QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Ketujuh :
التَّكْلِيْفُ وَهُوَ الْبُلُوْغُ وَالْعَقْلُ شَرْطٌ لِوُجُوْبِ
الْعِبَادَاتِ , وَالتَّمْيِيْزُ شَرْطٌ لِصِحَّتِهَا إِلاَّ الْحَجَّ
وَالْعُمْرَةَ فَيَصِحَّانِ مِمَّنْ لَمْ يُمَيِّزْ , وَيُشْتَرَطُ مَعَ
ذَلِكَ الرُّشْدُ لِلتَّصَرُّفَاتِ , وَالْمِلْكُ لِلتَّبَرُّعَاتِ
Taklîf - yang memuat unsur baligh dan berakal- adalah syarat wajib
beribadah (atas seseorang, red). Adapun (usia) Tamyiiz menjadi syarat
sah ibadah, kecuali dalam ibadah haji dan umroh yang tetap sah bila
dilaksanakan oleh orang yang belum memasuki usia Tamyiiz. Selain
syarat-syarat di atas, juga disyaratkan adanya sifat ar-rusyd [1] dalam
penggunaan harta (melakukan tasharruf) dan sifat kepemilikan untuk
melakukan tabarru'.
Penjelasan Kaidah
Kaidah ini mencakup beberapa pedoman yang menjadi dasar pelaksanaan
ibadah, baik ibadah wajib maupun sunat, dan juga dasar pelaksanaan akad
tasharruf (wewenang menggunakan harta dalam jual beli, sewa menyewa
dsb.) dan tabarru' (menyumbangkan harta, pent).
Maksudnya, seseorang yang mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan
berakal, telah terkena kewajiban untuk melaksanakan seluruh ibadah yang
bersifat wajib, dan pundaknya telah terbebani dengan seluruh beban
syari'at.
Hal ini dikarenakan, Allah Azza wa Jalla Raûf Rahîm (Dzat yang Maha
Santun dan Maha Penyayang terhadap hamba-Nya). Sebelum seorang insan
mencapai usia dimana ia telah sanggup menjalankan ibadah-ibadah dengan
sempurna, yaitu pada usia baligh, maka Allah Azza wa Jalla tidak
membebankan beban-beban syariat kepadanya. Demikian pula, jika seseorang
tidak memiliki akal (gila atau tidak sadar, red) – yang menjadi hakikat
seorang insan-, maka ia lebih utama untuk tidak dikenai beban. Orang
yang tidak memiliki akal, tidak berkewajiban melaksanakan ibadah apapun
dan jika pun ia mengerjakannya, maka apa yang dilakukan tidak sah.
Karena, ada diantara syarat-syarat dalam pelaksanaan ibadah yang tidak
terpenuhi yaitu niat. Niat tidak mungkin terwujud dari orang yang tidak
berakal.
Usia baligh dapat diketahui dengan beberapa tanda di antaranya dengan
keluarnya air mani, baik dalam keadaan terbangun ataupun ketika tidur,
atau jika telah genap berusia lima belas tahun, atau dengan tumbuhnya
bulu kasar di sekitar kemaluan. Ketiga tanda tersebut berlaku untuk
laki-laki maupun perempuan. Dan khusus untuk perempuan ada satu tanda
lagi yang menunjukkan dia telah baligh yaitu haid. Jika ia telah haid,
berarti ia telah baligh.
Perlu diperhatikan, dalam perjalanan usianya, seorang manusia akan
memasuki fase tamyîz sebelum memasuki fase baligh. Seorang yang telah
masuk fase tamyîz (berusia tujuh tahun), maka ia diperintahkan untuk
melaksanakan sholat dan ibadah-ibadah yang mampu ia kerjakan.
Ibadah-ibadah tersebut bukan berstatus wajib atas dirinya, karena ia
belum baligh. Jika telah berusia sepuluh tahun, namun ia belum juga mau
rutin dalam melaksanakan sholat maka orang tuanya disyariatkan
memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai, dalam kerangka pendidikan
(dan pembinaan), bukan dalam kerangka sedang mewajibkan.
Dari sini dapat diketahui bahwa semua ibadah yang dikerjakan oleh
anak-anak yang telah mencapai usia tamyîz itu telah sah. Karena jika dia
telah bisa membedakan beberapa hal serta secara global bisa mengetahui
mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya, berarti ia memiliki akal
yang bisa ia pakai untuk merangkai niat dalam melaksanakan ibadah dan
kebaikan.
Sedangkan anak yang belum sampai pada usia tamyîz, maka semua ibadahnya
tidak sah. Karena dalam kondisi seperti ini, ia sama dengan orang yang
tidak berakal yang tidak mempunyai niat yang shahih. Kecuali dalam
ibadah haji dan umrah. Kedua ibadah ini tetap sah, kendati dikerjakan
oleh anak yang belum mencapai usia tamyîz. Dalam sebuah hadits yang
shahîh diterangkan :
رَفَعَتْ إِلَيْهِ امْرَأَةٌ صَبِيًا فِي الْمَهْدِ , فَقَالَتْ : أَلِهَذَا حَجٌ ؟ قَالَ : نَعَمْ وَلَكِ أَجْرٌ
Seorang wanita mengangkat seorang anak kecil yang masih digedong kearah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu ia bertanya : Bolehkah
anak ini melaksanakan haji ? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab
: Boleh dan bagimu pahala. [2]
Dengan demikian, anak yang belum mencapai usia tamyîz, jika melaksanakan
ibadah haji ataupun umrah, maka ibadahnya sah. Dalam hal ini, walinya
yang meniatkannya untuk ihram dan menjauhkannya dari perkara-perkara
yang dilarang ketika ihram. Demikian pula, si wali harus membawa si anak
untuk hadir di tempat-tempat manasik haji dan tempat-tempat masya'ir
semuanya. Dan si wali mewakili si anak dalam mengerjakan manasik yang
tidak mampu ia kerjakan seperti melempar jumrah.
Selain ibadah haji dan umrah, ibadah mâliyyah termasuk ibadah yang
diperkecualikan. Karena ibadah mâliyah seperi membayar zakat, nafkah
wajib serta kaffârah adalah wajib atas semua orang; dewasa, anak kecil,
yang berakal ataupun orang yang tidak berakal. Hal ini berdasarkan
keumuman nash baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam .[3]
Adapun dalam masalah tasharruf (wewenang menggunakan harta untuk jual
beli, sewa menyewa dsb.), maka disamping disyaratkan baligh dan berakal
juga ditambah rusyd. Karena tujuan utama dalam tasharruf ini adalah
menjaga harta. Rusyd maksudnya orang tersebut mempunyai sifat bijak
dalam penjagaan dan pemanfaatan harta tersebut serta memahami akad.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ
آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian
jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta),
maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. [an Nisâ'/4: 6]
Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla memberikan syarat kepada wali yang
mengurusi anak yatim dalam menyerahkan harta kepada anak yatim tersebut,
yaitu telah terpenuhi dua syarat pada anak yatim. Dua sifat itu adalah
baligh dan rusyd. Jika walinya masih ragu, apakah syarat rusyd telah
terpenuhi atau belum, maka Allah Azza wa Jalla memerintahkan untuk
menguji kemampuan anak tersebut dalam menjaga dan membelanjakan harta.
Jika anak tersebut ternyata telah mempunyai kemampuan yang baik, maka
harta anak yatim yang ada dalam kekuasaan wali bisa diserahkan kepada si
yatim. Namun jika belum, maka hartanya tetap ditahan (tetap berada di
tangan wali, red) guna menghindarkannya dari penyia-nyiaan terhadap
harta.
Dari sini dapat diketahui bahwa baligh, berakal dan mempunyai sifat
rusyd merupakan syarat sah melakukan semua bentuk muamalah (jual beli,
sewa menyewa dan semisalnya). Orang yang tidak memenuhi persyaratan ini
maka semua muamalah yang dia lakukan tidak sah dan hendaklah dilarang
dari melakukan muamalat.
Adapun masalah tabarru' (menyumbangkan harta) yaitu memberikan harta
dengan tanpa imbalan, bisa berupa hibah, sedekah, wakaf, membebaskan
budak, dan semisalnya, maka selain persyaratan baligh, berakal, dan
rusyd, orang yang bertabarru' haruslah orang yang memiliki harta
tersebut. Sehingga akadnya menjadi sah. Karena orang yang sekedar
menjadi wakil dari pemilik harta, atau orang yang sekedar diberi wasiat,
saksi wakaf, ataupun wali anak yatim dan wali orang gila, jika ia yang
melakukan tabarru' dengan harta orang yang menjadi tanggungannya itu,
akadnya tidak sah. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfa`at. [al-An'âm/6: 152]
Yaitu, dengan cara yang baik untuk harta mereka, lebih menjaga dan lebih bermanfaat untuk harta mereka tersebut. Wallahu a'lam.
(Sumber : Al-Qawâ'id wal-Ushûl al-Jûmi'ah wal-Furûq wat-Taqâsîm
al-Badî'ah an-Nâfi'ah, karya Syaikh 'Abdur-Rahmân as-Sa'di, Tahqîq: Dr.
Khâlid bin 'Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II,
Tahun 1422 H – 2001 M.)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XII/1429H/2008.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Penulis akan menerangkan maknanya di akhir pembahasan.
[2]. HR. Muslim dalam Kitâbul Hajj bab Shihhatu Hajjis Shabiyyi, no. 1336, dari Ibnu 'Abbâs Radhiyallahu anhu.
[3]. Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلاَ فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا
إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ
نَارٍ ....
Tidak ada seorang pemilik emas ataupun perak yang tidak ia tunaikan hak
yang wajib untuk ia bayarkan darinya (berupa zakat) kecuali pada hari
Kiamat nanti hartanya akan dijadikan lempengan-lempengan yang dipanaskan
dalam neraka untuk menyiksanya….[HR. Muslim dalam Kitâbuz Zakâh bab
Itsmi Mâni'iz Zakâh 2/680]
Thursday, January 2, 2014
Menghafal Quran Bukan Sekedar Kerja Mengingat
Menghafal Quran Bukan Sekedar Kerja Mengingat
Allah Ta'ala berfirman :
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu
dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Al Quran Al
Kariim Surah Yunus ayat 57)
Menghafal Quran bukanlah sekedar perkara mengingat. Tidak seperti kita
menghafal beragam pelajaran di sekolah ataupun di kampus.
Menghafal Quran adalah upaya meletakkan petunjuk dan pengingat di dada
kita, sehingga kapanpun, apapun dan dimanapun kita menemukan perkara
terkait hidup dan kehidupan, maka dengan mudah kita merujuk kepada
Quran sebagai panduan solusi sikap.
Dengan adanya Quran di dada, dan kewajiban untuk menjaganya agar tidak
hilang, maka penuhlah jadwal harian kita dengan interaksi erat dengan
Al Quran. Dengan demikian otomatis pula penuh pula hari kita dengan
jadwal mengingat Allah, mengingat tujuan akhir kehidupan di dunia.
Menghafal Quran bukan sekedar masalah memorizing. Menempatkannya bukan
sekedar di bilik otak, tapi di ruang dada. Agar hafalan yang kita
miliki dapat menjadi pengingat di kala gembira, penghibur di kala duka,
penerang di kala gelap gulita, pemandu jalan agar tak hilang arah,
penyembuh penyakit hati dan rahmat bagi diri serta orang di sekeliling
kita.
Semoga Allah mencintai kita karena kita mencintai Quran
Aamiin.
Allah Ta'ala berfirman :
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu
dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Al Quran Al
Kariim Surah Yunus ayat 57)
Menghafal Quran bukanlah sekedar perkara mengingat. Tidak seperti kita
menghafal beragam pelajaran di sekolah ataupun di kampus.
Menghafal Quran adalah upaya meletakkan petunjuk dan pengingat di dada
kita, sehingga kapanpun, apapun dan dimanapun kita menemukan perkara
terkait hidup dan kehidupan, maka dengan mudah kita merujuk kepada
Quran sebagai panduan solusi sikap.
Dengan adanya Quran di dada, dan kewajiban untuk menjaganya agar tidak
hilang, maka penuhlah jadwal harian kita dengan interaksi erat dengan
Al Quran. Dengan demikian otomatis pula penuh pula hari kita dengan
jadwal mengingat Allah, mengingat tujuan akhir kehidupan di dunia.
Menghafal Quran bukan sekedar masalah memorizing. Menempatkannya bukan
sekedar di bilik otak, tapi di ruang dada. Agar hafalan yang kita
miliki dapat menjadi pengingat di kala gembira, penghibur di kala duka,
penerang di kala gelap gulita, pemandu jalan agar tak hilang arah,
penyembuh penyakit hati dan rahmat bagi diri serta orang di sekeliling
kita.
Semoga Allah mencintai kita karena kita mencintai Quran
Aamiin.
Sedekah dari Yang Terdekat
Sedekah itu dari yg terdekat dulu. Itu pun harus bermanfaat misalnya
menyelamatkan fakir miskin dari kelaparan. Kalau buat Fitnah/Perang
membunuhi sesama Muslim di negara2 Islam, itu malah dosa dan masuk
neraka. Ini si penyumbang juga ikut dosa kalau begini: Jika terjadi
saling membunuh antara dua orang muslim maka yang membunuh dan yang
terbunuh keduanya masuk neraka. Para sahabat bertanya, “Itu untuk si
pembunuh, lalu bagaimana tentang yang terbunuh?” Nabi Saw menjawab,
“Yang terbunuh juga berusaha membunuh kawannya.” (HR. Bukhari)
Jadi kalau menyumbang juga kita harus hati2.
Berikanlah harta kepada keluarga yang terdekat (kerabat) terlebih dulu:
“…Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya…” [Al Baqarah:177]
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.”…[Al Baqarah:215]
Tidak pantas dia menyumbang jauh-jauh sementara keluarganya banyak yang miskin dan kekurangan tanpa dibantu.
Hadis riwayat Jabir ra., ia berkata:
Seorang dari Bani Udzrah ingin memerdekakan budaknya jika dia meninggal. Hal itu sampai kepada Rasulullah saw. lalu beliau bertanya: Apakah engkau mempunyai harta lain? Orang itu menjawab: Tidak. Rasulullah saw. bersabda: Siapakah yang mau membelinya dariku? Nu’aim bin Abdullah Al-Adawi membelinya dengan harga delapan ratus dirham. Lalu Rasulullah saw. membawa harga jual budak itu dan membayarkannya kepada orang tersebut. Kemudian bersabda: Mulailah untuk dirimu, bersedekahlah untuk dirimu. Jika masih tersisa, maka berinfaklah kepada keluargamu dan jika masih tersisa, maka berinfaklah kepada kerabatmu. Bila dari kerabatmu masih tersisa, maka begini dan begini. Ia (Jabir) menjelaskan: Tetangga depanmu, tetangga kananmu dan tetangga kirimu. (Shahih Muslim No.1663)
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Bersedekahlah.” Lalu seorang laki-laki berkata: Wahai Rasulullah, aku mempunyai satu dinar? Beliau bersabda: “Bersedekahlah pada dirimu sendiri.” Orang itu berkata: Aku mempunyai yang lain. Beliau bersabda: “Sedekahkan untuk anakmu.” Orang itu berkata: Aku masih mempunyai yang lain. Beliau bersabda: “Sedekahkan untuk istrimu.” Orang itu berkata: Aku masih punya yang lain. Beliau bersabda: “Sedekahkan untuk pembantumu.” Orang itu berkata lagi: Aku masih mempunyai yang lain. Beliau bersabda: “Kamu lebih mengetahui penggunaannya.” Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i
Terhadap orang yang berzakat kepada keluarganya Nabi saw bersabda, “Dia mendapatkan dua pahala, yaitu pahala menyambung kekerabatan dan pahala sedekah.” [HR Bukhari]
Jadi kalau menyumbang juga kita harus hati2.
Berikanlah harta kepada keluarga yang terdekat (kerabat) terlebih dulu:
“…Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya…” [Al Baqarah:177]
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.”…[Al Baqarah:215]
Tidak pantas dia menyumbang jauh-jauh sementara keluarganya banyak yang miskin dan kekurangan tanpa dibantu.
Hadis riwayat Jabir ra., ia berkata:
Seorang dari Bani Udzrah ingin memerdekakan budaknya jika dia meninggal. Hal itu sampai kepada Rasulullah saw. lalu beliau bertanya: Apakah engkau mempunyai harta lain? Orang itu menjawab: Tidak. Rasulullah saw. bersabda: Siapakah yang mau membelinya dariku? Nu’aim bin Abdullah Al-Adawi membelinya dengan harga delapan ratus dirham. Lalu Rasulullah saw. membawa harga jual budak itu dan membayarkannya kepada orang tersebut. Kemudian bersabda: Mulailah untuk dirimu, bersedekahlah untuk dirimu. Jika masih tersisa, maka berinfaklah kepada keluargamu dan jika masih tersisa, maka berinfaklah kepada kerabatmu. Bila dari kerabatmu masih tersisa, maka begini dan begini. Ia (Jabir) menjelaskan: Tetangga depanmu, tetangga kananmu dan tetangga kirimu. (Shahih Muslim No.1663)
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Bersedekahlah.” Lalu seorang laki-laki berkata: Wahai Rasulullah, aku mempunyai satu dinar? Beliau bersabda: “Bersedekahlah pada dirimu sendiri.” Orang itu berkata: Aku mempunyai yang lain. Beliau bersabda: “Sedekahkan untuk anakmu.” Orang itu berkata: Aku masih mempunyai yang lain. Beliau bersabda: “Sedekahkan untuk istrimu.” Orang itu berkata: Aku masih punya yang lain. Beliau bersabda: “Sedekahkan untuk pembantumu.” Orang itu berkata lagi: Aku masih mempunyai yang lain. Beliau bersabda: “Kamu lebih mengetahui penggunaannya.” Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i
Terhadap orang yang berzakat kepada keluarganya Nabi saw bersabda, “Dia mendapatkan dua pahala, yaitu pahala menyambung kekerabatan dan pahala sedekah.” [HR Bukhari]
Hanya Karena Alloh
Nasehat Syawal #12 : Cintailah karena Allah saja
Rasulullah saw bersabda :
"Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang bukan Nabi,
tetapi para Nabi dan Syuhada merasa cemburu terhadap mereka. Ditanyakan
: "Siapakah mereka? Semoga kami dapat mencintai mereka. Nabinya
menjawab : "Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena
cahaya Allah tanpa ada hubungan keluarga dan nasab di antara mereka.
Wajah-wajah mereka tidak takut di saat manusia takut dan mereka tidak
bersedih di saat manusia bersedih. Kemudian beliau Shallallahu
`alaihi wa Sallam membacakan ayat : "Ingatlah sesungguhnya
wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati (Al Quran Al Kariim Surah Yunus ayat 62).
(Shahih, Sunan Abi Dawud 3527 dan di Sunan Tirmidzi dari jalur
Ja'far bin Burqan).
Kekuatan cinta itu luar biasa.
Cinta membuat orang lemah menjadi kuat, membuat yang jauh terasa dekat.
Apatah lagi jika cinta itu karena Allah, maka tidak ada sekat ruang dan
waktu yang dapat memisahkan.
Begitulah seharusnya seorang mu'min, bahagia di hatinya saat
berkumpul dengan mu'min lainnya, tak peduli jika tak ada hubungan
nasab dan keluarga diantara mereka. Tak juga hirau walau tak ada
hubungan kewarganegaraan, suku dan ras, tak sama organisasi dan partai
karena penghubungnya jelas satu saja : kesamaan aqidah.
Jika cinta seperti ini hadir di tengah-tengah kita, maka mudahlah untuk
bersatu. Mudahlah untuk menghilangkan sifat egosentris dan fanatisme
buta golongan, karena jembatannya kokoh satu saja : kesamaan aqidah.
Jika cinta mencintai seperti ini sudah tumbuh di antara kita, hilanglah
syak wasangka buruk kepada sesama mu'min. Tumbuh pula kerelaan
membantu meringankan beban dan kesusahan saudara seiman. Matilah sifat
dengki, hasud, tamak dan bakhil. Punahlah karakter ghibah dan fitnah
dari masyarakat mu'min.
Jika cinta mencintai seperti ini berkembang di hati kita, maka subur
pulalah budaya nasehat menasehati dalam kebenaran, kesabaran dan kasih
sayang.
Jadi, marilah mulai belajar mencintai karena Allah.
Semoga Allah mencintai kita karenanya
Aamiin,
Allahu `Alam
Rasulullah saw bersabda :
"Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang bukan Nabi,
tetapi para Nabi dan Syuhada merasa cemburu terhadap mereka. Ditanyakan
: "Siapakah mereka? Semoga kami dapat mencintai mereka. Nabinya
menjawab : "Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena
cahaya Allah tanpa ada hubungan keluarga dan nasab di antara mereka.
Wajah-wajah mereka tidak takut di saat manusia takut dan mereka tidak
bersedih di saat manusia bersedih. Kemudian beliau Shallallahu
`alaihi wa Sallam membacakan ayat : "Ingatlah sesungguhnya
wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati (Al Quran Al Kariim Surah Yunus ayat 62).
(Shahih, Sunan Abi Dawud 3527 dan di Sunan Tirmidzi dari jalur
Ja'far bin Burqan).
Kekuatan cinta itu luar biasa.
Cinta membuat orang lemah menjadi kuat, membuat yang jauh terasa dekat.
Apatah lagi jika cinta itu karena Allah, maka tidak ada sekat ruang dan
waktu yang dapat memisahkan.
Begitulah seharusnya seorang mu'min, bahagia di hatinya saat
berkumpul dengan mu'min lainnya, tak peduli jika tak ada hubungan
nasab dan keluarga diantara mereka. Tak juga hirau walau tak ada
hubungan kewarganegaraan, suku dan ras, tak sama organisasi dan partai
karena penghubungnya jelas satu saja : kesamaan aqidah.
Jika cinta seperti ini hadir di tengah-tengah kita, maka mudahlah untuk
bersatu. Mudahlah untuk menghilangkan sifat egosentris dan fanatisme
buta golongan, karena jembatannya kokoh satu saja : kesamaan aqidah.
Jika cinta mencintai seperti ini sudah tumbuh di antara kita, hilanglah
syak wasangka buruk kepada sesama mu'min. Tumbuh pula kerelaan
membantu meringankan beban dan kesusahan saudara seiman. Matilah sifat
dengki, hasud, tamak dan bakhil. Punahlah karakter ghibah dan fitnah
dari masyarakat mu'min.
Jika cinta mencintai seperti ini berkembang di hati kita, maka subur
pulalah budaya nasehat menasehati dalam kebenaran, kesabaran dan kasih
sayang.
Jadi, marilah mulai belajar mencintai karena Allah.
Semoga Allah mencintai kita karenanya
Aamiin,
Allahu `Alam