itu, maka ketahuilah bahwa orang itu adalah kafir zindiq.”
Dalam Ar Risalah, Imam Asy Syafi’i berkata, “Segala puji bagi Allah yang memiliki sifat-sifat sebagaimana Dia mensifati diri-Nya, dan di atas yang disifati makhluk-Nya.”
Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam An Nubala’ (XX/341) menuturkan dari Imam Asy Syafi’i, kata beliau, “Kita menetapkan sifat-sifat Allah ini sebagaimana disebutkan di dalam Al Quran dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kita meniadakantasybih (menyamakan Allah dengan makhluk-Nya), sebagaimana Allah meniadakan tasybih itu dalam firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ
“Tidak ada satu pun yang serupa dengan Dia.” [Asy Syura: 11]
Akidah-akidah Imam Asy Syafi’i ini bisa dibaca dan ditelaah lebih luas dalam beberapa kitab berikut: Juhud Asy Syafi’iyyah fi Taqrir Tauhud Al ‘Ibadah, ‘Aqidah Al Imam Asy Syafi’i min Nushush Kalamih wa Idhah Ash-habihkeduanya karya Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al ‘Anqari, dan penulis banyak mengambil manfaat dari dua kitab ini, Manhaj Al Imam Asy Syafi’i fi Itsbatil ‘Aqidah karya Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Al ‘Aqil yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan Pustaka Imam Asy Syafi’i Jakarta, I’tiqad Al Aimmah Al Arba’ah karya Dr. Muhammad bin ‘Abdurrahman Al Khumais yang juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Allahua’lam. Segala puji hanya milik Allah. Semoga shalawat beserta salam tercurahkan kepada Nabi, keluarga, shahabat, dan siapa saja yang berpegang teguh kepada petunjuknya hingga hari kiamat.

Monday, November 19, 2012

Nama Rabbku yang Ternoda


Segala puji bagi Allah dan sepantaslah pujian agung hanya tercurah untuk-Nya semata. Allah memiliki nama-nama yang mulia nan agung. Dia memilih nama-nama tersebut untuk menjadi nama-Nya sesuai dengan apa yang Dia kehendaki.
Ahlussunnah menetapkan nama-nama Allah berdasarkan nama-nama yang memang Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri. Tidak ada jalan bagi akal manusia untuk membuat-buat nama ini kemudian menyematkannya kepada Allah, apalagi berdoa dengan nama-nama tersebut.
Ada 4 poin utama yang mesti dipahami dengan baik dalam memahami Asma wa Shifat (nama dan sifat Allah):
  1. Kaidah Ahlussunnah tentang nama-nama (dan sifat) Allah.
  2. Mengenal istilah ilhad
  3. Allah membenci ilhad
  4. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu.
Berikut penjelasan singkat mengenai 4 poin di atas.
I.  KAIDAH AHLUSSUNNAH TENTANG NAMA-NAMA (DAN SIFAT) ALLAH 
Syaikh Dr Muhammad ‘Abdurrahman Al-Khumais, dalam kitabnya Mukhtashar Sabil Al-Huda wa Ar-Rasyad fiy Bayan Haqiyqah at-Tauhid Rabb al-‘Ibad, menyebutkan 6 kaidah dalam menetapkan nama-nama dan Sifat Allah.
Dua diantaranya yang kami anggap penting dalam catatan sederhana ini adalah sebagai berikut:
Pertama:
(الإيمان والتسليم بما ورد من الأسماء والصفات)
“Tunduk dan mengimani hal-hal yang tertera (dalam Kitab dan Sunnah) berupa nama-nama dan sifat Allah.”
Inilah salah satu peragaan keimanan seorang muslim. Ia meyakini dan menerima sepenuh hati hal-hal yang termaktub dalam Al-Qur’an/Sunnah dan lebih khusus lagi dalam tema ini yaitu tentang nama-nama Allah. Seorang muslim wajib mengimani hal ini tanpa merubahnya baik  mengurangi atau menambahnya.
Hal ini dipertegas oleh syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin. Beliau berkata, “Iman kepada Allah mencakup iman kepada nama-nama dan sifat Allah.”[1] 
Kedua:
(أن أسماء الله وصفاته كلها عندهم توقفية)
“Nama dan sifat Allah bersifat taufiqiyyah.”
Dalam perspektif Ahlussunnah, nama dan sifat Allah mesti berlandaskan wahyu. Hal ini tidak bisa ditetapkan oleh akal manusia karena nama dan sifat Allah termasuk keimanan yang berhubungan dengan perkara ghaib. Sementara hal ghaib tak akan pernah terjangkau oleh akal manusia yang terbatas. Oleh karena itu, pengetahuan tentang nama dan sifat Allah akan diperoleh di bawah sinar wahyu.
Dr Muhammad ‘Abdurrahman Al-Khumais berkata, “Hal ini dikarenakan keimanan terhadap nama dan sifat Allah termasuk keimanan yang berhubungan dengan perkara ghaib. Tidak mungkin mengetahui perkara ghaib ini kecuali dengan metode para rasul yang menyampaikan wahyu Allah.”[2]
Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin mengungkapkan, “Sifat (dan nama) Allah termasuk perkara ghaib. Dalam perkara ghaib ini dan yang semisalnya, manusia wajib mengimaninya sesuai dengan apa yang termaktub (dalam mash) tanpa merujuk ke hal lain selain nash.”[3]
Abdurrahman bin Qasim berkata, “Tak selayaknya bagi seseorang untuk menyifati Allah kecuali dengan apa-apa yang memang Allah sifatkan mengenai diri-Nya dalam Al-Qur’an.”[4]
As-Sajzi berkata, “Para imam telah sepakat bahwa sifat/nama Allah tidak disarikan kecuali berdasarkan wahyu, demikian pula penjelasannya. Tidak boleh menyifati Allah kecuali dengan hal-hal yang memang Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sifatkan tentang diri-Nya sendiri.”[5]
II.  MENGENAL ISITLAH ILHAD 
Dalam perbicangan para ulama dalam kitab-kitab mereka, pada tema nama dan sifat Allah, terdapat istilah Ilhad.
Apa definisi ilhad?
Menurut Syaikh Dr Shalih Fauzan Al-Fauzan, secara bahasa, ilhad bermakna kecondongan/pembelokan dan berpaling dari sesuatu.[6]
Dalam terminologi pada pembahasan nama dan sifat Allah, masih dalam penjelasan Dr Shalih Fauzan Al-Fauzan, ilhad bermakna, Membelokkan/memalingkan nama-nama dan sifat Allah dari hakikat dan makna yang benar ke arah (konsep) yang bathil.”[7]
Kalau diungkapkan secara sederhana, ilhad bisa dimaknai sebagai pemindahan/pengubahan nama-nama dan sifat-sifat Allah dari konsep yang valid baik itu hakikat maupun maknanya ke konsep yang amat keliru/salah. Dengan catatan bahwa timbangan ‘valid’ di sini sesuai/berdasarkan dengan kaidah yang digariskan para ulama.
Ragam-ragam ilhad
Syaikh Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais, membawakan ungkapan Ibnul Qayyim yang merangkum 5 jenis ilhad dalam nama-nama dan sifat Allah[8]. Begitu pula Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin membawakan 5 jenis/katagori ilhad dan menjelaskannya dengan bagus dalam kitab beliau Syarh Aqidah Washithiyyah.
Salah satu jenis ilhad, berdasarkan tema catatan ini, adalah seperti yang diungkapkan syaikh Utsaimin:
أن يسمى الله بما لم يسم به نفسه كما سماه الفلاسفة: علة فاعلة, وسماه النصارى : أبا وعيسى : الابن, فهذا إلحاد في أسماء الله, وكذلك لو سمى الله بأى اسم لم يسم الله به نفسه فهو ملحد في أسماء الله
“Menamakan Allah dengan istilah-istilah yang Allah sendiri tidak namakan mengenai dirinya sendiri. Seperti para filosof menamakan Allah dengan (علة فاعلة) demikian pula Nashrani yang menamakan Allah dengan Abun (Bapak) dan Isa dengan Al-Ibnu (Anak Allah). Ini termasuk ilhad dalam nama-nama Allah.
 Termasuk pula sekiranya Allah dinamakan dengan nama-nama yang memang Allah tidak namai mengenai diri-Nya sendiri. Orang yang melakukan hal ini termasuk orang yang melakukan ilhad dalam nama-nama Allah.”[9]
III.  ALLAH MENCELA ILHAD
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin mengungkapkan bahwa penamaan Allah dengan nama-nama yang memang Allah tidak namai merupakan bentuk adab yang buruk kepada Allah. Hal ini termasuk ilhad yang merupakan kedzhaliman dan penyerangan terhadap hak Allah.[10]
Syaikh Shalih Fauzan menyebutkan bahwa mulhiduun (orang-orang yang melakukan ilhad dalam nama-nama dan sifat Allah diancam dengan ancaman yang paling keras oleh Allah[11]. Syaikh kemudian membawakan firman Allah:
وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Hanya milik Allah asmaulhusna (nama-nama yang baik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaulhusna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.[12]
Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumais mengungkapkan dengan tegas:
فكل ما نص عليه كتاب الله وحديث رسول الله صلى الله عليه وسلم وجب الإيمان به فمن أنكر أو ألحد فإنه يخشى عليه الكفر  بعد ثبوت الحجة عليه
“Wajib mengimani hal-hal yang diungkapkan oleh Al-Qur’an maupun Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Siapa yang mengingkari atau melakukan ilhad maka ditakutkan ia ditimpa kekufuran setelah ditegakkan hujjah.”[13]
Setelah ungkapan beliau ini, syaikh kemudian membawakan ucapan tegas Imam Syafi’i:
“Allah memiliki nama-nama dan sifat. Al-Qur’an turun dengan menyebutkan nama dan sifat ini. Nabi pun mengabarkan hal ini. Tidak boleh bagi seorang hamba Allah untuk menolak nama-nama dan sifat ini setelah ditegakkan hujjah karena Al-Qur’an turun dengan membawanya. Begitu pula telah valid ungkapan Rasulullah tentang tema ini.
Siapa yang menyelisihinya setelah tegaknya hujjah maka dia kafir kepada Allah namun jika belum ditegakkan hujjah maka ia dimaafkan karena ketidaktahuannya.”[14] 
IV.  BERBICARA TENTANG ALLAH TANPA ILMU
Ilhad juga termasuk berbicara tentang ilmu. Allah berfirman,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”. 
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata:
“Ketika anda menyifati Allah dengan sifat yang memang tidak Allah sifatkan tentang diri-Nya maka sungguh anda telah berbicara tentang sesuatu hal yang tak anda ilmui. Ini jelas haram berdasarkan nash Al-Qur’an.”[15]
KESIMPULAN
1. Wajib mengimani nama-nama Allah yang diungkapkan Allah dalam menamakan diri-Nya sendiri.
2. Ahlussunnah menetapkan nama-nama Allah sesuai dengan nama-nama yang Allah sebutkan melalui wahyu-Nya.
3. Manusia, dengan akalnya yang terbatas, tidak berhak memberikan nama kepada Allah karena ini adalah hak Allah sesuai dengan apa yang Dia kehendaki.
4. Penamaan Allah dengan nama-nama yang tidak berdasarkan wahyu atau penyelewengan terhadap nama yang ada termasuk salah satu katagori ilhad.
5. Begitu banyak ungkapan tegas dari para ulama tentang ilhad termasuk dari Imam Syafi’i.
6. Ilhad juga terrmasuk berbicara tentang Allah tanpa ilmu.
7. Nama-nama Allah yang disebutkan oleh masyarakat kita di daerah masing-masing termasuk kekeliruan fatal. Namun ini karena ketidaktahuan mereka tentang syariat.
Semoga Allah tetap memperbaiki urusan kita baik di dunia maupun akhirat.
Subhanaka allahumma wabihamdika asyhadu alla ila ha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika.
***
Mataram, Lantai 3 Masjid ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Lombok. Mendung menjelang waktu Ashar 01 Muharram 1434 H/15 Nopember 2012 M

Penulis: Abdullah Akiera Van As-Samawiey
Artikel Muslim.Or.Id
Referensi Utama:
1. Al-Qur’an digital dan terjemahannya.
2. Kitab Mukhtashar Sabil Al-Huda wa Ar-Rasyad fiy Bayan Haqiyqah at-Tauhid Rabb al-‘Ibad oleh syaikh Dr Muhammad ‘Abdurrahman Al-Khumais. Penerbit Maktabah Al-Furqan, ‘Ajman, Uni Emirat Arab.
3. Kitab Syarh Aqidah Al-Washithiyyah oleh Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin. Penerbit Daar Al-Aqiidah, Al-Qahirah, Mesir
4. Kitab Syarh Aqidah Al-Washithiyyah oleh Syaikh Shaleh bin Fauzan Al-Fauzan. Penerbit Daar As-Salafiyyah, Nigeria.

End Notes:
[1] Syarh Aqidah Al-Washithiyyah oleh syaikh Utsaimin, hal 47.
[2] Kitab Mukhtashar Sabil Al-Huda …, hal 116.
[3] Syarh Aqidah Al-Washithiyyah oleh syaikh Utsaimin, hal 48.
[4] Ushul As-Sunnah Libni Abi Zamnin, 1/212. Dikutp dari Kitab Mukhtashar Sabil Al-Huda …, hal 116.
[5] Kitab Al-Harf wa As-Shaut, hal 139. Dikutp dari Kitab Mukhtashar Sabil Al-Huda …, hal 116.
[6] Syarh Aqidah Al-Washithiyyah oleh syaikh Fauzan, hal 24.
[7] Ibid.
[8] Kitab Mukhtashar Sabil Al-Huda …, hal 112.
[9] Syarh Aqidah Al-Washithiyyah oleh syaikh Utsaimin, hal75.
[10] Ibid
[11] Syarh Aqidah Al-Washithiyyah oleh syaikh Fauzan, hal 25
[12] QS Al-A’raf: 180
[13] Kitab Mukhtashar Sabil Al-Huda …, hal 116.
[14] Ibid
[15] Syarh Aqidah Al-Washithiyyah oleh syaikh Utsaimin, hal. 48

IKHTILATH

Pembicaraan seputar ikhtilath atau bercampur baur antara laki-laki dan perempuan dengan tanpa hijab/tabir penghalang sudah pernah kita singgung. Namun karena banyaknya penyimpangan kaum muslimin dalam perkara ini dan adanya sisi-sisi permasalahan yang belum tersentuh maka tak ada salahnya kita bicarakan dan kita ingatkan kembali.

Bukankah Rabbul Izzah telah berfirman:

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)

Dan juga dalam rangka menasihati diri pribadi dan orang lain, karena agama ini adalah nasihat, seperti kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ

“Agama itu adalah nasihat.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh[1] rahimahullahu menyatakan dalam Fatawa dan Rasa`ilnya (10/35-44) bahwa ikhtilath antara laki-laki dengan perempuan ada tiga keadaan:

“Pertama: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki dari kalangan mahram mereka, maka ini jelas dibolehkan.

Kedua: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki ajnabi (non mahram) untuk tujuan yang rusak, maka hal ini jelas keharamannya.

Ketiga: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki ajnabi (non mahram) di tempat pengajaran ilmu, di toko/warung, kantor, rumah sakit, perayaan-perayaan dan semisalnya. Ikhtilath yang seperti ini terkadang disangka tidak akan mengantarkan kepada fitnah di antara lawan jenis, padahal hakikatnya justru sebaliknya. Sehingga bahaya ikhtilath semacam ini perlu diterangkan dengan membawakan dalil-dalil pelarangannya.”

Dalil secara global, kita tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan laki-laki dalam keadaan punya kecenderungan yang kuat terhadap wanita. Demikian pula sebaliknya, wanita punya kecenderungan kepada lelaki. Bila terjadi ikhtilath tentunya akan menimbulkan dampak yang negatif dan mengantarkan kepada kejelekan. Karena, jiwa cenderung mengajak kepada kejelekan dan hawa nafsu itu dapat membutakan dan membuat tuli. Sementara setan mengajak kepada perbuatan keji dan mungkar.

Dalil secara rinci, kita tahu bahwa wanita merupakan tempat laki-laki menunaikan hasratnya. Penetap syariat pun menutup pintu-pintu yang mengantarkan keterkaitan dan keterpautan sepasang insan yang berlawanan jenis di luar jalan pernikahan yang syar’i. Hal ini tampak dari dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang akan kita bawakan di bawah ini.

1. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

“Dan wanita yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya kepadanya dan dia menutup pintu-pintu seraya berkata, ‘Marilah ke sini.’ Yusuf berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung.” (Yusuf: 23)

Ketika terjadi ikhtilath antara Nabi Yusuf ‘alaihissalam dengan istri Al-Aziz, pembesar Mesir di kala itu, tampaklah dari si wanita apa yang tadinya disembunyikannya. Ia meminta kepada Yusuf untuk menggaulinya. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi Yusuf dengan rahmat-Nya sehingga dia terjaga dari perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Yusuf: 34)

Demikian pula bila lelaki lain ikhtilath dengan wanita ajnabiyah. Masing-masingnya tentunya menginginkan apa yang dicondongi oleh hawa nafsunya. Berikutnya, dicurahkanlah segala upaya untuk mencapainya.

2. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan lelaki yang beriman untuk menundukkan pandangan dari melihat wanita yang bukan mahramnya, demikian pula sebaliknya seperti termaktub dalam firman-Nya:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)

Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin dan kaum mukminat untuk menundukkan pandangan mereka. Kita tahu dari kaidah yang ada, perintah terhadap sesuatu menunjukkan wajibnya sesuatu tersebut. Berarti menundukkan pandangan dari melihat yang haram itu hukumnya wajib. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa hal itu lebih bersih dan lebih suci bagi mereka. Penetap syariat tidak membolehkan lelaki memandang wanita yang bukan mahramnya terkecuali pandangan yang tidak disengaja. Itu pun, pandangan tanpa sengaja itu, tidak boleh disusul dengan pandangan berikutnya. Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata:

سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ نَظْرِ الْفُجَاءَةِ، فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي

“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja), maka beliau memerintahkan aku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 5609)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, “Makna الْفُجَاءَةِ نَظْرِ adalah pandangan seorang lelaki kepada wanita ajnabiyah tanpa sengaja. Maka tidak ada dosa baginya pada awal pandangan tersebut, dan wajib baginya memalingkan pandangannya pada saat itu. Jika segera dipalingkannya, maka tidak ada dosa baginya. Namun bila ia terus memandangi si wanita, ia berdosa berdasarkan hadits ini. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Jarir untuk memalingkan pandangannya. Juga bersamaan dengan adanya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ

“Katakanlah (Ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata…’.” (An-Nur: 30) [Al-Minhaj, 14/364]

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menundukkan pandangan dari lawan jenis, karena melihat wanita yang haram untuk dilihat, adalah zina. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَة، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُُ، وَالنَّفُسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ

“Sesungguhnya Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina[2], dia akan mendapatkannya, tidak bisa terhindarkan. Maka zinanya mata dengan memandang (yang haram), dan zinanya lisan dengan berbicara. Sementara jiwa itu berangan-angan dan berkeinginan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657)

Dalam lafadz lain disebutkan:

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَى، مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الْاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ

“Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperoleh hal itu, tidak bisa terhindarkan. Kedua mata itu berzina dan zinanya dengan memandang (yang haram). Kedua telinga itu berzina dan zinanya dengan mendengarkan (yang haram). Lisan itu berzina dan zinanya dengan berbicara (yang diharamkan). Tangan itu berzina dan zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina dan zinanya dengan melangkah (kepada apa yang diharamkan). Sementara hati itu berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Muslim no. 2657)

Memandang wanita yang haram teranggap zina, karena seorang lelaki merasakan kenikmatan tatkala melihat keindahan si wanita. Hal ini akan menumbuhkan sebuah “rasa” di hati si lelaki, sehingga hatinya pun terpaut dan pada akhirnya mendorongnya untuk melakukan perbuatan keji dengan si wanita. Tentunya kita maklumi adanya saling pandang antara lawan jenis bisa terjadi karena adanya ikhtilath antara lawan jenis. Ikhtilath pun dilarang karena akan berujung kepada kejelekan.

3. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ

“Dia mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan di dalam dada.” (Ghafir: 19)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Ayat ini terkait dengan seorang lelaki yang duduk bersama suatu kaum. Lalu lewatlah seorang wanita. Ia pun mencuri pandang kepada si wanita.” Ibnu Abbas berkata pula, “Lelaki itu mencuri pandang kepada si wanita. Namun bila teman-temannya melihat dirinya, ia menundukkan pandangannya. Bila ia melihat mereka tidak memerhatikannya (lengah), ia pun memandang si wanita dengan sembunyi-sembunyi. Bila teman-temannya melihatnya lagi, ia kembali menundukkan pandangannya. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui keinginannya dirinya. Ia ingin andai dapat melihat aurat si wanita.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 15/198)

Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifatkan mata yang mencuri pandang kepada wanita yang tidak halal untuk dipandang sebagai mata yang khianat. Lalu bagaimana lagi dengan ikhtilath? Bila memandang saja dicap berkhianat sebagai suatu cap yang jelek, apalagi berbaur dan saling bersentuhan dengan wanita ajnabiyah.

4. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)

Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang suci lagi menjaga kehormatan diri untuk tetap tinggal di rumah mereka. Hukum ini berlaku umum untuk semua wanita yang beriman, karena tidak ada dalil yang menunjukkan kekhususan ayat ini hanya untuk para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka diperintah tetap tinggal di dalam rumah, kecuali bila ada kebutuhan darurat untuk keluar rumah. Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa ikhtilath dengan lawan jenis sebagai perkara yang boleh dilakukan, sementara wanita diperintah untuk tidak keluar dari rumahnya?

Adapun dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan tidak dibolehkannya ikhtilath, di antaranya:

1. Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha istri Abu Humaid As-Sa’idi Al-Anshari radhiyallahu ‘anahu datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku senang shalat berjamaah bersamamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّيْنَ الصَّلاَةَ مَعِيْ، وَصَلاَتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسجدِ قَومِِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسْجِدِي

“Sungguh aku tahu bahwa engkau senang shalat berjamaah bersamaku, akan tetapi shalatmu di kamar khususmu lebih baik daripada shalatmu di kamarmu. Dan shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di rumahmu. Dan shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih utama bagimu daripada shalatmu di masjidku.” (HR. Ahmad 6/371. Al-Haitsami berkata, “Rijal hadits ini rijal shahih kecuali Abdullah bin Suwaid, ia di-tsiqah-kan oleh Ibnu Hibban.” Demikian pula yang dikatakan Al-Hafizh dalam At-Ta’jil. Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad, 18/424, cet. Darul Hadits, Al-Qahirah)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menyatakan, “Hadits seperti ini memberi pengertian bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama. Jika mereka (para wanita) berkata, ‘Aku ingin shalat di masjid agar dapat berjamaah.’ Maka aku katakan, ‘Sesungguhnya shalatmu di rumahmu lebih utama dan lebih baik.’ Hal itu karena seorang wanita akan terjauh dari ikhtilath dengan lelaki yang bukan mahramnya, sehingga akan menjauhkannya dari fitnah.” (Majmu’ah Durus Fatawa, 2/274)

Beliau rahimahullahu juga mengatakan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian sementara beliau berada di Madinah. Dan kita tahu shalat di Masjid Nabawi memiliki keutamaan dan nilai lebih. Akan tetapi karena shalat seorang wanita di rumahnya lebih tertutup baginya dan lebih jauh dari fitnah (godaan) maka hal itu lebih utama dan lebih baik.” (Al-Fatawa Al-Makkiyyah, hal. 26-27, sebagaimana dinukil dalam Al-Qaulul Mubin fi Ma’rifati ma Yuhammimul Mushallin, hal. 570)

2. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

“Sebaik-baik shaf (jamaah) lelaki adalah shaf yang awal dan sejelek-jelek shaf (jamaah) lelaki adalah yang akhirnya. Sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang terakhir dan sejelek-jelek shaf wanita adalah yang paling awal.” (HR. Muslim no. 440)

Al-Imam Nawawi rahimahullahu berkata, “Adapun shaf-shaf lelaki maka secara umum selama-lamanya yang terbaik adalah shaf awal, dan selama-lamanya yang paling jelek adalah shaf akhir. Beda halnya dengan shaf wanita. Yang dimaukan dalam hadits ini adalah shaf wanita yang shalat bersama kaum lelaki. Adapun bila mereka (kaum wanita) shalat terpisah dari jamaah lelaki, tidak bersama dengan lelaki, maka shaf mereka sama dengan lelaki. Yakni, yang terbaik adalah shaf yang awal sementara yang paling jelek adalah shaf yang paling akhir. Yang dimaksud shaf yang jelek bagi lelaki dan wanita adalah yang paling sedikit pahalanya dan keutamaannya, serta paling jauh dari tuntunan syar’i. Sedangkan maksud shaf yang terbaik adalah sebaliknya. Shaf yang paling akhir bagi wanita yang hadir shalat berjamaah bersama lelaki memiliki keutamaan karena wanita yang berdiri dalam shaf tersebut akan jauh dari bercampur baur dengan lelaki dan melihat mereka. Di samping jauhnya
mereka dari berhubungan dengan kaum lelaki dan memikirkan mereka ketika melihat gerakan mereka, mendengar ucapannya, dan semisalnya. Shaf yang awal dianggap jelek bagi wanita karena alasan yang sebaliknya dari yang telah disebutkan.” (Syarh Shahih Muslim, 4/159-160)

Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu menyatakan, “Dalam hadits ini ada petunjuk bolehnya wanita berbaris dalam shaf-shaf. Dan zahir hadits ini menunjukkan sama saja baik shalat mereka itu bersama kaum lelaki atau bersama wanita lainnya. Alasan baiknya shaf akhir bagi wanita karena dalam keadaan demikian mereka jauh dari kaum lelaki, jauh dari melihat dan mendengar ucapan mereka. Namun alasan ini tidaklah terwujud kecuali bila mereka shalat bersama lelaki. Adapun bila mereka shalat dengan diimami seorang wanita maka shaf mereka sama dengan shaf lelaki, yang paling utama adalah shaf yang awal.” (Subulus Salam, 2/49)

Apabila penetap syariat menjaga jangan sampai campur baur dan keterpautan antara lelaki dan wanita terjadi pada tempat ibadah, padahal dalam shalat jelas terpisah antara shaf lelaki dengan shaf wanita dan umumnya mereka yang datang memang ingin menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, jauh dari keinginan untuk berbuat jelek, maka tentunya di tempat lain yang terjadi ikhtilath lebih utama lagi pelarangannya.

3. Zainab radhiyallahu ‘anha istri Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami:

إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيْبًا

“Apabila salah seorang dari kalian menghadiri shalat berjamaah di masjid maka jangan ia menyentuh (memakai) minyak wangi.” (HR. Muslim no. 996)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ

“Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari mendatangi masjid- masjid Allah. Akan tetapi hendaklah mereka keluar rumah dalam keadaan tidak memakai wangi-wangian.” (HR. Abu Dawud no. 565. Kata Al-Imam Al Albani rahimahullahu, “Hadits ini hasan shahih.”)

Ibnu Daqiqil Id rahimahullahu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para wanita keluar menuju masjid bila mereka memakai wangi-wangian atau dupa-dupaan, karena akan membuat fitnah bagi lelaki dengan aroma semerbak mereka, sehingga menggerakkan hati dan syahwat lelaki. Tentunya pelarangan memakai wangi-wangian bagi wanita selain keluar menuju ke masjid lebih utama lagi (keluar ke pasar, misalnya, pent.).”
Beliau mengatakan pula, “Termasuk dalam makna wangi-wangian adalah menampakkan perhiasan, pakaian yang bagus, suara gelang kaki, dan perhiasan.” (Al-Ikmal, 2/355)

Keluar rumah memakai wangi-wangian saja dilarang bagi wanita, apalagi bercampur baur dengan lelaki ajnabi.

4. Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anahuma menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا تَرَكْتُ فِتْنَةً بَعْدِيْ هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah aku meninggalkan fitnah (ujian) sepeninggalku yang lebih berbahaya bagi lelaki daripada fitnah wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 6880)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas menyatakan wanita sebagai fitnah (ujian/ cobaan) bagi lelaki. Lalu apa persangkaan kita bila yang menjadi fitnah dan yang terfitnah berkumpul pada satu tempat?

5. Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَنَاظِرٌ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

“Sesungguhnya dunia ini manis lagi hijau, dan sungguh Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di atasnya, lalu Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena awal fitnah yang menimpa Bani Israil dari wanitanya.” (HR. Muslim no. 6883)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan lelaki untuk berhati-hati dari wanita. Lalu bagaimana perintah beliau ini dapat terealisir bila ikhtilath dianggap boleh? Bila demikian keadaannya maka jelaslah keharaman ikhtilath.

6. Abu Usaid Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita ketika beliau keluar dari masjid dan mendapati para lelaki bercampur baur dengan mereka di jalan:

اسْتَأْخِرْنَ، فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرْيْقَ، عَلَيْكُنَّ بِحَافَاتِ الطَّرِيْقِ.- فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْصُقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى أَنَّ ثَوْبَهَا يَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ

“Berjalanlah kalian di belakang (jangan mendahului laki-laki). Karena sungguh tidak ada bagi kalian hak untuk lewat di tengah-tengah jalan, tapi bagi kalian hanyalah (boleh lewat/berjalan di) tepi-tepi jalan.”

Maka ada wanita yang berjalan menempel/merapat ke dinding/tembok sampai-sampai pakaiannya melekat dengan tembok karena rapatnya dengan tembok tersebut. (HR. Abu Dawud no. 5272, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 856 dan Al-Misykat no. 4727)

Dalam hadits di atas jelas sekali larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ikhtilath di jalanan karena akan mengantarkan kepada fitnah. Pelarangan ini juga berlaku di tempat lain.

7. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha menceritakan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا سَلَّمَ قَامَ النِّسَاءُ حِيْنَ يَقْضِي تَسْلِيْمَهُ، وَيَمْكُثُ هُوَ فِي مَقَامِهِ يَسِيْرًا قَبْلَ أَنْ يَقُوْمَ. قَالَ: نَرَى – وَاللهُ أَعْلَمُ- أَنَّ ذَلِكَ كَانَ لِكَيْ يَنْصَرِفَ النِّسَاءُ قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الرِّجاَلِ

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila telah mengucapkan salam sebagai akhir shalatnya, maka para wanita yang ikut hadir dalam shalat berjamaah bersama beliau segera bangkit meninggalkan masjid pulang kembali ke rumah mereka. Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap diam sebentar di tempatnya sebelum beliau bangkit.”

Perawi hadits ini berkata, “Kami memandang –wallahu a’lam– Rasulullah berbuat demikian agar para wanita telah pulang semuanya meninggalkan masjid sebelum ada seorang lelakipun yang mendapati/bertemu dengan mereka” (HR. Al-Bukhari no. 870)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghindarkan terjadinya ikhtilath antara lelaki dan wanita sepulangnya mereka dari menunaikan ibadah shalat di masjid. Ini jelas menunjukkan terlarangnya ikhtilath.

8. Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu berkata dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَـحِلُّ لَهُ

“Ditusuk kepala seorang lelaki dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya[3].” (HR. Ar-Ruyani dalam Musnadnya 2/227. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Hadits ini sanadnya jayyid.” Lihat Ash-Shahihah no. 226)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang laki-laki bersentuhan dengan wanita yang bukan mahramnya karena bersentuhan dengan lawan jenis memberi dampak yang jelek. Dan saling sentuh ini bisa terjadi karena adanya ikhtilath, maka pantas sekali bila ikhtilath itu dilarang karena akibat buruk yang ditimbulkannya.

Demikian beberapa dalil yang bisa dibawakan untuk menunjukkan terlarangnya ikhtilath.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Catatan kaki:

[1] Beliau adalah Abu Abdil Aziz Muhammad bin Ibrahim bin Abdil Lathif bin Abdurrahman bin Hasan bin Al-Imam Muhammad bin Abdil Wahhab, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka semua. Beliau lahir di Riyadh, 17 Muharram 1311 H. Tumbuh dalam bimbingan langsung dari sang ayah dan pamannya Abdullah bin Abdil Lathif, seorang yang sangat alim di zamannya. Hafal Al-Qur’an pada usia 11 tahun dan mengalami kebutaan pada usia 16 tahun, namun tidak mengurangi semangatnya untuk meraup ilmu dari ulama yang hidup di masa itu. Beliau adalah mufti kerajaan Saudi Arabia di zamannya. Dari pengajaran beliau, lahirlah para ulama besar seperti Asy-Syaikh Abdullah bin Humaid, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Abdullah Al-Qar’awi, dan selain mereka –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka semuanya–. Beliau wafat di bulan Ramadhan tahun 1389 H dengan mewariskan banyak karya dalam bentuk fatwa, rasa’il dan masa’il yang telah dicetak
berjilid-jilid tebalnya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau dan menempatkannya di surga-Nya nan luas.

[2] Yakni zina itu tidak hanya apa yang diperbuat oleh kemaluan, bahkan memandang apa yang haram dipandang dan selainnya juga diistilahkan zina. (Fathul Bari, 11/28)

[3] Faedah: Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata setelah membawakan hadits ini, “Dalam hadits ini ada ancaman yang keras bagi lelaki yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Ini juga merupakan dalil haramnya berjabat tangan dengan wanita, karena berjabat tangan jelas tanpa ragu terjadi sentuhan. Kebanyakan kaum muslimin di masa ini telah ditimpa musibah, bahkan di antara mereka sebagiannya adalah ahlul ilmi. Seandainya ahlul ilmi ini mengingkari hal tersebut dengan hati mereka, niscaya sebagian perkaranya jadi mudah. Akan tetapi mereka menghalalkan berjabat tangan tersebut dengan beragam cara/jalan dan penakwilan.