Al Awwal, Al Akhir, Azh Zhahir Dan Al Bathin
Oleh
Ustadz Ahmas Fais Asifuddin
Mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan salah satu rukun
penting dalam beriman kepada Allah yang memiliki empat rukun, yaitu:
Beriman kepada ekstensi Allah, beriman kepada Rububiyah Allah, beriman
kepada Uluhiyah Allah dan beriman kepada Asma' wa Sifat (nama-nama serta
sifat-sifat) Allah.[1]
Tidak bisa dibayangkan seseorang yang ingin menyembah Allah tetapi tidak
mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Ia bisa terjebak dalam
kesalahan fatal yang bisa mengakibatkan kecelakaan di dunia dan di
akhirat. Minimal, tidak bisa sempurna dalam beribadah.
Sebagai contoh, seseorang menyangka bahwa Allah adalah bapak. Maka
ketika ia memanggilNya dengan nama bapak, Allah tidak akan memenuhi
panggilannya, karena bapak bukan panggilan untukNya. Dan itu merupakan
kekufuran. Contoh lain, seseorang menyangka bila Allah menyenangi suatu
perbuatan tertentu. Misalnya, perbuatan yang dianggap Islami, padahal
tidak ada contoh dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam atau para
sahabatnya. Jelas merupakan perbuatan yang dibenci dan buruk. Sebab
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ
مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا...الحديث
(رواه مسلم فى كتاب الجمعة – باب رفع الصوت في الخطبة ومايقال فيها)
Sesungguhnya, sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
sedangkan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan secara
baru dalam agama..dst.[2]
Oleh karena itu, amat penting artinya memahami persoalan Asma' wa Sifat
secara benar dan ikhlas untuk tujuan meningkatkan kebenaran serta bobot
keimanannya kepada Allah hingga memperkecil kemungkinan terjerumus dalam
penyimpangan-penyimpangan.
Di antara nama Allah yang perlu di fahami ialah nama al-Awwal, al-Akhir,
azh-Zhahir dan al-Bathin. Empat nama di antara nama-nama Allah yang
sangat indah. Empat nama ini ditambah nama al-'Alim terkumpul pada
Al-Qur'an, surah al-Hadid ayat 3, yaitu firman-Nya:
هُوَ اْلأَوَّلُ وَاْلأَخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
Dialah Allah, Al-Awwal (Yang Pertama) dan Al-Akhir (Yang Akhir),
Azh-Zhahir (Yang paling atas/zhahir) dan Al-Bathin (Yang paling bathin).
Dan Dia 'Aliim (Maha mengetahui) terhadap segala sesuatu. [Al-Hadid :
3]
Imam Ibnu Katsir menegaskan dalam Kitab Tafsirnya: "Ayat ini adalah ayat
yang diisyaratkan dalam hadits 'Irbadh bin Sariyah bahwasanya merupakan
ayat yang lebih utama dari seribu ayat".[3]
Hadits yang semakna diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam sunannya.
عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَنَامُ حَتَّى يَقْرَأَ
الْمُسَبِّحَاتِ وَيَقُولُ فِيهَا آيَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ آيَةٍ
Dari Al Irbadh bin Sariah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak tidur sampai beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam membaca al musabbihat (surat-surat yang diawali dengan sabbaha)
dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Didalamnya terdapat
satu ayat yang lebih baik dari seribu ayat. [4]
Sementara, tentang makna empat nama dalam ayat tersebut, tidak ada
tafsirnya yang lebih baik daripada tafsir yang dikemukakan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda ketika
mengajarkan sebuah doa tidur, yang penggalannya sebagai berikut:
اَللَّهُمَّ أَنْتَ الأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الآخِرُ
فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ،
وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَيْءٌ
Ya Allah, Engkau adalah Al-Awwal (Yang pertama), maka tidak ada
sesuatupun sebelum-Mu. Engkau adalah Al-Akhir (Yang akhir), maka tidak
ada sesuatupun yang sesudah-Mu. Engkau adalah Azh-Zhahir (Yang paling
atas), maka tidak ada sesuatupun yang ada di atas-Mu. Dan Engkau adalah
Al-Bathin (Yang paling Bathin), maka tidak ada sesuatupun yang lebih
lembut/lebih bathin daripada-Mu [5]
Suatu tafsir yang ringkas, padat dan jelas. Nama-nama yang menunjukan
bahwa Allah Maha meliputi segala sesuatu, baik ruang maupun waktu.
Pada nama Allah : Al-Awwal dan al-Akhir, menunjukkan betapa Dia Maha
meliputi seluruh waktu dengan segala bagian-bagiannya, semenjak waktu
pertama hingga waktu kapanpun. Sedangkan nama; Azh-Zhahir dan al-Bathin
menunjukkan betapa Dia Maha meliputi seluruh ruang dan tempat dengan
segala bagian-bagiannya. [6]
Tidak ada satu bagian waktu sesedikit apapun kecuali berada dalam
pengetahuan, penglihatan, kekuasaan dan kewenangan Allah. Begitu pula
tidak ada satu tempat sekecil apapun kecuali berada dalam pengetahuan,
penglihatan, kekuasaan dan kewenangan-Nya.
Tidak ada satupun pelaku yang melakukan kemaksiatan di satu kurun waktu
tertentu, kapanpun dan di tempat manapun, baik yang tersembunyi ataupun
terbuka, di dasar laut atau di permukaannya, di langit, di bumi atau di
manapun, kecuali pasti di lihat, di awasi dan berada dalam kekuasaan
serta ancaman hukum Allah Azza wa Jalla.
Demikian juga, tidak ada satupun pelaku yang menegakkan kebenaran serta
ketaatan kepada Allah, di satu kurun waktu tertentu, kapanpun serta di
tempat manapun; di darat, laut, langit, bumi atau di manapun, kecuali
pasti di lihat, di sertai, di bela dan dijanjikan balasan yang baik oleh
Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Syaikh Shalih al-Fauzan menukil perkataan Imam Ibnu al-Qoyyim tentang
nama-nama Allah tersebut sebagai berikut: "Empat nama ini saling
berhadap-hadapan. Dua nama saling berhadapan antara azaliyahNya (ada
semenjak dahulu tanpa ada sesuatupun yang mendahului) dan abadiyahNya
(kekal seterusnya /tanpa akhir). Sedangkan dua nama yang lain saling
berhadap-hadapan antara Maha TinggiNya dengan Maha dekat-Nya. Awaliyah
Allah Subhanahu wa Ta'ala mendahului segala awaliyah (permulaan) segenap
yang selainNya. Sedangkan akhiriyah (keMaha akhiran) Allah Subhanahu wa
Ta'ala akan tetap terus kekal sesudah segala sesuatu yang selainNya
(berakhir). Jadi awaliyah Allah adalah lebih dahulunya Allah bagi adanya
segala sesuatu. Sedangkan akhiriyahNya adalah tetap kekalnya Allah,
tidak ada sesuatupun yang menyudahiNya.
Adapun zhahiriyah (Maha Zhahirnya) Allah, maksudnya: Maha Atas dan Maha
Tingginya Allah mengatasi segala sesuatu. Pengertian azh-zhuhur
menunjukkan makna tinggi. Zhahir dari sesuatu maksudnya adalah bagian
atas (permukaan) dari sesuatu itu.
Sedangkan Maha Bathin Allah maksudnya adalah, Allah Maha meliputi segala
sesuatu, sehingga Allah lebih dekat kepada sesuatu dibandingkan sesuatu
itu kepada dirinya. Tetapi maksud kedekatan ini adalah kedekatan dalam
arti; ilmu Allah meliputi segala sesuatu". [7]
Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi rahimahullah juga mengemukakan hal senada
ketika menerangkan perkataan Imam Thahawi dalam al-Aqidah
ath-Thahawiyah….. [8]
Pada sisi lain, Imam Ibnu al-Qoyyim rahimahullah dalam Zaad al-Ma'ad
mengatakan : "Dengan ayat ini Allah menunjukkan kepada para hambaNya
-berdasarkan aksioma logika- tentang batilnya jaringan mata rantai tak
berpenghabisan (tasalsul) mengenai kejadian makhluk. Sesungguhnya mata
rantai kejadian segenap makhluk pada permulaannya berawal dari Dzat Maha
Pertama yang tidak didahului oleh sesuatupun sebelumnya. Begitu pula
segenap makhluk itu akan berakhir diujungnya pada Dzat Maha Akhir yang
tidak disudahi oleh sesuatupun sesudahnya.
Demikian juga, Maha Zhahirnya Allah ialah Maha Tingginya Allah yang
tidak ada lagi sesuatupun di atasNya. Dan Maha BathinNya adalah Maha
Meliputi hingga tidak ada sesuatupun yang berada di luar kekuasaanNya.
[9]
Empat nama Allah pada surah al-Hadid tersebut ditutup dengan firmanNya :
وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
Sedangkan Dia Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu.
Ayat ini merupakan penutup yang mempertegas secara jelas bahwa tidak ada
sesuatupun, yang lepas dari pengetahuan Allah Subhanahu wa Ta'ala,
meski sekecil apapun. Nama al-'Aliim dalam penutup ayat ini merupakan
penegasan dari makna yang terkandung dalam empat nama sebelumnya.
Syaikh Shalih al-Fauzan menerangkan makna bagian akhir ayat ini sebagai
berikut: "Artinya, Ilmu Allah meliputi segala sesuatu, baik
perkara-perkara yang sudah lewat, perkara-perkara yang kini sedang
berlangsung, maupun perkara-perkara yang akan berlangsung. Baik yang
terjadi di alam atas, maupun di alam bawah. Baik yang lahir maupun yang
bathin. Tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari ilmu Allah meskipun
hanya seberat biji atom, di darat maupun di langit." [10]
Dengan demikian, akankah seseorang merasa dapat bersembunyi dari pengawasan Allah?
Dari surah al-hadid ayat 3 tersebut dapat diambil beberapa faidah,di antaranya:
a. Adanya penetapan 5 nama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Yaitu : al-Awwal, al-Akhir, azh-Zhahir, al-Bathin dan al-'Aliim.
b. Lima nama Allah itu, memberi arti penetapan bagi sifat-sifat Allah.
Yaitu sifat awwaliyah yang tidak didahului oleh sesuatupun sebelumnya.
Sifat akhiriyah yang tidak diakhiri dengan sesuatupun sesudahnya. Sifat
zhahiriyah yang tidak ada sesuatupun ada di atasNya. Sifat bathiniyah
yang tidak ada sesuatupun lebih dekat dariNya. Dan sifat Maha mengetahui
yang tidak ada sesutupun dapat tersembunyi dariNya. Maka segala sesuatu
berada dalam pengawasan, pengetahuan dan kewenangan Allah Subhanahu wa
Ta'ala, baik waktu, tempat, ketetapan takdir maupun pengaturannya. Maha
Tinggi Allah dan Maha Perkasa.
c. Disimpulkan juga, sesungguhnya sifat-sifat Allah tidak dapat dibatasi
hanya dalam jumlah tertentu. Para Ulama Ahlu Sunnah wal Jama'ah
menyatakan, jumlah sifat Allah lebih banyak dari jumlah namaNya. Sebab
setiap nama Allah pasti mengandung sifat. Padahal masih banyak
sifat-sifat lain yang tidak berasal dari namaNya. Syaikh Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin menegaskan: Bab Sifat lebih luas daripada bab Asma'.
[11]
Lebih lanjut beliau memberikan contoh-contoh sifat yang darinya tidak
dapat disebutkan sebagai nama Allah. Misalnya, sifat majii' dan sifat
ityaan : berarti Allah mempunyai sifat datang. Dari sifat ini Allah
tidak bisa disebut al-Jaa'iy atau al-Aatiy (yang datang). Padahal Allah
telah berfirman, menerangkan sifatNya:
وَجَآءَ رَبُّكَ
Dan Rabb-mu datang. [Al-Fajr : 22]
هَلْ يَنظُرُونَ إِلآَّ أَن يَأْتِيَهُمُ اللهُ فِي ظُلَلٍ مِّنَ الْغَمَامِ
Tidak ada yang mereka tunggu-tunggu selain kedatangan Allah (untuk
mengadili mereka di hari kiamat) di iringi bayang-bayang awan.
[Al-Baqarah : 210]
Dan contoh-contoh lain yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. [12] .
Di samping beberapa faidah di atas, penghayatan terhadap nama-nama Allah
dalam surah al-Hadid ayat 3 di atas juga dapat memberikan motivasi
(dampak) berikut:
a. Dapat mencegah orang yang hendak berbuat maksiat, kejahatan atau
tindakan apa saja yang akan mendatangkan murka Allah, sebab ia memahami
dengan baik bahwa kemaksiatan, kejahatan serta segala tindakannya tidak
dapat ia sembunyikan dari penglihatan Allah dan tidak dapat ia hindarkan
dari ancaman kerasNya, kapanpun dan di manapun.
b. Dapat meningkatkan ketakwaan dan kehati-hatian dalam berbuat sesuatu
sehingga memperkecil kemungkinan untuk terjerumus dalam bid'ah. Allah
melalui RasulNya telah menegaskan bahwa perbuatan bid'ah adalah sesat.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ
الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه مسلم فى كتاب الجمعة – باب رفع الصوت في الخطبة
ومايقال فيها)
Amma Ba’du: Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Sedangkan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang
diada-adakan secara baru dalam agama, dan setiap bid’ah adalah sesat.
[13]
c. Akan menghibur seseorang untuk tidak bersedih dan khawatir menghadapi
tantangan ketika ia melakukan ketaatan, sebab ia yakin bahwa Allah
senantiasa melihat sepak terjangnya yang di ridhai Allah, dan Allah
senantiasa akan menyertainya dengan pertolongan serta perlindunganNya.
Sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Allah kepada Musa dan Harun
ketika menghadapi Fir'aun. FirmanNya:
قَالَ لاَتَخَافَآ إِنَّنِي مَعَكُمَآ أَسْمَعُ وَأَرَى
Allah berfirman: "Janganlah kamu berdua takut. Sebab sesungguhnya Aku
menyertai kamu berdua. Aku mendengar dan Aku melihat. [Thaha : 46]
Yang dimaksud dengan kesertaan Allah kepada Musa dan Harun pada ayat
diatas adalah kesertaan dalam arti penjagaan, perlindungan dan
pertolonganNya [14]
Demikianlah, tulisan singkat yang diambil dari keterangan Ulama ini
diharapkan dapat membantu meningkatkan keimanan secara benar kepada
Allah k . Wallahu Waliyyu at-Taufiq.