Saturday, December 1, 2012

Antara Janji ar-Rahman ataukah Ancaman Setan

*“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh
kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan
daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengatahui”* (QS. al-Baqarah: 268)

Imam Hasan al-Bashri menyebutkan, sekitar sembilan puluh tempat di dalam
al-Qur’an menegaskan bahwa Allah telah menetapkan kadar rezeki dan
menjaminnya untuk makhluk-Nya. Dan hanya pada satu ayat Allah menyebutkan
ancaman setan, “asy-syaithaanu ya’idukumul faqra, “Setan menjanjikanmu
dengan kefakiran.”

Akan tetapi, betapa anehnya manusia, mereka takut dengan satu kali ancaman
setan yang hobi berdusta, lalu melupakan 90 kali janji Allah yang Mahabenar
dan tak mungkin dusta. Rasa takut manusia terhadap ancaman setan tersebut
diindikasikan dengan beberapa keadaan.

Pertama, ketika manusia takut miskin, kekhawatirannya yang berlebihan
menyebabkan ia kurang selektif dalam mencari penghasilan. Berlaku korup,
menipu, transaksi riba, pergi ke dukun dan cara lain yang diharamkan.
Seperti slogan yang populer kita dengar “Mencari yang haram saja susah,
apalagi yang halal!” Ia lupa bahwa justru dengan mencukupkan yang halal
niscaya rezki menjadi mudah. Sebaliknya, perbuatan dosa menjadi penghalang
datangnya rezki atau menghilangkan keberkahannya. Nabi n bersabda,

إنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ

“Sesungguhnya seseorang bisa terhalang dari rezki dikarenakan dosa yang ia
perbuat” (HR Ahmad, Ibnu Majah, al-Hakim)

Jikalau pun seseorang mendapatkan rezki dengan kemaksiatan, keberkahan akan
dicabut. Harta tak membuat hidupnya bahagia, bahkan menjerumuskan ia ke
dalam penderitaan dan kesengsaraan yang datang tak terkira. Belum lagi efek
tertampiknya doa, tertolaknya amal shalih dan hisab yang berat di akhirat.

Kedua, ketika seseorang mengkhawatirkan dirinya fakir, lalu ia tenggelam
dengan kesibukan mencari penghasilan, hingga menelantarkan kewajiban dan
ketaatan kepada Allah. Ketika itu, berarti ia telah mentaati setan dan
mempercayai ancaman setan. Padahal, karakter setan itu ‘kadzuub’, pendusta.
Berapa banyak dari kita yang menghabiskan waktu, tenaga dan pikirannya
untuk memikirkan dan memburu harta. Di hari-hari biasa mereka sibuk belajar
ilmu duniawi, yang lain lagi hanya fokus dengan bisnis duniawi, sementara
hari libur dipergunakan untuk rekreasi. Lantas kapan mereka sempatkan
belajar ilmu syar’I, kapan pula mereka pikirkan nasib ukhrawi. Bagaimana
masuk akal ketika seseorang menyiapkan bekal untuk hidup selama 60 atau 70
tahun dengan bekerja seharian, namun mereka siapkan bekal untuk akhirat
yang lamanya tak berujung justru hanya dengan waktu sisa dan tenaga sisa?

Padahal, rejeki itu mutlak dalam kekuasaan Allah. Dia memberi atau menahan
rejeki bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya dan mencegah siapapun yang Dia
kehendaki. Meski dengan ‘cash flow’ yang meyakinkan, rencana yang jitu,
peluang yang menjanjikan, tetap saja Allah yang menjadi Penentu,

“*Atau siapakah dia yang memberi kamu rezeki jika Allah menahan rezeki-Nya?
Sebenarnya mereka terus menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri?*”
(QS. al-Mulk: 21)

Bagaimana seseorang akan mendapatkan bagian cukup dari karunia-Nya,
sementara ia berpaling dari ketaatan kepada-Nya? Logika yang sehat justru
menunjukkan, bahwa dengan amal shalih, menjalankan ketaatan, menjauhi
maksiat dan mendatangkan keridhaan Allah akan mengundang hadirnya kemurahan
Allah. Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi n, bahwa beliau bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ يَا ابْنَ آدَمَ تَفَرَّغْ لِعِبَادَتِى
أَمْلأْ صَدْرَكَ غِنًى وَأَسُدَّ فَقْرَكَ وَإِلاَّ تَفْعَلْ مَلأْتُ
يَدَيْكَ شُغْلاً وَلَمْ أَسُدَّ فَقْرَكَ

“sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, “Wahai Anak Adam, luangkanlah olehmu
untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku akan penuhi dadamu dengan kekayaan,
dan aku tutup kefakiranmu. Jika tidak, niscaya Aku akan penuhi tanganmu
dengan kesibukan, dan tidak Aku tutup kefakiranmu.” (HR Tirmidzi, al-Albani
mengatakan “shahih”)

Tanda ketiga bahwa seseorang telah terkena hasutan setan yang
menakut-nakuti dengan kefakiran adalah tatkala manusia bakhil dan enggan
berbagi. Ibnu Qayyim al-Jauziyah menelaskan firman Allah,

Yakni setan menakut-nakutimu dengan membisikkan, “Jika kamu menginfakkan
hartamu, kamu akan menjadi fakir” dan menyuruhmu berbuat fahsya’ yakni
bakhil. Muqatil dan al-Kulabi mengatakan, “Semua kata fahsya’ dalam
al-Qur’an maknanya adalah zina kecuali pada ayat ini, makna fahsya’ di sini
adalah bakhil.”

Orang yang termakan oleh hasutan setan, pada akhirnya hanya mengenal
hitungan matematis belaka. Bahwa uang akan berkurang nilainya ketika
sebagian disedekahkan. Harta juga akan berkurang kadarnya jika dizakatkan
sebagiannya. Mereka lupa bahwa harta yang di tangan mereka adalah pemberian
dari Allah. Dan Allah menghendaki penambahan nikmat itu dengan cara
sedekah, dan tercabutnya nikmat itu dengan maksiat dan menolak sedekah.
Bahkan setiap datang pagi hari, dua malaikat turun untuk berdoa. Satu
malaikat berdoa,

اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا

“Ya Allah berilah ganti (yang lebih baik) bagi yang bersedekah” (HR Bukhari)

Sedangkan malaikat satunya berdoa,

اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

“Ya Allah, berilah kebangkrutan bagi orang yang menahan sedekah.” (HR
Bukhari)

Lantas dimanakah letak cerdasnya akal bagi orang yang memilih doa
kebangkrutan? Dimanakah pula keimanan seseorang yang lebih percaya satu
kali janji setan pendusta katimbang 90 kali janji Ar-Rahman? Adapun seorang
mukmin, sepenuhnya yakin meski diingatkan dengan satu ayat saja,

“*Sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan
Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui.*” (QS. al-Baqarah: 268)

*Wallahu a’lam bishawab*. (Abu umar Abdillah)

0 comments:

Post a Comment

Saudaraku......silahkan berikan komentar antum,,,,, untuk menjadi pelajaran bagiku.... jazakumullah....