Friday, October 26, 2012

Penghajian bersama KH Ali Yafie

Assalamu'alaikum wr wb,
Alhamdulilah Sabtu 20 Oktober 2012 kembali diadakan pengajian bersama KH Ali Yafie, KH Moehammad Zain, dan KH Mohamad Hidayat di Yayasan Majelis Al Washiyyah. Kali ini membahas surat Al Hajj ayat 26-30.

26. Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud.

27. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,

28. supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.

29. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka[988] dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).

30. Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.

Inti dari ceramah itu adalah, Haji merupakan ibadah yang harus dilakukan dengan keikhlasan. Tulus beribadah kepada Allah semata (Tauhid). Menurut KH Mohamad Hidayat, Perintah Haji diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim, bapak para Nabi dan juga bapak beberapa bangsa (Arab, Israel, dan Eropa Tengah). Nabi Ibrahim diperintahkan Allah untuk merenovasi Ka'bah sehingga orang-orang bisa thawaf dan beribadah.

Pada Haji, kita melakukan Ihram, Wuquf di Arafah, Thawaf, Sa'i, Tahallul, melontar Jumrah, Mabit (bermalam) di Mina dan Muzdalifah. Saat Haji, kita diperkenankan untuk berniaga/berdagang. Jika itu dilakukan, insya Allah mendapat keberkahan.

Pada zaman Jahiliyyah terkenal pasar-pasar bernama Ukadh, Mijnah dan Dzul-Majaz. Kaum Muslimin merasa berdosa apabila berdagang di musim haji di pasar itu. Mereka bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hal itu. Maka turunlah “Laisa ‘alaikum junahun an tabtaghu fadl-lan min rabbikum” (awal ayat S. 2: 198) yang membenarkan mereka berdagang di musim haji. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari Ibnu Abbas.)

Yang terpenting dari berhaji adalah akhlaq kita menjadi lebih baik setelah berhaji. Jangan sampai meski sudah 3x naik haji, tapi kelakuannya masih begitu-begitu saja atau tambah buruk. Jika jadi lebih baik, itu artinya mendapat Haji Mabrur. Jika tidak, Haji Mardud atau ditolak Allah.

KH Moehammad Zain memberi anekdot. Ada seorang pejabat dari Indonesia berhaji. Saat melempar jumroh dengan batu, dia kaget, ternyata ada yang menimpuknya dengan batu. Di batu tersebut ada tulisan yang tidak dia mengerti. Akhirnya sesampai di Indonesia, dia bawa batu itu ke seorang Kiai. Kata Kiai tsb, "Oh, ini artinya: 'Sesama Iblis dilarang saling melempar'"....

Menurut KH Ali Yafie, kata Zuur pada akhir surat Al Hajj 30 "jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta" itu artinya lebih buruk dari dusta biasa (Kizib). Zuur itu artinya "Kepalsuan Besar" sebagaimana pada "Saksi Palsu". Agar Haji kita Mabrur, kita selain idak menyembah berhala juga harus meninggalkan "Kepalsuan Besar". Tidak boleh berbohong segala macam atau membuat kesaksian palsu.

Antara taat dan Buahnya

Sahabat Seiman..,

Tak pernah terpikir sebelumnya bahwa Ibrahim Alaihis salam kan terselamatkan dari api, tak juga dia menyangka bahwa puteranya kan tergantikan dengan kibasy (kambing), apalagi mengira anugerah keturunan di usia renta. Doanya tak membuat ia berpangku tangan, kedudukannya sebagai Nabi tak lantas menjadikannya lupa diri. Kepuasan baginya saat ia mampu persembahkan taat terbaiknya.

Bersiaplah tuk mengukir kembali taat teristimewa. Jangan biarkan Iman yang terhimpun di dada, yakin yang terpatri di sanubari, tak menghasilkan kecerdasan dan Tenaga dalam prestasi!

Mustajabnya doa pada hari AROFAH

Sebaik-baik do’a adalah do’a hari Arafah -9 Dzulhijjah-. Maksudnya, do’a ini paling cepat diijabahi. Sehingga kita diperintahkan untuk konsen melakukan ibadah yang satu ini di pada hari Arafah, apalagi untuk orang yang sedang wukuf di Arafah.
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ
Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arafah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?” (HR. Muslim no. 1348).
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ
Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arafah.” (HR. Tirmidzi no. 3585. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Maksudnya, inilah doa yang paling cepat dipenuhi atau terkabulkan (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 10: 33).
Apakah keutamaan do’a ini hanya khusus bagi yang wukuf di Arafah? Apakah berlaku juga keutamaan ini bagi orang yang tidak menunaikan ibadah haji?
Yang tepat, mustajabnya do’a tersebut adalah umum, baik bagi yang berhaji maupun yang tidak berhaji karena keutamaan yang ada adalah keutamaan pada hari. Sedangkan yang berada di Arafah (yang sedang wukuf pada tanggal 9 Dzulhijjah), ia berarti menggabungkan antara keutamaan waktu dan tempat. Demikian kata Syaikh Sholih Al Munajjid dalam fatawanya no. 70282.
Tanda bahwasanya do’a pada hari Arafah karena dilihat dari kemuliaan hari tersebut dapat kita lihat dari sebagian salaf yang membolehkan ta’rif. Ta’rif adalah berkumpul di masjid untuk berdo’a dan dzikir pada hari Arafah. Yang melakukan seperti ini adalah sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Imam Ahmad masih membolehkannya walau beliau sendiri tidak melakukannya.
Syaikh Sholih Al Munajjid -semoga Allah berkahi umur beliau- menerangkan, “Hal ini menunjukkan bahwa mereka menilai keutamaan hari Arafah tidaklah khusus bagi orang yang berhaji saja. Walau memang berkumpul-kumpul seperti ini untuk dzikir dan do’a pada hari Arafah tidaklah pernah ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu Imam Ahmad tidak melakukannya. Namun beliau beri keringanan dan tidak melarang karena ada sebagian sahabat yang melakukannya seperti Ibnu ‘Abbas dan ‘Amr bin Harits radhiyallahu ‘anhum.” (Fatawa Al Islam Sual wal Jawab no. 70282)
Para salaf dahulu saling memperingatkan pada hari Arafah untuk sibuk dengan ibadah dan memperbanyak do’a serta tidak banyak bergaul dengan manusia. ‘Atho’ bin Abi Robbah mengatakan pada ‘Umar bin Al Warod,  “Jika engkau mampu mengasingkan diri di siang hari Arafah, maka lakukanlah.” (Ahwalus Salaf fil Hajj, hal. 44)
Do’a ini bagi yang wukuf dimulai dari siang hari selepas matahari tergelincir ke barat (masuk shalat Zhuhur) hingga terbenamnya matahari.
Semoga Allah memudahkan kita untuk menyibukkan diri dengan do’a pada hari Arafah.

Keagungan Arofah

Arafah adalah tempat di wilayah Makkah Al-Mukarramah yang menjadi
berkumpulnya para jamaah haji dari seluruh dunia. Hadir Arafah
merupakan salah satu rukun haji, sehingga tidak sah ibadah haji
seseorang jika tidak hadir di Arafah.

Abdurrahman bin Ya'mar meriwayatkan bahwasanya sekelompok manusia dari
suku Najd mendatangi Rasulullah SAW pada saat beliau di Arafah.

Kemudian mereka bertanya kepada beliau, sehingga Rasulullah SAW
memerintah mereka seraya menyeru, "Haji adalah (hadir) di Arafah."
(HR. Tirmidzi).

Arafah menjadi hari kesembilan di bulan Dzulhijjah. Arafah yang
berarti mengetahui, memiliki pengertian bahwa mimpi yang terjadi pada
Ibrahim AS adalah benar berasal dari Allah SWT. Sebelumnya, Ibrahim
mengalami fase keraguan (hari tarwiyah) apakah mimpinya berasal dari
Tuhan atau tidak.

Setelah melalui proses verifikasi-kritisisme, Ibrahim mengetahui dan
meyakini kebenaran mimpinya di hari Arafah. Tibalah keesokan harinya
Yaum An-Nahr (hari penyembelihan) yang menjadi tonggak pelarangan
pengorbanan manusia dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Arafah merupakan miniatur Alam Mahsyar, tempat seluruh manusia
dibangkitkan dari alam kubur untuk dihitung amal kebaikan dan
keburukannya (hisab). Maka pengertian Arafah memberikan kesadaran bagi
manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sesamanya dan alam semesta,
sehingga mereka mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk kehidupan
abadinya di akhirat.

Peristiwa monumental yang terjadi di hari Arafah antara lain turunnya
wahyu terakhir kepada Rasulullah SAW, penegasan tidak diperkenankannya
kaum musyrikin melakukan ibadah di sekitar Ka'bah, dan penegasan
deklarasi hak asasi manusia (HAM) pertama di dunia yang menjadi
tonggak sejarah bagi berkembangnya penghormatan prinsip-prinsip HAM
pada saat ini.

Latar belakang tersebut menjadikan hari Arafah memiliki keagungan
dibandingkan dengan hari-hari lainnya, di antaranya: Pertama, menjadi
hari pengampunan dosa dari Allah SWT karena banyaknya hamba yang
beribadah semata-mata untuk diri-Nya.

Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, "Jika hari Arafah tiba, Allah
SWT turun ke langit dunia dan berfirman kepada para malaikat,
‘Lihatkan kepada para hamba-Ku, mereka datang kepada-Ku dengan
bersusah payah, mereka datang dari berbagai penjuru yang jauh.
Saksikanlah! Bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosa mereka.’

Para Malaikat berkata, ‘Wahai Tuhanku, (diantara manusia itu) ada
lelaki yang senantiasa mensucikanmu, mengagungkanmu dan lain
sebagainya.’ Allah SWT berfirman, ‘Aku telah ampuni dosa-dosa mereka.’
Rasulullah SAW bersabda, "Maka sungguh tiada hari yang lebih besar
pembebasannya dari api neraka dari pada hari Arafah." (HR. Ibnu
Huzaimah).

Kedua, dilipatgandakannya amal kebajikan yang dilakukan oleh para
jamaah haji di Makkah dan disunahkannya bagi yang tidak haji untuk
melakukan puasa Arafah. Dari Abu Qatadah bahwa Rasulullah SAW
bersabda, "Puasa Arafah dapat menghapus dosa-dosa yang telah lalu dan
dosa tahun depan.” (HR. Ibnu Huzaimah).

Ketiga, banyaknya rahmat yang dilimpahkan oleh Allah kepada manusia,
sampai-sampai setan berkecil hati pada hari Arafah tersebut. Dari
Talhah bin Abdullah bin Kariz RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Setan
tidak melihat bahwa suatu hari dirinya merasa kecil, hina, teraniaya
dan teremehkan daripada hari Arafah. Hal itu tidak lain karena ia
melihat banyaknya rahmat dan ampunan dosa besar yang diberikan Allah
kepada manusia, sebagaimana pada saat Perang Badar."

Demikianlah keagungan hari Arafah, semoga Allah SWT memberikan
keringanan kepada kita dalam mengagungkan hari mulia-Nya dengan
memperbanyak kebajikan dan berpuasa, sehingga kita dijadikannya
sebagai hamba agung nan mulia. Wallahu a'lam.

Terlalu baik itu......

Kata terlalu, dipersepsi banyak orang, tidak tepat dilekatkan pada kata
apapun. Benarkah?
Bagaimana jika diletakkan di depan kata baik?
Terlalu baik itu, apakah baik atau malah buruk?

Mohon Anda berpikir jernih.

Dalam faktanya, tidak pernah ada sesuatu yang dapat memenuhi makna terlalu
baik.

Kebaikan diciptakan demikian luas dan tinggi. Dia akan mampu mewadahi
kemungkinan dirinya untuk dihadirkan.
Tuhan itu Mahabenar sehingga kebaikan-Nya melebihi makna terlalu baik. Tapi
adakah yang dapat menuduh Tuhan lebih buruk dari terlalu baik?
Bagaimana dengan para nabi? Adakah yang dapat membuktikan bahwa kebaikan
mereka melebihi kebaikan sehingga dapat dirasakan sebagai buruk akibat
terlalu baik?
Jika dua hal tadi sulit diterima, bagaimana dengan kedermawanan. Adakah
jumlah derma yang terlalu besar sehingga menimbulkan keburukan bagi umat
manusia?

Dalam sudut pandang saya, terlalu baik itu dapat dipersepsi sebagai
keburukan jika tata nilai yang diyakini lebih rendah dari standar yang
harus ada.

*So, too good to be true is not true!*

Ketika Hari Raya Bertepatan dengan Hari Jumat



“Barangsiapa yang melaksanakan shalat Id pada hari Jumat diberikan keringanan baginya untuk tidak menghadiri shalat Jumat pada hari itu kecuali Imam, maka wajib baginya mendirikan shalat Jumat dengan yang hadir untuk shalat Jum’at baik dari orang yang sudah melaksanakan shalat Id atau yang belum melaksanakan shalat Id, jika tidak ada seorangpun yang hadir maka gugur kewajiban shalat Jumat itu atas imam  dan ia melakukan shalat Zuhur, dengan dalil sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam kitab Sunannya:
عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِى رَمْلَةَ الشَّامِىِّ قَالَ شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِى سُفْيَانَ رضي الله عنه وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رضي الله عنه قَالَ أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
Artinya: “Dari riwayat Iyas bin Abi Ramlah Asy Syami, beliau berkata: “Aku pernah menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu bertanya Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu: “Apakah kamu pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terjadi dua id terkumpul dalam satu hari?”, ia menjawab: “Iya (pernah)”, Mu’awiyah bertanya: “Bagaimanakah yang beliau lakukan”, ia menjawab: “Beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam) shalat ‘ied kemudian memberikan keringanan untuk shalat Jum’at, beliau bersabda: “Barangsiapa yang hendak shalat maka shalatlah ia“. HR. Ahmad (4/372), Abu Daud (1/646, no. 1070), An Nasa-i (3/193, no. 1591), Ibnu Majah (1/415, no. 1310), Ad Darimi (1/378), Al Baihaqi (3/317), Al Hakim (1/ 288), Ath Thayalisi (hal. 94, no. 685) (dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih Abu Daud, no.1070, pent)
Dan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam Sunannya juga, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
Artinya: “Pada hari ini terkumpul bagi kalian dua hari raya, barangsiapa yang ingin mencukupkan dengan (shalat id) dari shalat Jum’at, maka itu cukup baginya, tetapi kami tetap shalat Jum’at bersama“. HR. Abu Daud (1/647, no. 1073), Ibnu Majah (1/416, no. 1311), Al Hakim (1/277), Al Baihaqi (3/318-319) dan Al Khathib di dalam kitab Tarikh Baghdad (3/129)dan Ibnu al-Jauzy di dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah (1/437, no. 805), (dan dishaihihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al- Jami’ (no. 4365), pent).
Hadits ini menunjukkan akan keringanan untuk tidak mendirikan shalat Jum’at bagi siapa yang telah melaksanakan shalat id pada hari itu, dan diketahui pula tidak ada keringanan bagi imam berdasarkan sabda beliau di dalam hadits: “Tetapi kami tetap shalat Jum’at bersama “.
Dan juga dengan sebuah riwayat dari Imam Muslim, bahwa An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surat di shalat Jum’at dan shalat ‘Ied dengan Surat Al ‘Ala dan Surat Al Ghasyiyah, dan terkadang keduanya (shalat ‘Ied dan shalat Jum’at) terkumpul di dalam satu hari maka beliau membaca kedua surat tersebut di dalam dua shalat (‘Ied dan Jum’at)“. HR. Abu Daud (1/647, no. 1073), Ibnu Majah (1/416, no. 1311), al-Hakim (1/277), al-Baihaqi (3/318-319) dan al-Khathib di dalam kitab Tarikh Baghdad (3/129)dan Ibnu al-Jauzy di dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah (1/437, no. 805), (dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami’ (no. 4365), pent)
Dan Barangsiapa yang tidak menghadiri shalat ‘Ied maka wajib atasnya untuk melaksanakan shalat Zhuhur sebagai pengamalan atas keumuman dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban shalat Zhuhur bagi yang belum melaksanakan shalat Jum’at.
Semoga Allah memberi taufik dan semoga shalawat dan salam selalu kepada Nabi Muhammad, para kerabat beliau dan shahabat.