Friday, July 5, 2013

10 Pintu Setan dalam Menyesatkan Manusia

Pintu pertama:

Ini adalah pintu terbesar yang akan dimasuki setan yaitu hasad (dengki) dan tamak. Jika seseorang begitu tamak pada sesuatu, ketamakan tersebut akan membutakan, membuat tuli dan menggelapkan cahaya kebenaran, sehingga orang seperti ini tidak lagi mengenal jalan masuknya setan. Begitu pula jika seseorang memiliki sifat hasad, setan akan menghias-hiasi sesuatu seolah-olah menjadi baik sehingga disukai oleh syahwat padahal hal tersebut adalah sesuatu yang mungkar.

Pintu kedua:

Ini juga adalah pintu terbesar yaitu marah. Ketahuilah, marah dapat merusak akal. Jika akal lemah, pada saat ini tentara setan akan melakukan serangan dan mereka akan menertawakan manusia. Jika kondisi kita seperti ini, minta perlindunganlah pada Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا غضب الرجل فقال : أعوذ بالله سكن غضبه

“Jika seseorang marah, lalu dia mengatakan: a’udzu billah (aku berlindung pada Allah), maka akan redamlah marahnya.” (As Silsilah Ash Shohihah no. 1376. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Pintu ketiga:

Yaitu sangat suka menghias-hiasi tempat tinggal, pakaian dan segala perabot yang ada. Orang seperti ini sungguh akan sangat merugi karena umurnya hanya dihabiskan untuk tujuan ini.

Pintu keempat:

Yaitu kenyang karena telah menyantap banyak makanan. Keadaan seperti ini akan menguatkan syahwat dan melemahkan untuk melakukan ketaatan pada Allah. Kerugian lainnya akan dia dapatkan di akhirat sebagaimana dalam hadits:
فَإِنَّ أَكْثَرَهُمْ شِبَعًا فِى الدُّنْيَا أَطْوَلُهُمْ جُوعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Sesungguhnya orang yang lebih sering kenyang di dunia, dialah yang akan sering lapar di hari kiamat nanti.” (HR. Tirmidzi. Dalam As Silsilah Ash Shohihah, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Pintu kelima:

Yaitu tamak pada orang lain. Jika seseorang memiliki sifat seperti ini, maka dia akan berlebih-lebihan memuji orang tersebut padahal orang itu tidak memiliki sifat seperti yang ada pada pujiannya. Akhirnya, dia akan mencari muka di hadapannya, tidak mau memerintahkan orang yang disanjung tadi pada kebajikan dan tidak mau melarangnya dari kemungkaran.

Pinta keenam:

Yaitu sifat selalu tergesa-gesa dan tidak mau bersabar untuk perlahan-lahan. Padahal terdapat sebuah hadits dari Anas, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
التَّأَنيِّ مِنَ اللهِ وَ العُجْلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ

“Sifat perlahan-lahan (sabar) berasal dari Allah. Sedangkan sifat ingin tergesa-gesa itu berasal dari setan.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Baihaqi dalam Sunanul Qubro. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shoghir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Pintu ketujuh:

Yaitu cinta harta. Sifat seperti ini akan membuat berusaha mencari harta bagaimana pun caranya. Sifat ini akan membuat seseorang menjadi bakhil (kikir), takut miskin dan tidak mau melakukan kewajiban yang berkaitan dengan harta.

Pintu kedelapan:

Yaitu mengajak orang awam supaya ta’ashub (fanatik) pada madzhab atau golongan tertentu, tidak mau beramal selain dari yang diajarkan dalam madzhab atau golongannya.

Pintu kesembilan:

Yaitu mengajak orang awam untuk memikirkan hakekat (kaifiyah) dzat dan sifat Allah yang sulit digapai oleh akal mereka sehingga membuat mereka menjadi ragu dalam masalah paling urgen dalam agama ini yaitu masalah aqidah.

Pintu kesepuluh:

Yaitu selalu berburuk sangka terhadap muslim lainnya. Jika seseorang selalu berburuk sangka (bersu’uzhon) pada muslim lainnya, pasti dia akan selalu merendahkannya dan selalu merasa lebih baik darinya. Seharusnya seorang mukmin selalu mencari udzur dari saudaranya. Berbeda dengan orang munafik yang selalu mencari-cari ‘aib orang lain.

Semoga kita dapat mengetahui pintu-pintu ini dan semoga kita diberi taufik oleh Allah untuk menjauhinya.

Rujukan: Mukhtashor Minhajul Qoshidin, Ibnu Qudamah Al Maqdisiy

***

Pangukan, Sleman, 18 Muharram 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Makna Lâ Ilâha Illallâh


Karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb

Syaikh ditanya tentang makna Lâ Ilâha Illallâh.

Maka, beliau menjawab,

Ketahuilah, -semoga Allah merahmatimu-, bahwa kalimat (Lâ Ilâha Illallâh) ini adalah pembeda antara kekufuran dan keislaman. Itu adalah kalimat takwa, itu adalah Al-‘Urwah Al-Wutsqâ ‘tali yang amat kuat’, dan itu adalah kalimat yang Ibrahim jadikan sebagai,

“Kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali (kepada kalimat tauhid itu).” [Az-Zukhruf: 28]

(Kalimat Lâ Ilâha Illallâh) bukanlah dimaksudkan untuk diucapkan secara lisan saja, walaupun jahil terhadap maknanya. (Hal ini) karena kaum munafikin juga mengucapkan (kalimat) tersebut, padahal (kedudukan) mereka lebih rendah daripada kaum kuffar, (yaitu) di lapisan terbawah dari api neraka, meski mereka mengerjakan shalat dan puasa serta bersedekah.

Akan tetapi, maksud (kalimat Lâ Ilâha Illallâh) adalah mengetahuinya dengan hati, mencintainya dan mencintai orang-orang yang mengucapkannya, serta membenci siapa saja yang menyelisihi dan memusuhinya sebagaimana sabda (Rasulullah),

“Barangsiapa yang mengucapkan Lâ Ilâha Illallâh dalam keadaan ikhlas.” dalam sebuah riwayat (disebutkan),

“… Jujur dari hatinya ….”

juga dalam sebuah lafazh (disebutkan),

“Barangsiapa yang mengucapkan Lâ Ilâha Illallâh dan kafir terhadap segala sesuatu yang diibadahi selain Allah.”
serta dalil-dalil lain yang menunjukkan kejahilan banyak manusia terhadap syahadat ini.

Ketahuilah bahwa kalimat (Lâ Ilâha Illallâh) ini mengandung penafian dan penetapan. (Penafian yang dimaksud) adalah penafian ulûhiyyah (penyembahan/ peribadahan) segala sesuatu selain Allah Tabâraka Wa Ta’âlâ dari seluruh makhluk, bahkan (penafian ulûhiyyah) dari Muhammad dan para malaikat, hingga Jibril, apalagi wali-wali dan orang-orang shalih yang lain.

Apabila engkau telah memahami hal tersebut, renungilah makna ulûhiyyah yang Allah tetapkan untuk diri-Nya. (Renungi) jugalah hal yang Allah nafikan dari Muhammad dan Jibril, apalagi dari selain keduanya berupa wali-wali dan orang-orang shalih, bahwa mereka tidak memiliki (uluhiyyah) seberat biji sawi pun.

Apabila engkau telah mengerti hal ini, ketahuilah bahwa ulûhiyyah inilah yang disebut oleh orang-orang umum pada masa kita dengan nama As-Sirr ‘rahasia’ dan Al-Walâyah ‘kewalian’. Jadi, (menurut mereka), Ilâh ‘yang diibadahi’ adalah wali yang memiliki sirr ‘rahasia’. Itulah yang mereka namakan dengan Al-Faqîr dan Asy-Syaikh, sedang orang awam menamakannya dengan As-Sayyid dan semisalnya.

Hal tersebut karena mereka menyangka bahwa Allah telah memberikan kedudukan (khusus) di sisi-Nya untuk kalangan khusus di antara makhluk, yakni bahwa Allah ridha bila seorang manusia berlindung kepada mereka, mengharap dan memohon pertolongan kepada mereka, serta menjadikan mereka sebagai perantara antara dia dan Allah.

Jadi, demikianlah sangkaan para pelaku kesyirikan pada zaman kita bahwa mereka itulah perantara-perantara mereka, yang dinamakan oleh orang-orang musyrik terdahulu dengan nama Ilâh, dan perantara itu adalah Ilâh.

Oleh karena itu, ucapan “Lâ Ilâha Illallâh” seseorang adalah pembatilan terhadap seluruh bentuk perantara. Apabila engkau ingin mengetahui hal ini secara sempurna, hal tersebut adalah dengan dua perkara:

PERTAMA, engkau mengetahui bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh Nabi, yang dibunuhi, hartanya dirampas, darahnya dihalalkan, dan kaum perempuannya ditawan adalah orang-orang yang menetapkan tauhid rubûbiyyah bagi Allah, (yaitu) bahwa tiada yang mencipta, kecuali Allah, tiada yang memberi rezeki, menghidupkan, mematikan, juga tiada yang mengatur segala perkara, kecuali Allah, sebagaimana firman (Allah) Ta’âlâ,

“Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang berkuasa untuk (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, serta siapakah yang mengatur segala urusan?’ Niscaya mereka akan menjawab, ‘Allah,’ maka katakanlah, ‘Mengapa kalian tidak bertakwa (kepada-Nya)?’.” [Yûnus: 31]

Ini adalah masalah yang sangat besar lagi sangat penting, yaitu engkau mengetahui bahwa orang-orang kafir mempersaksikan dan menetapkan seluruh hal ini. Namun, bersamaan dengan itu, (persaksian tersebut) tidak memasukkan mereka ke dalam Islam serta tidak mengharamkan darah dan harta mereka, padahal mereka juga bersedekah, berhaji, berumrah, beribadah, dan meninggalkan sejumlah hal yang diharamkan karena takut kepada Allah.

Akan tetapi, perkara KEDUA itulah yang mengafirkan mereka serta menghalalkan darah dan harta mereka, (yaitu) mereka tidak mempersaksikan tauhid ulûhiyyah untuk Allah. (Tauhid ulûhiyyah) adalah bahwa tiada yang doa ditujukan (kepadanya) kecuali Allah, tidak mengharap, kecuali kepada Allah saja, tiada serikat bagi-Nya, tidak bermohon dan meminta pertolongan kepada selain-Nya, tidak menyembelih untuk selain-Nya, serta tidak bernadzar untuk selain Allah, tidak kepada malaikat yang didekatkan tidak pula kepada nabi yang diutus.

Jadi, barangsiapa yang memohon pertolongan kepada selain Allah, sungguh dia telah kafir. Barang siapa yang menyembelih untuk selain Allah, sungguh dia telah kafir. (Juga) makna-makna yang semisal dengan ini.

Kesempurnaan (pemahaman) ini adalah engkau mengetahui bahwa kaum musyrikin, yang Rasulullah perangi, selalu beribadah kepada orang-orang shalih, seperti para malaikat, (Nabi) Isa, ibu beliau (yakni Maryam), ‘Uzair, dan para wali yang lain. Mereka dianggap telah kafir lantaran hal ini, padahal mereka menetapkan bahwa Allah Subhânahu Yang Maha Mencipta, Maha Memberi rezeki, dan Maha Mengatur segala perkara.

Apabila telah mengerti hal ini, engkau telah mengerti makna Lâ Ilâha Illalâh, juga telah mengerti bahwa siapapun yang meminta pertolongan kepada nabi atau malaikat, memanggil atau meminta perlindungan kepadanya, sungguh dia telah keluar dari Islam. Itulah kekafiran yang Rasulullah perangi.

APABILA SEORANG MUSYRIKIN BERKATA, “Kami mengetahui bahwa Allah-lah Yang Maha Mencipta, Maha Memberi Rezeki dan Maha Mengatur Segala Urusan. Namun, orang-orang shalih itu adalah orang-orang yang didekatkan (kepada Allah) maka kami berdoa kepada mereka, bernadzar untuk mereka, masuk kepada mereka, dan meminta perlindungan kepada mereka. Yang kami inginkan dengan hal tersebut adalah kedudukan dan syafa’at, sedang kami memahami bahwa Allah-lah Yang Maha Mengatur Segala Urusan,”

JAWABLAH KEPADANYA, Bahwa ucapan engkau adalah agama Abu Jahal dan semisalnya. Merekalah yang berdoa kepada Isa, Uzair, para malaikat, dan wali-wali seraya berkata,

“Tidaklah kami menyembah mereka, kecuali supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” [Az-Zumar: 3]

Allah berfirman (tentang mereka),

“Dan mereka menyembah sesuatu, selain Allah, yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka tidak pula kemanfaatan, dan mereka berkata, ‘Mereka adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.’.” [Yûnus: 18]

Apabila merenungi hal ini dengan baik, engkau pasti mengetahui bahwa orang-orang kafir juga mempersaksikan tauhid rubûbiyyah Allah, yaitu mengesakan Allah dalam penciptaan, pemberian rezeki, dan pengaturan. Jadi, mereka meminta pertolongan kepada (Nabi) Isa, para malaikat, dan wali-wali dengan maksud mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya dan agar mereka diberi syafa’at di sisi Allah. Engkau (juga) pasti mengetahui bahwa, di antara orang-orang kafir -khususnya orang-orang Nashara-, ada yang menyembah malam dan siang serta zuhud dalam keduniaan, bersedekah dari penghasilan dunia mereka dalam keadaan menyepi di tempat ibadah mereka. Akan tetapi, bersamaan dengan itu, dia kafir, menjadi musuh Allah yang akan dikekalkan dalam neraka karena keyakinannya tentang Isa dan para wali lain, bahwa dia berdoa kepada (wali) tersebut, menyembelih untuk (wali) tersebut, atau bernadzar bagi (wali) tersebut. Oleh karena itu, jelaslah bagimu bahwa
banyak manusia yang jauh dari (tuntunan Islam yang benar), juga jelaslah makna sabda Rasulullah,

“Islam dimulai dalam keadaan asing, dan akan kembali asing sebagaimana permulaannya ….”

Ingatlah kepada Allah, wahai saudara-saudaraku. Berpeganglah kalian kepada pokok agama kalian: Awal dan akhirnya serta pondasi dan dasarnya, yaitu syahadat Lâ Ilâha Illalâh. Ketahuilah maknanya, cintailah pengikutnya dan jadikanlah mereka saudara-saudara kalian, walaupun mereka jauh. Ingkarilah thaghut, musuhilah mereka, dan bencilah siapa saja yang mencintai mereka, yang mendebat (membela) mereka, yang tidak mengingkari mereka, yang berkata, “Saya tidak ada urusan dengan mereka,” atau yang berkata, “Allah tidak membebani saya untuk (membenci) mereka.” Sungguh orang ini telah berdusta dan mengada-ada atas nama Allah. Bahkan, Allah membebani dia untuk (membenci) mereka dan mewajibkan dia untuk mengingkari mereka serta berlepas diri dari mereka, walaupun mereka adalah saudara-saudaranya dan anak-anaknya.

Ingatlah kepada Allah, berpeganglah kepada pokok agama kalian agar kalian menghadap kepada Rabb kalian dengan tidak berbuat kesyirikan kepada- Nya sedikitpun.

Ya Allah, wafatkanlah kami sebagai orang-orang yang berislam dan ikutkanlah kami kepada kaum yang shalih.

Kami menutup perkataan dengan menyebutkan suatu ayat yang Allah firmankan dalam Kitab-Nya yang menjelaskan bahwa kekafiran kaum musyrikin, dari penduduk zaman kita, lebih besar daripada kekafiran orang-orang yang Rasulullah perangi.

Allah Ta’âla berfirman,

“Dan apabila kalian ditimpa oleh bahaya di lautan, niscaya hilanglah (sembahan) apapun yang kalian seru, kecuali Dia.” [Al-Isrâ`: 67]

Allah Ta’âla telah menyebutkan dari orang-orang kafir bahwa, apabila ditimpa oleh bahaya, mereka meninggalkan sayyid-sayyid dan syaikh-syaikh mereka. Mereka tidak berdoa tidak pula memohon kepada (sayyid dan syaikh) tersebut, tetapi mereka justru ikhlas kepada Allah semata, tiada serikat bagi-Nya, mereka memohon perlindungan kepada-Nya, dan menauhidkan-Nya. Akan tetapi, bila kelapangan datang, mereka (kembali) berbuat kesyirikan. Sementara itu, engkau melihat bahwa kaum musyrikin pada masa kita -barangkali sebagian mereka mengaku berilmu serta memiliki zuhud, kesungguhan, dan ibadah- apabila ditimpa oleh bahaya, memohon pertolongan kepada selain Allah, seperti Ma’rûf dan Abdul Qâdir Al-Jailâny, dan (kadang) kepada yang lebih mulia daripada mereka, seperti Zaid bin Al-Khattâb dan Az-Zubair, serta (kadang) kepada yang lebih mulia daripada itu, seperti Rasulullah. Wallâhu Al- Musta’ân!

Teman IBLIS

Oleh *Syahruddin El-Fikri*

Dalam riwayat Imam Bukhari, diceritakan, suatu saat ketika sedang duduk,
Rasulullah saw didatangi seseorang. Rasul bertanya kepadanya: “Siapa Anda?”
Ia pun menjawab: “Saya Iblis.”

Rasul bertanya lagi, apa maksud kedatangannya. Iblis menceritakan
kedatangannya atas izin Allah untuk menjawab semua pertanyaan dari
Rasulullah saw.

Kesempatan itu pun digunakan Rasulullah saw untuk menanyakan beberapa hal.
Salah satunya mengenai teman-teman Iblis dari umat Muhammad saw yang akan
menemaninya di neraka nanti? Iblis menjawab, temannya di neraka nanti ada
10 kelompok.

Yang pertama, kata Iblis, haakimun zaa`ir (hakim yang curang). Maksudnya
adalah seorang hakim yang berlaku tidak adil dalam menetapkan hukum. Ia
menetapkan tidak semestinya.

Tak hanya hakim, dalam hal ini bisa juga para penegak hukum secara umum,
seperti polisi, jaksa, pengacara, dan juga setiap individu, karena mereka
menjadi hakim dalam keluarganya.

Yang kedua, kata Iblis, *ghaniyyun mutakabbir* (orang kaya yang sombong).
Ia begitu bangga dengan kekayaan dan enggan mendermakan untuk masyarakat
yang membutuhkan.

Dia menganggap, semua yang diperolehnya merupakan usahanya sendiri tanpa
bantuan orang lain. Contohnya seperti Qarun.

Ketiga, *taajirun kha’in* (pedagang yang berkhianat). Ia melakukan
penipuan, baik dalam hal kualitas barang yang diperdagangkan, maupun
mengurangi timbangan.

Bila membeli sesuatu, dia selalu meminta ditambah, namun saat menjualnya
dia melakukan kecurangan dengan menguranginya.

Disamping itu, ia menimbun barang. Membeli di saat murah, dan menjualnya di
saat harga melambung tinggi. Dengan begitu, dia memperoleh untung besar.

Demikian juga pada pengerjaan proyek tertentu, ia membeli barang dengan
kualitas rendah untuk meraih keuntungan berlipat (*mark up*).

Kelompok keempat yang menjadi teman Iblis adalah *syaaribu al-khamr*(orang
yang meminum khamar). Minuman apapun yang memabukkan, ia termasuk khamar.
Misalnya arak, *wine, wisky,* atau minuman yang sejenisnya.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, peminum khamar (pemabuk) dikatakan tidak
beriman, jika dia meninggal nanti masih terdapat khamar dalam tubuhnya.

Yang kelima, *al-fattaan* (tukang fitnah). Fitnah lebih berbahaya dari pada
pembunuhan (*al-fitnatu asyaddu min al-qatl*). Lihat QS al-Baqarah [2]: 191.

Membunuh adalah menghilangkan nyawa lebih cepat, namun fitnah ‘membunuh’
seseorang secara pelan-pelan. Fitnah ini bisa pula ‘pembunuhan’ karakter
seseorang.

Fitnah itu di antaranya, mengungkap aib seseorang yang kebenarannya tidak
bisa dipertanggungjawabkan, gosip, ghibah, dan lainnya.

Keenam adalah *shaahibu ar-riya*` (orang yang suka memamerkan diri). Mereka
selalu ingin menunjukkan kehebatan dirinya, menunjukkan amalnya,
kekayaannya, dan lainnya. Semuanya itu demi mendapatkan pujian.

Ketujuh, //aakilu maal al-yatiim// (orang yang memakan harta anak yatim).
Mereka memanfaatkan harta anak yatim atau sumbangan untuk anak yatim demi
kepentingan pribadi atau kelompoknya. Lihat QS al-Ma`un [107]: 1-7.

Kedelapan, *al-mutahaawinu bi al-shalah* (orang yang meringankan shalat).
Mereka memahami perintah shalat adalah kewajiban, namun dengan berbagai
alasan, akhirnya shalat pun ditinggalkan. Allah juga mengancam Muslim yang
melalaikan shalat.

Kesembilan, *maani’u az-zakaah* (orang yang enggan membayar zakat). Mereka
merasa berat untuk mengeluarkan zakat, walaupun tujuan zakat untuk
membersihkan diri dan hartanya.

Teman Iblis yang ke-10 adalah *man yuthiilu al-amal* (panjang angan-angan).
Enggan berbuat, namun selalu menginginkan sesuatu. Dia hanya bisa
berandai-andai, tapi tak pernah melakukan hal itu. *Wallahu a’lam.*

Sekelompok Kecil Mu’min dalam Timbangan Neraca Allah

Sesungguhnya
kelompok Muslim  yang menjadi pengikut Nabi Nuh alaihissalam disebutkan
dalam beberapa riwayat , jumlah mereka hanyalah ada dua belas orang.
Mereka adalah hasil dakwah Nabi Nuh alaihis salam selama seribu tahun
kurang lima puluh tahun, seperti yang dinyatakan oleh satu-satunya
referensi yang bisa dipercaya tentang masalah ini yaitu : Al Qur’an.

Sesungguhnya kelompok Muslilm ini, yang merupakan buah umur yang panjang
dan jerih payah yang lama itu, berhak menjadi alasan Allah untuk mengubah
fenomena alam semesta yang biasa dikenal! Ia juga berhak menjadi alasanNya
menjadikan kelompok Muslim ini satu-satunya pewaris bumi ! Walau hanya 12
Orang ! benih kemakmuran, serta pemimpin yang baru di sana.

Ini adalah perihal yang penting !

Sesungguhnya para pionir kebangkitan Islam  yang tengah menghadapi
jahiliyah universal diseluruh muka bumi, yang sedang merasakan keterasingan
dan kesendirian ditengah-tengah jahiliyah ini, rasa sakit, pengusiran
penyiksaan dan pemusnahan..maka mereka harus wajib berhenti untuk
memfokuskan diri untuk memahami peristiwa  yang urgen ini

Sesungguhnya adanya benih muslim (walau sedikit) di bumi ini adalah sesuatu
yang begitu berarti di neraca Allah, sesuatu yang menjadikan Allah *Subhanahu
waTa’ala* layak untuk menghancurkan jahiliyah, negerinya, kemakmurannya,
akar-akarnya, kekuatan-kekuatannya, dan simpanan-simpanannya ; sebagaimana
ia juga menjadikanNya layak untuk memelihara benih ini dan merawatnya agar
ia tetap sehat , berkembang mewarisi bumi dan memakmurkannya kembali.

Nabi Nuh *‘alaihi ssalam  *telah membuat bahtera di bawah pengawasan Allah
dan wahyuNya seperti yang difirmankan Allah Subhanahu wata’ala

*“ Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan
janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zallilm itu;
sesungguhnya mereka akan ditenggelamkan *“* (QS Hud ;37)*

Ketika itu Nuh *‘alaihissalam *mengadu kepada Tuhan-Nya memberitahukan
bahwa dirinya adalah “orang yang dikalahkan” dan ketika menyeru Tuhan-Nya
“Menangkanlah aku sebab Rasul-Nya telah dikalahkan”.

Ketika itulah Allah melepaskan kekuatan-kekuatan tentara alam yang maha
dasyat agar ia membantu hambaNya yang kalah itu

……

*“Maka kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang
tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air maka
berkumpulah air-air itu untuk  satu urusan yang sungguh telah
ditetapkan…”**(QS AL Qamar :11-12)
*

Tatkala kekuatan tentara alam yang maha dahsyat itu memainkan peranannya di
seluruh semesta dengan peran yang menyeramkan dan mengerikan itu, Allah
Subhanahu wa ta’ala denagn dzatNya yang Mahatinggi bersama  hambaNya  yang
dikalahkan itu.

*“ Dan Kami angkat Nuh ‘alaihissalam ke ats (bahtera) yang terbuat dari
papan dan paku, yang berlayar dengan pemeliharaan Kami…sebagai balasan bagi
orang-orang yang diingkari(Nuh)* ..*: QS Al qamar 13-14*

Inilah gambaran menyeramkan yang  para pionir kebangkitan Islam di seluruh
tempat  dan semua masa wajib memahami kejadian ini kala ia dimusuhi oleh
jahiliyah dan ketika ia dikalahkan oleh jahiliyah !

Sungguh tidak sepatutnya bagi orang mukmin yang menghadapi jahiliyah
berprasangka bahwa Allah akan membiarkannya menjadi mangsa jahiliyah
sehingga ia berprasangka  bahwa  Allah akan membiarkannya menjadi  mangsa
jahiliyah padahal dirinya menyerukan pentauhidan Allah *Subhanahu
waTa’ala *dengan
ketuhannanNya. Sebagaimana ia juga tidak patut untuk membandingkan kekuatan
pribadinya dengan kekuatan-kekuatan jahiliyah sehingga ia berprasangka
bahwa Allah akan membiarkannya menjadi mangsa padahal ia adalah hambaNya
yang meminta pertolongan kepadaNya ketika ia kalah.

Kekuatan itu pada hakikatnya tidaklah berimbang ; jahiliyah memiliki
seluruh kekuatan, tetapi orang yang menyeru kepada Allah bersandar kepada
kekuatan Allah, dan Allah Mahakuasa untuk menundukkan sebagian kekuatan
alam untuk hambaNya, kapan dan bagaimanapun ia menghendaki. Kekuatan
palling remeh pun dari kekuatan-kekuatan ini bisa menghancurkan jahiliyah
dari arah yang tidak disangka-sangka.

Fase ujian adakalanya berlangsung lama karena suatu hal yang dikehendaki
Allah . Nuh *‘alaihissalam* telah tinggal dikaumnya selama seribu tahun
kurang lima puluh tahun, sebelum tiba ketetapan yang telah ditakdirkan
Allah, bahkan hasil yang panjang ini pun hanyalah tersisa duabelas orang
Islam, tetapi sekelompok kecil manusia ini di neraca Allah sama dengan
penaklukan kekuatan-kekuatan maha dasyat itu, pembinaan seluruh manusia
yang   sesat  dan pewarisan bumi kepada sekelompok manusia yang baik itu ,
yang akan memakmurkan bumi untuk kedua kalinya dan yang akan menjadi
khalifah disana!

Orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah Subhanahu wata’ala tidak punya
kewajiban apapun selain menunaikan kewajiban mereka secara sempurna dengan
mencurahkan segenap kemampuan yang dimilikinya, lalu menyerahkan seluruh
urusan kepada Allah dengan penuh ketenangan dan percaya diri. Dan ketika
dikalahkan mereka harus mengadu kepada Pelindung Yang Maha Menolong dan
meminta pertolongan kepadaNya seperti hamba-Nya yang saleh, Nuh *‘alaihissalam
– *
*Sayyid Qutb

Bukti Tuhan itu ADA

Assalamu'alaikum wr wb,

Bukti Tuhan itu Ada
Mohon sebarkan ke yang lain..
Beriman bahwa Tuhan itu ada adalah iman yang paling utama. Jika seseorang sudah tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, maka sesungguhnya orang itu dalam kesesatan yang nyata.

Benarkah Tuhan itu ada? Kita tidak pernah melihat Tuhan. Kita juga tidak pernah bercakap-cakap dengan Tuhan. Karena itu, tidak heran jika orang-orang atheist menganggap Tuhan itu tidak ada. Cuma khayalan orang belaka.

Ada kisah zaman dulu tentang orang atheist yang tidak percaya dengan Tuhan. Dia mengajak berdebat seorang alim mengenai ada atau tidak adanya Tuhan. Di antara pertanyaannya adalah: “Benarkah Tuhan itu ada” dan “Jika ada, di manakah Tuhan itu?”

Ketika orang atheist itu menunggu bersama para penduduk di kampung tersebut, orang alim itu belum juga datang. Ketika orang atheist dan para penduduk berpikir bahwa orang alim itu tidak akan datang, barulah muncul orang alim tersebut.

“Maaf jika kalian menunggu lama. Karena hujan turun deras, maka sungai menjadi banjir, sehingga jembatannya hanyut dan saya tak bisa menyeberang. Alhamdulillah tiba-tiba ada sebatang pohon yang tumbang. Kemudian, pohon tersebut terpotong-potong ranting dan dahannya dengan sendirinya, sehingga jadi satu batang yang lurus, hingga akhirnya menjadi perahu. Setelah itu, baru saya bisa menyeberangi sungai dengan perahu tersebut.” Begitu orang alim itu berkata.

Si Atheist dan juga para penduduk kampung tertawa terbahak-bahak. Dia berkata kepada orang banyak, “Orang alim ini sudah gila rupanya. Masak pohon bisa jadi perahu dengan sendirinya. Mana bisa perahu jadi dengan sendirinya tanpa ada yang membuatnya!” Orang banyak pun tertawa riuh.

Setelah tawa agak reda, orang alim pun berkata, “Jika kalian percaya bahwa perahu tak mungkin ada tanpa ada pembuatnya, kenapa kalian percaya bahwa bumi, langit, dan seisinya bisa ada tanpa penciptanya? Mana yang lebih sulit, membuat perahu, atau menciptakan bumi, langit, dan seisinya ini?”

Mendengar perkataan orang alim tersebut, akhirnya mereka sadar bahwa mereka telah terjebak oleh pernyataan mereka sendiri.

“Kalau begitu, jawab pertanyaanku yang kedua,” kata si Atheist. “Jika Tuhan itu ada, mengapa dia tidak kelihatan. Di mana Tuhan itu berada?” Orang atheist itu berpendapat, karena dia tidak pernah melihat Tuhan, maka Tuhan itu tidak ada.

Orang alim itu kemudian menampar pipi si atheist dengan keras, sehingga si atheist merasa kesakitan.

“Kenapa anda memukul saya? Sakit sekali.” Begitu si Atheist mengaduh.

Si Alim bertanya, “Ah mana ada sakit. Saya tidak melihat sakit. Di mana sakitnya?”

“Ini sakitnya di sini,” si Atheist menunjuk-nunjuk pipinya.

“Tidak, saya tidak melihat sakit. Apakah para hadirin melihat sakitnya?” Si Alim bertanya ke orang banyak.

Orang banyak berkata, “Tidak!”

“Nah, meski kita tidak bisa melihat sakit, bukan berarti sakit itu tidak ada. Begitu juga Tuhan. Karena kita tidak bisa melihat Tuhan, bukan berarti Tuhan itu tidak ada. Tuhan ada. Meski kita tidak bisa melihatNya, tapi kita bisa merasakan ciptaannya.” Demikian si Alim berkata.

Sederhana memang pembuktian orang alim tersebut. Tapi pernyataan bahwa Tuhan itu tidak ada hanya karena panca indera manusia tidak bisa mengetahui keberadaan Tuhan adalah pernyataan yang keliru.

Berapa banyak benda yang tidak bisa dilihat atau didengar manusia, tapi pada kenyataannya benda itu ada?

Betapa banyak benda langit yang jaraknya milyaran, bahkan mungkin trilyunan cahaya yang tidak pernah dilihat manusia, tapi benda itu sebenarnya ada?

Berapa banyak zakat berukuran molekul, bahkan nukleus (rambut dibelah 1 juta), sehingga manusia tak bisa melihatnya, ternyata benda itu ada? (manusia baru bisa melihatnya jika meletakan benda tersebut ke bawah mikroskop yang amat kuat).

Berapa banyak gelombang (entah radio, elektromagnetik. Listrik, dan lain-lain) yang tak bisa dilihat, tapi ternyata hal itu ada.

Benda itu ada, tapi panca indera manusia lah yang terbatas, sehingga tidak mengetahui keberadaannya.

Kemampuan manusia untuk melihat warna hanya terbatas pada beberapa frekuensi tertentu, demikian pula suara. Terkadang sinar yang amat menyilaukan bukan saja tak dapat dilihat, tapi dapat membutakan manusia. Demikian pula suara dengan frekuensi dan kekerasan tertentu selain ada yang tak bisa didengar juga ada yang mampu menghancurkan pendengaran manusia. Jika untuk mengetahui keberadaan ciptaan Allah saja manusia sudah mengalami kesulitan, apalagi untuk mengetahui keberadaan Sang Maha Pencipta!

Memang sulit membuktikan bahwa Tuhan itu ada. Tapi jika kita melihat pesawat terbang, mobil, TV, dan lain-lain, sangat tidak masuk akal jika kita berkata semua itu terjadi dengan sendirinya. Pasti ada pembuatnya.

Jika benda-benda yang sederhana seperti korek api saja ada pembuatnya, apalagi dunia yang jauh lebih kompleks.

Bumi yang sekarang didiami oleh sekitar 8 milyar manusia, keliling lingkarannya sekitar 40 ribu kilometer panjangnya. Matahari, keliling lingkarannya sekitar 4,3 juta kilometer panjangnya. Matahari, dan 9 planetnya yang tergabung dalam Sistem Tata Surya, tergabung dalam galaksi Bima Sakti yang panjangnya sekitar 100 ribu tahun cahaya (kecepatan cahaya=300 ribu kilometer/detik!) bersama sekitar 100 milyar bintang lainnya. Galaksi Bima Sakti, hanyalah 1 galaksi di antara ribuan galaksi lainnya yang tergabung dalam 1 “Cluster”. Cluster ini bersama ribuan Cluster lainnya membentuk 1 Super Cluster. Sementara ribuan Super Cluster ini akhirnya membentuk “Jagad Raya” (Universe) yang bentangannya sejauh 30 Milyar Tahun Cahaya! Harap diingat, angka 30 Milyar Tahun Cahaya baru angka estimasi saat ini, karena jarak pandang teleskop tercanggih baru sampai 15 Milyar Tahun Cahaya.

Bayangkan, jika jarak bumi dengan matahari yang 150 juta kilometer ditempuh oleh cahaya hanya dalam 8 menit, maka seluruh Jagad Raya baru bisa ditempuh selama 30 milyar tahun cahaya. Itulah kebesaran ciptaan Allah! Jika kita yakin akan kebesaran ciptaan Tuhan, maka hendaknya kita lebih meyakini lagi kebesaran penciptanya.

Dalam Al Qur’an, Allah menjelaskan bahwa Dialah yang menciptakan langit, bintang, matahari, bulan, dan lain-lain:

“Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya.” [Al Furqoon:61]

Ada jutaan orang yang mengatur lalu lintas jalan raya, laut, dan udara. Mercusuar sebagai penunjuk arah di bangun, demikian pula lampu merah dan radar. Menara kontrol bandara mengatur lalu lintas laut dan udara. Sementara tiap kendaraan ada pengemudinya. Bahkan untuk pesawat terbang ada Pilot dan Co-pilot, sementara di kapal laut ada Kapten, juru mudi, dan lain-lain. Toh, ribuan kecelakaan selalu terjadi di darat, laut, dan udara. Meski ada yang mengatur, tetap terjadi kecelakaan lalu lintas.

Sebaliknya, bumi, matahari, bulan, bintang, dan lain-lain selalu beredar selama milyaran tahun lebih (umur bumi diperkirakan sekitar 4,5 milyar tahun) tanpa ada tabrakan. Selama milyaran tahun, tidak pernah bumi menabrak bulan, atau bulan menabrak matahari. Padahal tidak ada rambu-rambu jalan, polisi, atau pun pilot yang mengendarai. Tanpa ada Tuhan yang Maha Mengatur, tidak mungkin semua itu terjadi. Semua itu terjadi karena adanya Tuhan yang Maha Pengatur. Allah yang telah menetapkan tempat-tempat perjalanan (orbit) bagi masing-masing benda tersebut. Jika kita sungguh-sungguh memikirkan hal ini, tentu kita yakin bahwa Tuhan itu ada.

“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” [Yunus:5]

“Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” [Yaa Siin:40]

Sungguhnya orang-orang yang memikirkan alam, insya Allah akan yakin bahwa Tuhan itu ada:

“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.” [Ar Ra’d:2]

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” [Ali Imron:191]

Terhadap manusia-manusia yang sombong dan tidak mengakui adanya Tuhan, Allah menanyakan kepada mereka tentang makhluk ciptaannya. Manusiakah yang menciptakan, atau Tuhan yang Maha Pencipta:

“Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya?” [Al Waaqi’ah:58-59]

“Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya?”[Al Waaqi’ah:63-64]

“Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kamikah yang menjadikannya?” [Al Waaqi’ah:72]

Di ayat lain, bahkan Allah menantang pihak lain untuk menciptakan lalat jika mereka mampu. Manusia mungkin bisa membuat robot dari bahan-bahan yang sudah diciptakan oleh Allah. Tapi untuk menciptakan seekor lalat dari tiada menjadi ada serta makhluk yang bisa bereproduksi (beranak-pinak), tak ada satu pun yang bisa menciptakannya kecuali Allah:

“…Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” [Al Hajj:73]

Meng-Esa-kan Allah

Sesungguhnya, Nabi Muhammad SAW diutus Allah dengan misi menyampaikan kalimat Tauhid,yaitu agar manusia menyembah Allah semata dan tidak menyembah sembahan lainnya selain Allah.
Seorang Muslim wajib beriman atau mempercayai bahwa Tuhan itu ada. Sebagaimana TV, Mobil, Kulkas, dan lain-lain yang tidak mungkin terjadi dengan sendirinya tanpa ada pembuatnya, begitu pula langit, bumi, bintang, matahari, manusia, dan lain-lain. Tentu ada yang membuatnya, yaitu Allah!

“Kawannya (yang mu’min) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?” [Al Kahfi:37]

“Allah menciptakan langit dan bumi dengan hak. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang mu’min.” [Al ‘Ankabuut:44]

Setelah mempercayai keberadaan Tuhan, ummat Islam wajib beriman bahwa Tuhan itu satu.

Sesungguhnya, Nabi Muhammad SAW diutus Allah dengan misi menyampaikan kalimat Tauhid,yaitu agar manusia menyembah Allah semata dan tidak menyembah sembahan lainnya selain Allah:

“Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa”.

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.” [Al Kahfi:110]

Nabi-nabi sebelumnya, seperti Nabi Ibrahim juga mengajarkan tauhid kepada ummatnya, yaitu agar hanya menyembah satu Tuhan, yaitu: Allah, dan tidak mempersekutukan Allah dengan yang lain:

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan),” [An Nahl:120]

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” [An Nahl:123]

Luqman yang saleh pun dalam Al Qur’an diceritakan menasehati agar anaknya tidak mempersekutukan Allah dengan yang lain:

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.” [Luqman:13]

Seharusnya setiap orang tua mencontoh Luqman untuk menanamkan ajaran Tauhid kepada setiap anaknya.

Dalam Islam, mengesakan Allah adalah rukun yang pertama. Jika seorang masuk Islam, dia harus menyatakan bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusannya:

“Hadis Ibnu Umar r.a: Nabi s.a.w telah bersabda: Islam ditegakkan di atas lima perkara yaitu mengesakan Allah, mendirikan sembahyang, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadan dan mengerjakan Haji “ [HR Bukhori-Muslim]

Sesungguhnya Allah adalah Tuhan yang Maha Pencipta:

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” [Al An’aam:79]

“Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.” [Al An’aam:1]

Jika ada orang yang menyembah Tuhan selain Allah, misalnya berhala-berhala itu adalah perbuatan yang sia-sia, karena berhala itu bukanlah Tuhan yang Maha Pencipta. Justru berhala itulah yang dibuat oleh manusia:

“Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang.” [Al A’raaf:191]

“Katakanlah: “Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfa`at?” Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al Maa-idah:76]

Menyembah Yesus atau Isa sebagai Tuhan adalah dosa yang amat besar. Tuhan adalah Pencipta alam semesta, sedang Yesus atau Isa bukanlah pencipta alam semesta. Yesus atau Isa adalah seorang manusia yang dilahirkan dari rahim ibunya, Siti Maryam:

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” [Al Maa-idah:72]

Sesungguhnya, kafirlah orang yang mengatakan bahwa Tuhan itu bisa beranak dan dilahirkan layaknya manusia, sehingga ada lebih dari 1 Tuhan seperti Tuhan Bapa dan Tuhan Anak. Bagaimana Allah bisa punya anak, padahal dia tidak punya istri? Adakah (na’udzubillah min dzalik!) mereka mengira bahwa Tuhan berzina dengan Maryam sehingga punya anak di luar nikah? Allah SWT membantah kebohongan itu:

“Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.” [Al An’aam:101]

Dalam surat Al Ikhlas ditegaskan:

“Katakanlah: Allah itu Satu

Allah tempat meminta

Dia tidak beranak dan tidak diperanakan

Dan tak ada satu pun yang setara dengannya” [Al Ikhlas 1-4]

Sesungguhnya syirik atau mempersekutukan Tuhan adalah dosa yang amat besar:

“Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” [Al Hajj:31]

“Katakanlah: “Adakan perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)”.” [Ar Ruum:42]

Jelas sekali bukan ayat Al Qur’an di atas bagi orang-orang yang berpikir atau berakal bahwa syirik itu adalah perbuatan sesat dan dosa.

Sesungguhnya syirik atau mempersekutukan Tuhan itu adalah dosa yang tidak

terampuni. Ini adalah perkataan Allah SWT sendiri yang tertulis di dalam kitab suci Al Qur’an:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An Nisaa’:48]

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [An Nisaa’:116]

Jika seseorang melakukan kemusyrikan, maka sia-sialah amalnya meski mereka banyak berbuat hal-hal yang dianggap oleh manusia “baik”:

“Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” [Al An’aam:88]

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” [Az Zumar:65]

“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka.” [At Taubah:17]

Sesungguhnya, Tauhid (Mengakui Tuhan itu ada dan satu, yaitu Allah SWT), adalah hal paling penting dan pertama-tama yang harus dipelajari oleh seorang Muslim. Nabi Muhammad SAW selama 13 tahun masa-masa pertama kenabiannya, gigih menyampaikan ajaran Tauhid kepada orang-orang kafir Quraisy, begitu pula setelahnya.

Saya melihat banyak orang yang terlalu fokus pada masalah fikih, tasauf, dan lain-lain, tapi kurang mengkaji masalah Tauhid. Padahal Tauhid ini adalah dasar dari agama Islam. Akibatnya, aqidah ummat Islam jadi lemah. Betapa banyak orang yang sholat, tapi tetap korupsi, betapa banyak orang yang haji tapi tetap berzinah, dan bahkan ada muslimah yang berjilbab, akhirnya nikah dengan orang kafir dan menjadi kafir pula. Banyak orang yang murtad karena kurang beres Tauhid-nya. Itulah jika kita terlalu sibuk pada hal sekunder, sehingga lupa pada hal yang primer: Tauhid!

Amal Baik Jangan Ditunda - tunda

Oleh : *H. Moch. Hisyam**
*
Suatu ketika ada seseorang yang datang kepada Nabi SAW seraya bertanya, “*Wahai
Rasulullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya?” Lalu, beliau
menjawab, “Bersedekah selama kamu masih sehat, bakhil (suka harta), takut
miskin, dan masih berkeinginan untuk kaya. Dan janganlah kamu
menunda-nunda, sehingga apabila nyawa sudah sampai di tenggorokan maka kamu
baru berkata, “Untuk fulan sekian dan untuk fulan sekian’, padahal harta
itu sudah menjadi hak si fulan (ahli warisnya*.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Salah satu pelajaran yang terkandung dalam hadis yang diriwayat dari Abu
Hurairah di atas, menganjurkan kepada kita untuk bersegera bersedekah dan
melakukan amal-amal baik lainnya. Tegasnya, berbuat baik jangan
ditunda-tunda. Harus segera dilaksanakan.

Hal ini selaras dengan firman Allah SWT yang termaktub dalam Al-Qur’an
surat Al-Baqarah (2) ayat 148, “*Maka berlomba-lombalah kamu (dalam
berbuat) kebaikan*.”

Dalam hadisnya, Rasulullah SAW bersabda, “*Perlahan-lahan dalam segala
sesuatu itu baik, kecuali dalam perbuatan yang berkenaan dengan akhirat*.”
(H.R. Abu Dawud, Baihaqi dan Hakim).

Bila kita menunda-nunda amal kebaikan bisa menjadikan amal baik yang akan
kita lakukan itu tidak terlaksana. Itu karena kita tidak tahu kapan ajal
menjemput diri kita.****

Boleh jadi karena menunda-nunda amal ajal keburu menjemput diri kita
sehingga kita tidak sempat melakukan amal baik yang telah kita niatkan.

Selain itu, bila kita menunda-nunda amal baik bisa menyebabkan niat kita
menjadi berubah karena ketika kita menunda-nunda berbuat baik, sama dengan
membuka kesempatan pada hawa nafsu dan kepada syetan untuk mengganggu dan
menggoda diri kita untuk tidak melakukan kebaikan karena hawa nafsu dan
setan senantiasa mengajak kepada keburukan dan menghalangi untuk berbuat
kebaikan.

Allah SWT berfirman, “*Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan, kecuali nafsu yang diberi**
**rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Q.S. Yusuf (12) : 53).*

Dalam ayat lain, “*Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar
menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka
mendapat petunjuk.*” (Q.S. Az-Zukhruf (43) : 37).

Untuk itu, bila kita mempunyai niat untuk melakukan kebaikan hendaknya
bersegera melakukannya agar kita segera memperoleh kebaikan dan sebagai
upaya kita untuk menyempurnakan kebaikan yang kita lakukan.

Di dalam atsar Abdullah Ibnu Abbas R.A dikatakan, “*Tidak sempurna kebaikan
kecuali dengan menyegerakannya karena jika disegerakan, hal itu akan lebih
menyenangkan pihak yang berkepentingan*.”

Akhirnya, mari kita renungi sebuah kisah sebagai *ibrah* dan *mauizdah*bagi
kita untuk menyegerakan setiap kebaikan yang telah kita niatkan.

Dikisahkan, “Seorang saleh yang sedang berada di kamar mandi, pernah
memanggil budaknya dan menyuruhnya untuk memberikan sedekah kepada
seseorang.

Maka, budak itu berkata kepadanya, “*Mengapa tuan tidak bersabar dulu,
hingga tuan keluar dari kamar mandi?” Dia menjawab, “Saya mempunyai niat
untuk berbuat baik dan saya takut niat itu berubah. Oleh karena itu, begitu
mempunyai niat, saya segera mengikutinya dan melaksanakannya.” Wallahu’alam*

** **

*Redaktur :* Damanhuri Zuhri****