Oleh:
Ustadz Abu Ahmad Zainal Abidin
TUGAS NEGARA DAN PENGUASA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Islam merupakan agama dari Allah yang mengatur seluruh aspek kehidupan,
baik pribadi maupun masyarakat, lahir maupun batin, dan bahkan untuk
kepentingan di dunia dan akhirat. Maka sistim politik Islam, khususnya
tentang kepemimpinan, merupakan amanat dari Allah untuk melaksanakan
aturan, undang-undang dan syari’at Islam.
Jadi kepemimpinan dalam Islam merupakan bentuk aktifitas politik, yang
bertujuan untuk menegakkan aturan Allah di muka bumi. Oleh karena itu,
pemimpin yang dipilih semata-mata hanya bertugas untuk menegakkan
syari’at dan menerapkan hukum Allah, sehingga negara dan rakyat meraih
kedamaian, penguasa dan rakyat memperoleh hak-hak secara adil, serta
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kondisi yang tenteram dan
makmur.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan: Tujuan pokok kepemimpinan,
ialah memperbaiki agama umat. Sebab, jika jauh dari Dinul Islam, (maka)
bangsa akan hancur, nasib rakyat akan terlantar dan nikmat-nikmat dunia
yang mereka miliki akan sia-sia. Pemimpin juga bertugas memperbaiki segi
duniawi yang sangat erat hubungannya dengan agama, meliputi dua macam:
Pertama, membagikan harta kekayaan secara merata dan adil kepada yang
berhak. Kedua, menghukum orang-orang yang melanggar ketentuan
undang-undang tanpa diskriminasi.
Prof. Dr. Salim bin Ghanim As Sadlan berkata,”Salah satu kewajiban dan
wewenang pemimpin dalam agama Islam, yaitu melaksanakan hukuman setelah
diproses secara syar’i oleh mahkamah agung atas terdakwa pelaku
kejahatan yang berhak mendapat hukuman.”
DEKAT DENGAN PENGUASA BUKAN BERARTI MENJILAT
Seorang muslim harus melakukan hubungan baik dengan para Ulil Amri, baik
dari kalangan pemimpin, para hakim penanggung jawab peradilan ataupun
tokoh-tokoh lembaga-lembaga penting dan kepala-kepala penanggung jawab
pemerintah. Kita tidak boleh merasa kaku serta menganggap, bila dekat
dengan penguasa akan menodai kehormatan diri dalam beragama. Bukan pula
berarti menjadi penjilat dan kacung bagi para penguasa, bahkan syari’at
memerintahkan kita untuk menjalin hubungan erat dengan para Ulil Amri
atau penguasa.
Sesungguhnya, salah satu yang menjadi penyebbab keberhasilan shahwah
(kebangkitan Islam) dan dakwah kepada Allah, yaitu apabila da’wah
memiliki dukungan dari penguasa dalam suatu negara. Karena, da’wah dan
kekuasaan merupakan dua pilar perbaikan terhadap umat. Penyair berkata:
الْمُــــلْكُ بِالدِّيْنِ يَبْقَى وَالدِّيْنُ بِالْمُلْكِ يَقْوَى
Kekuasaan yang bersanding dengan agama akan menjadi stabil, dan agama
yang bersanding dengan kekuasaan akan menjadi kuat dan kokoh.
Bila keduanya bertemu dan bersatu, maka tujuan dan sasaran da’wah
tercapai. Cita-cita membangun umat akan teralisasi dengan izin Allah.
Namun, jika keduanya berpisah, apalagi saling berhadapan, maka segala
usaha akan sia-sia atau melemah sampai pada batas kehinaan, sehingga
muncul berbagai fitnah dan musibah bagi umat.
Setiap negara yang menginginkan kemuliaan hakiki dan kekuasaan di muka
bumi, memiliki kewajiban untuk mendukung da’wah kepada Allah,
mengerahkan segala perangkat kekuasaan dan pilar kekuatan negara yang
mampu memberikan peringatan dan bimbingan secara persuasif kepada
seluruh rakyat. Dengan demikian, penguasa akan mendapatkan legitimasi
dan dukungan penuh dari semua pihak. Sebab, seringkali Allah menyadarkan
lewat peguasa, apa yang tidak tergugah dengan Al Qur’an. Karena, bila
keimanan telah melemah dalam hati manusia, maka kekuatan penguasa jauh
lebih dapat menakut-nakuti mereka dari maksiat, dan lebih meluruskan
mereka kepada ibadah, hingga mereka dapat meraih istiqamah dan
keshalihan dalam hidup.
MENASIHATI PENGUASA BUKAN MEMBANGKANG
Islam memiliki etika tersendiri dalam menasihati pemimpin, bahkan
mempunyai kaidah-kaidah dasar yang tidak boleh dilecehkan; sebab,
pemimpin tidak sama dengan rakyat. Apabila menasihati kaum muslimin,
secara umum memerlukan kaidah dan etika, maka menasihati para pemimpin
lebih perlu memperhatikan kaidah dan etikanya.
Dari Ibnu Hakam meriwayatkan, bahwa Nabi bersabda,”Barangsiapa yang
ingin menasihati pemimpin, maka jangan melakukannya secara
terang-terangan. Akan tetapi, nasihatilah dia di tempat yang sepi. Jika
menerima nasihat, itu sangat baik. Dan bila tidak menerimanya, maka kamu
telah menyampaikan kewajiban nasihat kepadanya.” [HR Imam Ahmad].
Sangat tidak bijaksana mengoreksi dan mengkritik kekeliruan para
pemimpin melalui mimbar-mimbar terbuka, tempat-tempat umum ataupun media
massa, baik elektronik maupun cetak. Yang demikian itu menimbulkan
banyak fitnah. Bahkan terkadang disertai dengan hujatan dan cacian
kepada orang per orang. Seharusnya, menasihati para pemimpin dengan cara
lemah lembut dan di tempat rahasia, sebagaimana yang dilakukan oleh
Usamah bin Zaid tatkala menasihati Utsman bin Affan, bukan dengan cara
mencaci-maki mereka di tempat umum atau mimbar.
Imam Ibnu Hajar berkata, bahwa Usamah telah menasihati Utsman bin Affan
dengan cara yang sangat bijaksana dan beretika tanpa menimbulkan fitnah
dan keresahan.
Imam Syafi’i berkata,”Barangsiapa yang menasihati temannya dengan
rahasia, maka ia telah menasihati dan menghiasinya. Dan barangsiapa yang
menasihatinya dengan terang-terangan, maka ia telah mempermalukan dan
merusaknya.”
Imam Fudhail bin Iyadh berkata,”Orang mukmin menasihati dengan cara
rahasia; dan orang jahat menasihati dengan cara melecehkan dan
memaki-maki.”
Syaikh bin Baz berkata,”Menasihati para pemimpin dengan cara
terang-terangan melalui mimbar-mimbar atau tempat-tempat umum, bukan
(merupakan) cara atau manhaj Salaf. Sebab, hal itu akan mengakibatkan
keresahan dan menjatuhkan martabat para pemimpin. Akan tetapi, (cara)
manhaj Salaf dalam menasihati pemimpin yaitu dengan mendatanginya,
mengirim surat atau menyuruh salah seorang ulama yang dikenal untuk
menyampaikan nasihat tersebut.”
MEMBUAT KEKACAUAN BERKEDOK JIHAD DAN AMAR MA’RUF
Dakwah kepada agama Allah merupakan tugas utama para rasul dan imam
agama. Dan pada zaman sekarang, hukumnya bisa wajib bagi setiap individu
sesuai kemampuan masing-masing. Allah berfirman, yang artinya: Serulah
manusia kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. [An
Nahl:125].
Adapun memecah-belah kaum muslimin menjadi berkelompok–kelompok,
sehingga masing-masing mengklaim kelompoknyalah yang benar, sementara
yang lain sesat -sebagaimana realita sekarang ini- jelas bukan merupakan
manhaj dakwah yang benar. Setiap orang yang memiliki ilmu dan kemampuan
yang cukup, wajib berdakwah kepada agama Allah atas dasar ilmu,
walaupun hanya seorang diri. Antara yang satu dengan yang lain,
hendaklah berkerja sama berlandaskan manhaj yang satu, yaitu manhaj yang
ditempuh Rasulullah dan para sahabat.
Dakwah merupakan cara dan proses Islami dalam membimbing umat manusia
menuju perubahan hidup yang hakiki, penuh dengan kesadaran serta
merupakan bentuk sentuhan lembut yang mengetuk hati nurani, sehingga
bangkit dan memiliki kemauan untuk berbuat kebaikan, meninggalkan
berbagai macam pelanggaran.
Anggapan, bahwa praktek-praktek agitasi, kampanye, pengungkapan aib
penguasa dan pengerahan massa untuk menekan penguasa sebagai metode yang
berhasil dan bermanfaat, adalah anggapan yang keliru, jauh dari
kebenaran dan menyalahi nash-nash syar’i. Kalau kita tengok penjelasan
para ulama, seperti yang tertuang dalam buku Asy Syari’ah karya Al
Ajurri, As Siayasah Asy Syar’iyah Ibnu Taimiyah dan buku Ath Thuruqul
Hukmiyah Fis Siyasah Asy Syar’iyah karya Ibnu Qayyim, maka cara-cara
seperti di atas sangat keliru dan sesat.
Asumsi, bahwa cara-cara seperti ceramah-cermah yang transparan,
membukakan kebobrokan penguasa kepada masyarakat luas dan memprovokasi
mereka untuk melawan penguasa sebagai cara yang efisien dan berguna,
merupakan asumsi yang salah dan sangat jauh dari kebenaran, serta
bertentangan dengan nash agama. Bahkan, semacam merupakan bentuk
justifikasi terhadap aqidah dan pemikiran Khawarij.
BEKAL BAGI ORANG YANG MENASIHATI PEMIMPIN
Bagi setiap individu yang ingin memberikan nasihat kepada pemimpin, maka ia harus memperhatikan hal-hal berikut:
Pertama : Ikhlas dalam memberi nasihat.
Nabi Muhammad bersabda kepada Abdullah bin Amr: “Wahai, Abdullah bin
Amr. Jika engkau berperang dengan sabar dan ikhlas, maka Allah akan
membangkitkanmu sebagai orang yang sabar dan ikhlas. Dan jika engkau
berperang karena riya, maka Allah akan membangkitkanmu sebagai orang
riya dan orang yang ingin dipuji” . [HR Abu Dawud].
Imam Ibnu Nahhas berkata,”Orang yang menasihati pemimpin atau penguasa,
hendaknya mendahulukan sikap ikhlas untuk mencari ridha Allah.
Barangsiapa yang mendekati pemimpin untuk mencari popularitas atau
jabatan atau sanjungan, maka ia telah berbuat kesalahan yang besar dan
melakukan perbuatan sia-sia.”
Kedua : Menjahui segala macam ambisi pribadi.
Seseorang yang menasihati sebaiknya menanggalkan segala ambisi dan
keinginan pribadi untuk mendapatkan sesuatu dari pemimpin atau penguasa.
Para ulama salaf telah banyak memberikan contoh dan suri tauladan,
seperti Sufyan Ats Atsauri. Beliau sering menolak pemberian para
penguasa, karena khawatir pemberian tersebut menghalanginya untuk
mengingkari kemungkaran.
Ketiga : Mendahulukan sikap kejujuran dan kebenaran.
Seorang yang ingin menasihati pemimpin atau penguasa, hendaknya bersikap
jujur dan pemberani; sebagaimana sabda Nabi,”Jihad yang paling utama
adalah menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang zhalim.” [HR Abu
Dawud]
Keempat : Berdo’a kepada Allah dengan do’a-do’a yang ma’tsur.
Dari Ibnu Abbas, beliau berkata,”Jika kamu mendatangi penguasa yang kejam, maka berdo’alah:
Allah Maha Besar, Allah Maha Tinggi, dari semua makhlukNya, Allah Maha
Tinggi dari semua yang saya takutkan dan khawatirkan. Saya berlindung
kepada Allah yang tiada Sesembahan yang haq selainNya, Dialah yang
menahan langit yang tujuh sehingga tidak jatuh ke bumi dengan izinNya,
(dari) kejahatan hambaMu dan para pengikutnya, bala tentaranya dan para
pendukungnya, baik dari jin atau manusia. Ya Allah, jadilah Engkau
pendampingku dari kejahatan mereka, Maha Tinggi kekuasaan Allah dan Maha
Agung serta Maha Berkah NamaNya, tiada Sesembahan yang berhaq disembah
selain Engkau.” (Dibaca tiga kali). [HR Ibnu Abu Syaibah].
MENYEBUT PENGUASA DENGAN VONIS KAFIR
Pada masa sekarang timbul berbagai macam penyimpangan manhaj dan fitnah
pemikiran, terutama dalam soal sikap kepada para penguasa yang zhalim
dan tidak berhukum dengan hukum Allah. Sebagian orang yang gila
popularitas dan ambisius, dengan gampang menebarkan pemikiran takfir
(mengkafirkan) kepada para penguasa, para pemuda dan orang awam; dan
dengan mengesampingkan manhaj Ahli Sunnah serta fatwa para ulama. Mereka
kurang menyadari dampak dan akibat dari langkah yang mereka tempuh,
sehingga keinginan mengajak umat manusia kepada kebaikan berbalik
menjadi musibah dan fitnah yang mendatangkan banyak keburukan dan
kesesatan. Mereka bersikap kerdil, picik, pengecut, emosional, keras
kepala dan tidak kenal kompromi, kurang mempertimbangkan antara maslahat
dan madharat.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan dalam kitab Muntaqa berkata,”Masalah
pengkafiran terhadap orang per orang, terutama kepada para penguasa
sangat berbahaya. Tidak semua orang boleh mengucapkan atas orang lain.
Masalah ini merupakan wewenang hakim syar’i dan ahli ilmu yang mumpuni,
yang mengetahui Dinul Islam dan pembatal-pembatalnya mengetahui situasi
dan kondisi, serta keadaan manusia dan masyarakat. Merekalah yang berhak
menjatuhkan vonis kafir. Adapun orang jahil, orang awam, pemula dalam
menuntut ilmu, tidaklah berhak menjatuhkan vonis kafir.”
Syaikh Shalih bin Ghanim As Sadlan menegaskan, bahwa masalah pengkafiran
terhadap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, membutuhkan
penjelasan secara rinci. Tidak boleh menjatuhkan hukum kafir atas
penguasa atau hakim yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara
mutlak, sehingga mengetahui keadaan dan kondisinya dalam masalah ini.
Perlu diketahui, bahwa berhukum dengan hukum selain hukum Allah ada dua
sebab. Pertama. Menghalalkan hukum selain Allah dan meyakini, bahwa
syari’at Islam tidak layak diterapkan selamanya. Kedua. Meyakini, bahwa
syari’at Islam layak diterapkan dan sudah sempurna, namun keputusan
terakhir bukan di tangannya dan bukan pula di bawah kuasa seseorang.
Mengenai firman Allah “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.
[Al Maidah: 44].
Apakah dalam ayat di atas terdapat perintah untuk membangkang dan
memberontak penguasa? Karena memberontak dan membangkang kepada penguasa
yang divonis kafir -bila tidak memiliki kekuatan yang berimbang- justru
akan membahayakan kelangsungan dakwah dan keselamatan para da’i.
BERSABAR TERHADAP PEMIMPIN YANG ZHALIM
Pemimpin yang zhalim dan jahat, adalah sosok pemimpin yang hanya
berambisi terhadap kekuasaan belaka. Perbuatan mereka tidak pernah sepi
dari penganiayaan dan kezhaliman, dan tidak segan-segan melibas siapapun
yang mencoba menggoyang kekuasaannya, meskipun dia melanggar syari’at.
Dia juga tidak adil dalam memberikan hak-hak umat serta boros terhadap
harta negara.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab rusaknya para pemimpin.
1. Lemahnya pengamalan prinsip agama.
2. Senang mengikuti hawa nafsu dan kesenangan dunia belaka.
3. Sikap kolusi dan nepotisme yang berlebihan.
4. Teman dan penasihat (orang kepercayaannya) yang tidak baik, atau
menjadikan orang-orang kafir sebagai pembantu (kepercayaannya).
5. Menyerahkan kekuasaan dan jabatan kepada orang-orang yang tidak berjiwa patriot dan ikhlas.
6. Diktator dalam mengendalikan kekuasaan.
7. Tekanan internasional terhadap para pemimpin Islam.
8. Terpengaruh dengan sisitim negara-negara kafir dan meninggalkan sistim Islam.
Barangsiapa yang tidak memiliki kemampuan untuk menasihati pemimpin yang
zhalim, maka sebaiknya berdiam diri dan bersabar, sebagaimana sabda
Rasulullah,”Barangsiapa yang mendapatkan dari pemimpin(nya) sesuatu yang
tidak menyenangkan, maka hendaklah bersabar. (Karena) sesungguhnya,
barangsiapa yang keluar dari pemimpin, maka meninggal dalam keadaan
jahiliyah.” [HR Al Bukhari].
Abdullah Ibnu Abbas berkata,”Pemimpin adalah ujian bagi kalian. Apabila
mereka bersikap adil, maka dia mendapatkan pahala dan kamu harus
bersyukur. Dan apabila dia zhalim, maka dia mendapatkan siksa dan kamu
harus bersabar.”
Imam Nawawi berkata,”Barangsiapa yang mendiamkan kemungkaran seorang
pemimpin, tidaklah dia berdosa, kecuali (jika) dia menunjukan sikap
rela, setuju atau mengikuti kemungkaran itu.”
BATASAN HUBUNGAN ANTARA PEMIMPIN DENGAN RAKYAT
Syaikh Abdul Aziz bin Baz t menjelaskan kepada Majalah Syarq Al Ausath
seputar manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam masalah amar ma’ruf nahi
munkar, metodologi menyampaikan nasihat, serta batasan-batasan hubungan
secara syar’i antara penguasa dengan rakyat. Ulasan dan penjelasan
beliau dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Beliau menjelaskan batasan-batasan hubungan antara penguasa dengan
rakyat menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang wajib ditempuh seluruh umat
sekarang ini.
2. Beliau juga mengajak kaum muslimin mengikuti manhaj Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah dan tidak mencontoh faham Khawarij maupun Mu’tazilah. Beliau
berkata,”Mereka semestinya mengikuti madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
sesuai dengan dalil-dalil syar’i yang ada. Mereka semestinya memegang
teguh nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana adanya. Mereka tidak
diperkenankan memberontak kepada penguasa, hanya karena penguasa itu
jatuh dalam perbuatan maksiat. Mereka semestinya menasihati penguasa dan
berdakwah dengan cara yang penuh hikmah, serta dengan pengajaran yang
baik.
3. Beliau menjelaskan, bahwa kaum muslimin wajib mentaati waliyul amri
dalam perkara-perkara yang ma’ruf. Berdasarkan firman Allah, yang
artinya: Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan ta’atilah dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul
(Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu adalah lebih baik akibatnya. [An Nisa’:59].
4. Jika penguasa memerintahkan kepada perkara yang munkar, maka tidak
wajib dipatuhi, namun tidak berarti dibolehkan memberontak mereka, sebab
Rasulullah bersada:
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ
فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً
جَاهِلِيَّةً.
Barangsiapa melihat sebuah perkara yang membuat ia benci pada
pemimpinya, maka hendaknya ia bersabar dan janganlah ia membangkang
kepada pemimpinnya. Sebab, barangsiapa melepaskan diri dari jama’ah,
lalu mati, maka ia mati secara jahiliyah. [HR Bukhari dan Muslim]
Sabda beliau:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ
وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ
فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Seorang muslim wajib patuh dan taat (kepada umara) ketika lapang maupun
sempit pada perkara yang disukainya ataupun yang dibencinya, selama
tidak diperintah berbuat maksiat. Jika diperintah berbuat maksiat, maka
tidak boleh patuh dan taat. [HR Bukhari dan Muslim].
5. Tidak boleh memberontak kepada penguasa kecuali dengan dua syarat.
Pertama, telah tampak kekafiran secara nyata pada penguasa itu, dan
memiliki keterangan yang jelas (tentang kekafirannya itu) dari Allah (Al
Qur’an) dan As Sunnah. Kedua, memiliki kemampuan untuk menggantikan
penguasa tersebut, tanpa harus merugikan rakyat banyak.
6. Jika tidak memiliki kemampuan, maka tidak boleh memberontak, meskipun
telah terlihat kekafiran yang nyata. Hal ini demi menjaga kemaslahat
bersama.
7. Kaidah syar’i yang harus disepakati bersama, bahwa tidak boleh
menghilangkan kejahatan dengan kejahatan yang lebih buruk dari
sebelumnya, namun mestinya perkara yang benar menghilangkan kejahatan
itu atau menguranginya.
8. Tidak boleh memberontak penguasa jika akan menimbulkan kerusakan yang
lebih besar, stabilitas keamanan terguncang, kesewenang-wenangan
terhadap hak-hak asasi manusia dan pembunuhan orang-orang yang
semestinya tidak boleh dibunuh.
9. Wajib bersabar, patuh dan taat dalam perkara yang ma’ruf, serta
memberi nasihat kepada pemerintah, mendo’akan kebaikan bagi mereka,
berusaha sekuat tenaga meminimalkan kejahatan dan menyebarkan
sebanyak-banyaknya nilai-nilai kebaikan.
10. Barangsiapa beranggapan bahwa pemikiran semacam ini merupakan
kekalahan dan kelemahan, maka sesungguhnya angapan seperti itu
menunjukkan kekeliruan dan kedangkalan pemahamannya. Artinya, mereka
tidak memahami dan tidak mengenal Sunnah Nabi sebagaimana mestinya.
Dalam menghilangkan kemungkaran, mereka hanya dibakar oleh semangat dan
emosi untuk menghilangkannya saja, sehingga (kemudian) mereka melanggar
rambu-rambu syari’at, sebagaimana Khawarij dan Mu’tazilah.
11. Siapapun orangnya, baik pemuda atau bukan, tidaklah layak mencontoh
Khawarij dan Mu’tazilah. Mereka harus meniti madzhab Ahlu Sunnah Wal
Jama’ah.
12. Bagi yang memiliki semangat membela agama Allah dan para da’i, wajib
untuk mengikatkan diri dengan ketentuan-ketentuan syari’at. Wajib
memberi nasihat kepada para penguasa dengan perkataan yang bagus dan
dengan cara yang baik.
13. Tidak dibolehkan membunuh kafir musta’min (orang kafir yang mendapat
perlindungan pemerintah Islam) yang diterima oleh pemerintah yang
berdaulat secara damai. Tidak boleh pula menghukum pelaku maksiat dan
berbuat aniaya terhadap mereka. Namun kejahatan mereka diangkat ke
mahkamah syari’at. Jika tidak ada, maka cukup dengan nasihat saja.
14. Wajib hukumnya mematuhi dan mentaati peraturan-peraturan pemerintah
yang tidak bertentangan dengan syari’at, seperti: peraturan lalu-lintas
dan imigrasi (seperti kewajiban SIM pengendara dan paspor). Barangsiapa
mengangggap dirinya memiliki hak untuk melanggarnya, maka perbuatannya
itu bathil dan mungkar.
15. Diantara konsekuensi bai’at, yaitu menasihati waliyul amri
(penguasa). Dan diantara wujud nasihat, yaitu mendo’akan kepada penguasa
supaya mendapatkan taufiq dan hidayah.
16. Setiap individu rakyat wajib bekerja sama dengan pemerintah dalam mengadakan perbaikan dan menumpas kejahatan.
17. Maksud didirikan pemerintah, ialah untuk merealisasikan maslahat
syar’i dan mencegah mafsadat. Maka setiap tindakan yang diinginkan
darinya adalah kebaikan. Adapun yang dapat menimbulkan kerusakan yang
lebih besar, maka hal itu dilarang.
18. Mendo’akan kebaikan bagi penguasa merupakan ibadah yang paling agung
dan ketaatan yang paling utama. Al Fudhail bin Iyadh berkata,”Bila aku
punya do’a yang terkabulkan, maka aku akan memanjatkan untuk penguasa.
Karena baiknya mereka akan menentukan kebaikan orang banyak.”
Maraji:
- Al Ahkamus Sulthaniyah, karya Imam Abu Hasan Al Mawardi.
- As Siyasah Asy Syar’iyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
- Ath Thuruqul Hukmiyah Fi Siyasah Asy Syar’iyah, karya Ibnu Qayyim.
- Ash Shahwah Islamiyah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
- Al Muntaqa Fi Fatawa, Syaikh Fauzan.
- Hakiqatul Amr Bil Ma’ruf Wan Nahyu ‘Anil Munkar, karya Dr. Hamd bin Nasir Al Ammar.
- Muraja’at Fi Fiqhil Waqi Asy Syiyasi Wal Fikri, Syaikh Bin Baz, Syaikh Fauzan dan Syaikh Shalih Sadlan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VII/1424H/2004M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.
8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
Sunday, October 28, 2012
PERNIKAHAN adalah FITRAH Manusia
Agama Islam adalah agama
fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta'ala cocok dengan fitrah ini, karena itu
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah
agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di
atas fithrahnya.
Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam.
Firman Allah Ta'ala.
Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah.
Islam menolak sistem ke-rahib-an karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah dan kodrat Allah Ta'ala yang telah ditetapkan bagi makhluknya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia berada di alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang dikaruniakan Allah, misalnya ia berkata : "Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!".
Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Allah akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Allah menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang nikah, dalam firman-Nya:
Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam.
Firman Allah Ta'ala.
"Artinya
: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui". (Ar-Ruum : 30).
A.
Islam Menganjurkan Nikah
Islam telah menjadikan
ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai
satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi,
dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan
perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan
separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu 'anhu berkata : "Telah bersabda
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya
: Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi".
(Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim).
B.
Islam Tidak Menyukai Membujang
Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang
yang tidak mau menikah. Anas bin Malik radliyallahu 'anhu berkata : "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami
membujang dengan larangan yang keras". Dan beliau bersabda :
"Artinya
: Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbangga
dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat". (Hadits
Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban).
Pernah
suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah
diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang
berkata: Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain
berkata: Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin
selamanya .... Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam, beliau keluar seraya bersabda :
"Artinya
: Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah,
sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi
aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga
mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia
tidak termasuk golonganku". (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
Orang
yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan
kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain Muhammad Yusuf : "Hidup
membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak
mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan
insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri
sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab".
Orang yang membujang pada
umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu
yang selalu bergelora, hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh.
Mereka selalu ada dalam pergolakan melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan
mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama
kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan
akan membawanya ke lembah kenistaan. Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah.
Islam menolak sistem ke-rahib-an karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah dan kodrat Allah Ta'ala yang telah ditetapkan bagi makhluknya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia berada di alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang dikaruniakan Allah, misalnya ia berkata : "Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!".
Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Allah akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Allah menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang nikah, dalam firman-Nya:
"Artinya
: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha
Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui".
(An-Nur : 32).
(An-Nur : 32).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam menguatkan janji Allah itu dengan sabdanya :
"Artinya
: Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang
mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan
seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya". (Hadits Riwayat
Ahmad 2 : 251, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160
dari shahabat Abu Hurairah radliyallahu 'anhu).
Para
Salafus-Shalih sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti membujang, serta
tidak suka berlama-lama hidup sendiri.
Ibnu Mas'ud radliyallahu
'anhu pernah berkata : "Jika umurku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih
suka menikah daripada aku harus menemui Allah sebagai seorang bujangan". (Ihya
Ulumuddin dan Tuhfatul 'Arus hal. 20).
Labels:
KELUARGA
IKHTIAR Menggapai Bening Hati
Keberuntungan memiliki hati yang bersih, sepatutnya membuat diri kita berpikir
keras setiap hari menjadikan kebeningan hati ini menjadi aset utama untuk
menggapai kesuksesan dunia dan akhirat kita. Subhanallaah, betapa kemudahan dan
keindahan hidup akan senantiasa meliputi diri orang yang berhati bening ini.
Karena itu mulai detik ini bulatkanlah tekad untuk bisa menggapainya, susun pula
program nyata untuk mencapainya. Diantara program yang bisa kita lakukan untuk
menggapai hidup indah dan prestatif dengan bening hati adalah :
1.
Ilmu
Carilah terus ilmu tentang
hati, keutamaan kebeningan hati, kerugian kebusukan hati, bagaimana perilaku dan
tabiat hati, serta bagaimana untuk mensucikannya. Diantara ikhtiar yang bisa kita lakukan
adalah dengan cara mendatangi majelis taklim, membeli buku-buku yang mengkaji
tentang kebeningan hati, mendengarkan ceramah-ceramah berkaitan dengan ilmu
hati, baik dari kaset maupun langsung dari nara sumbernya. Dan juga dengan cara
berguru langsung kepada orang yang sudah memahami ilmu hati ini dengan benar dan
ia mempraktekannya dalam kehidupan sehari-harinya. Harap dimaklumi, ilmu hati
yang disampaikan oleh orang yang sudah menjalaninya akan memiliki kekuatan
ruhiah besar dalam mempengaruhi orang yang menuntut ilmu kepadanya. Oleh
karenanya, carilah ulama yang dengan gigih mengamalkan ilmu hati ini.
2.
Riyadhah atau Melatih Diri
Seperti kata pepatah, “alah
bisa karena biasa”. Seseorang mampu melakukan sesuatu dengan optimal salah
satunya karena terlatih atau terbiasa melakukannya. Begitu pula upaya dalam
membersihkan hati ini, ternyata akan
mampu dilakukan dengan optimal jikalau kita terus-menerus melakukan
riyadhah (latihan). Adapun bentuk latihan diri yang dapat kita lakukan untuk
menggapai bening hati ini adalah
A. Menilai kekurangan atau
keburukan diri.
Patut diketahui
bahwa bagaimana mungkin kita akan mengubah diri kalau kita tidak tahu apa-apa
yang harus kita ubah, bagaimana mungkin kita memperbaiki diri kalau kita tidak
tahu apa yang harus diperbaiki. Maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah
dengan bersungguh-sungguh untuk belajar jujur mengenal diri sendiri, dengan
cara
B. Memiliki waktu khusus untuk tafakur.
Setiap ba’da
shalat kita harus mulai berpikir; saya ini sombong atau tidak? Apakah saya ini
riya atau tidak? Apakah saya ini orangnya takabur atau tidak? Apakah saya ini
pendengki atau bukan? Belajarlah sekuat tenaga untuk mengetahui diri ini
sebenarnya. Kalau perlu buat catatan khusus tentang kekurangan-kekurangan diri
kita, (tentu saja tidak perlu kita beberkan pada orang lain). Ketahuilah bahwa
kejujuran pada diri ini merupakan modal yang teramat penting sebagai langkah
awal kita untuk memperbaiki diri kita ini
C. Memiliki partner.
Kawan sejati yang memiliki
komitmen untuk saling mengkoreksi semata-mata untuk kebaikan bersama yang memiliki komitmen untuk saling
mewangikan, mengharumkan, memajukan, dan diantaranya menjadi cermin bagi satu
yang lainnya. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Tentu saja dengan niat dan cara
yang benar, jangan sampai malah saling membeberkan aib yang akhirnya terjerumus
pada fitnah. Partner ini bisa istri, suami, adik, kakak, atau kawan-kawan lain
yang memiliki tekad yang sama untuk mensucikan diri. Buatlah prosedur yang baik,
jadwal berkala, sehingga selain mendapatkan masukan yang berharga tentang diri
ini dari partner kita, kita juga bisa menikmati proses ini secara
wajar.
D. Manfaatkan orang yang tidak
menyukai kita.
Mengapa? Tiada lain karena
orang yang membenci kita ternyata memiliki kesungguhan yang lebih dibanding
orang yang lain dalam menilai, memperhatikan, mengamati, khususnya dalam hal
kekurangan diri. Hadapi mereka dengan kepala dingin, tenang, tanpa sikap yang
berlebihan. Anggaplah mereka sebagai aset karunia Allah yang perlu kita optimalkan keberadannya.
Karenanya, jadikan apapun yang mereka katakan, apapun yang mereka lakukan,
menjadi bahan perenungan, bahan untuk ditafakuri, bahan untuk dimaafkan, dan
bahan untuk berlapang hati dengan membalasnya justru oleh aneka kebaikan.
Sungguh tidak pernah rugi orang lain berbuat jelek kepada diri kita. Kerugian
adalah ketika kita berbuat kejelekkan
kepada orang lan.
E. Tafakuri kejadian yang ada
di sekitar kita.
Kejadian di negara, tingkah
polah para pengelola negara, akhlak pipmpinan negara, atau tokoh apapun dan
siapa pun di negeri ini. Begitu banyak yang dapat kita pelajari dan tafakuri
dari mereka, baik dalam hal kebaikan ataupun kejelekkan/kesalahan (tentu untuk
kita hindari kejelekkan/kesalahan serupa). Selain itu, dari orang-orang yang ada
di sekitar kita, seperti teman, tetangga, atau tamu, yang mereka itu merupakan
bahan untuk ditafakuri. Mana yang menyentuh hati, kita menaruh rasa hormat,
kagum, kepada mereka. Mana yang akan melukai hati, mendera perasaan, mencabik
qalbu, karena itu juga bisa jadi bahan contoh, bahan perhatian, lalu tanyalah
pada diri kita, mirip yang mana? Tidak usah kita mencemooh orang lain, tapi
tafakuri perilaku orang lain tersebut dan cocokkan dengan keadaan kita. Ubahlah
sesuatu yang dianggap melukai, seperti yang kita rasakan, kepada sesuatu yang
menyenangkan. Sesuatu yang dianggap mengagumkan, kepada perilaku kita spereti
yang kita kagumi tersebut. Mudah-mudahan dengan riyadhah tahap awal ini kita
mulai mengenal, siapa sebenarnya diri kita? ***
Labels:
CERAMAH
Hakikat Cinta
Cinta adalah bagian
dari fitrah, orang yang kehilangan cinta dia tidak normal tetapi banyak juga
orang yang menderita karena cinta. Bersyukurlah orang-orang yang diberi cinta
dan bisa menyikapi rasa cinta dengan tepat.
Hikam:
"Dijadikan indah pada pandangan manusia, kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup didunia dan disisi Allah tempat kembali yang baik." (Al-Qur`an: Al-Imron ayat 14)
"Cintamu kepada sesuatu menjadikan kamu buta dan tuli." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Cinta memang sudah ada didalam diri kita, diantaranya terhadap lawan jenis. Tapi kalau tidak hati-hati cinta bisa menulikan dan membutakan kita. Cinta yang paling tinggi adalah cinta karena Allah cirinya adalah orang yang tidak memaksakan kehendaknya. Tapi ada juga cinta yang menjadi cobaan buat kita yaitu cinta yang lebih cenderung kepada maksiat. Cinta yang semakin bergelora hawa nafsu, makin berkurang rasa malu. Dan, inilah yang paling berbahaya dari cinta yang tidak terkendali.
Islam tidak melarang atau mengekang manusia dari rasa cinta tapi mengarahkan cinta tetap pada rel yang menjaga martabat kehormatan, baik wanita maupun laki-laki. Kalau kita jatuh cinta harus hati-hati karena seperti minum air laut semakin diminum semakin haus. Cinta yang sejati adalah cinta yang setelah akad nikah, selebihnya adalah cobaan dan fitnah saja.
Cara untuk bisa mengendalikan rasa cinta adalah jaga pandangan, jangan berkhalwat berdua-duaan, jangan dekati zina dalam bentuk apapun dan jangan saling bersentuhan. Bagi orang tua yang membolehkan anaknya berpacaran,
harus siap-siap menanggung resiko. Marilah kita mengalihkan rasa cinta kita kepada Allah dengan memperbanyak sholawat, dzikir, istighfar dan sholat sehingga kita tidak diperdaya oleh nafsu, karena nafsu yang akan memperdayakan kita. Sepertinya cinta padahal nafsu belaka. (imm)
Hikam:
"Dijadikan indah pada pandangan manusia, kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup didunia dan disisi Allah tempat kembali yang baik." (Al-Qur`an: Al-Imron ayat 14)
"Cintamu kepada sesuatu menjadikan kamu buta dan tuli." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Cinta memang sudah ada didalam diri kita, diantaranya terhadap lawan jenis. Tapi kalau tidak hati-hati cinta bisa menulikan dan membutakan kita. Cinta yang paling tinggi adalah cinta karena Allah cirinya adalah orang yang tidak memaksakan kehendaknya. Tapi ada juga cinta yang menjadi cobaan buat kita yaitu cinta yang lebih cenderung kepada maksiat. Cinta yang semakin bergelora hawa nafsu, makin berkurang rasa malu. Dan, inilah yang paling berbahaya dari cinta yang tidak terkendali.
Islam tidak melarang atau mengekang manusia dari rasa cinta tapi mengarahkan cinta tetap pada rel yang menjaga martabat kehormatan, baik wanita maupun laki-laki. Kalau kita jatuh cinta harus hati-hati karena seperti minum air laut semakin diminum semakin haus. Cinta yang sejati adalah cinta yang setelah akad nikah, selebihnya adalah cobaan dan fitnah saja.
Cara untuk bisa mengendalikan rasa cinta adalah jaga pandangan, jangan berkhalwat berdua-duaan, jangan dekati zina dalam bentuk apapun dan jangan saling bersentuhan. Bagi orang tua yang membolehkan anaknya berpacaran,
harus siap-siap menanggung resiko. Marilah kita mengalihkan rasa cinta kita kepada Allah dengan memperbanyak sholawat, dzikir, istighfar dan sholat sehingga kita tidak diperdaya oleh nafsu, karena nafsu yang akan memperdayakan kita. Sepertinya cinta padahal nafsu belaka. (imm)
Labels:
CERAMAH