Tuesday, October 16, 2012

PERBURUHAN

Ada dua kejadian besar yang dianggap sebagai pemicu perubahan di dunia dan
terpolarisasi seperti yang nampak oleh kita sekarang, yakni revolusi
Perancis dan Revolusi Industri. Revolusi Perancis bisa dikatakan sebagai
tonggal awal diletakkannya dasar-dasar sekularisme modern, dimana rakyat
Perancis bergerak melawan ketertindasan yang diakibatnya otoriterisme pihak
kerajaan yang berkolaborasi dengan rezim kependetaan yang melegitimasi
kesewenangan kaum feodal atas nama dalil-dalil langit. Sehingga satu
teriakan revolusionernya adalah: *“Gantung raja terakhir dengan usus
pendeta terakhir!”* Jadi perlawanan dari akumulasi kemuakan dan kemarahan
massa rakyat terhadap penguasa politik dan feodalis religi dimulai dari
Perancis sana. Sedangkan Revolusi Industri adalah proses yang mengawali
perubahan struktur keluarga dan pandangan dasar kehidupan secara
fundamental dimana semua manusia kebanyakan pada akhirnya terjebak kepada
paham kebendaan (materialistis). Jadi dua revolusi yang seolah berbeda ‘*action
term*’nya tapi memiliki muara yang sama dalam menjauhkan manusia dari
nilai-nilai religi yang disebabkan oleh penyalahgunaan agama oleh kalangan
pendeta yang meligitimasi kezaliman penguasa.

Dan mulai dari waktu itulah dikenal adanya lapisan Pemilik modal yang
berperan sebagai majikan dan para pekerja (buruh) yang menjadi pelayan baru
bagi ambisi kalangan berduit itu. Kemudian menyeruaklah ideologi yang
menjadi pandangan hidup yakni Kapitalisme (Liberal) dan Komunisme
(Sosialis). Ideologi kedua ini bahkan menjadikan alat perburuhan sebagai
lambang suci pergerakkannya, yakni Palu dan Arit. Palu adalah alat bagi
buruh yang bekerja di pabrik-pabrik sedangkan Arit adalah alat yang dipakai
kalangan buruh tani dan perkebunan.

Penjauhan pergerakan kalangan pekerja dari nilai-nilai agama pada kasus di
nusantara ini justru terjadi mulai dari kalangan pergerakan Islam itu
sendiri. Yakni sejak menyelusupnya paham sosialis yang disusupkan ketubuh
Serikat Islam di Solo sehingga muncul gerakan Serikat Islam Merah yang
kelak bermetamorfosis menjadi Partai Komunis Indonesia. Sekalipun HOS
Cokroaminoto sebagai petinggi pergerakan telah berupaya mengakomodasi
ide-ide perlawanan kaum Sosialis dengan buku yang ditulisnya berjudul Islam
dan Sosialisme. Namun terkadang ide kalah cepat dengan gerakan, kebutuhan
fisik seringkali mengabaikan sisi bathin.

Seorang murid Cokroaminoto yang kemudian dijadikan Imam dan Ideolog yang
kokoh bagi pemberontakan besar kaum Islamis terhadap rezim nasionalis
Indonesia yang selalu gamang dalam berideologi , yakni SM Kartosuwiryo,
ternyata juga pernah menulis soal buruh di harian Fadjar Asia tertanggal 3
juni 1929, beliau berkata:

*“Inilah nasib si pemburuh yang bekerja membanting tulang. Upahnya sama
sekali tak sepadan dengan tenaga yang dipergunakannya, tak seimbang dengan
peluh dan keringat yang dikeluarkan bagi(pekerjaan)nya. Inilah agaknya yang
dapat menimbulkan perasaan yang kurang senang, bahkan sama sekali tidak
menyenangkan si pemburuh yang hanya cukup hidup dari sehari kesehari saja.*

*Kita rasa dan yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa kaum buruh diseluruh
Indonesia telah sadar akan kewajibannya dan akan bergerak di depan umum
buat menuntut hak-haknya sebagai demikian. Dari sebab itu, maka saya
mengharap sekalian sauadar-saudara kaum buruh pada pandhuisdienst pada
khususnya dan kaum buruh lainnya pada umumnya yang ada di Indonesia ini,
hendaklah suka menyerbukan diri dalam kalangan pergerakan kita agar supaya
segala apa yang kita kenang-kenangkan dapat dibuktikan dengan kekuatan
tenaga dan fikiran kita sendiri. Ingatlah pada pepatah: .. barangsiapa
ingin hidup haruslah ia berani mati!”*

Beliau menulis hal buruh tersebut pada era penjajahan Belanda, bagaimana
nasib buruh dijaman yang katanya merdeka ini?  Sisi lain dari sang pejuang
Islam ini, yang memberikan perhatian pada nasib ‘wong cilik’, banyak tidak
ditangkap oleh para pejuang Islam hari ini. Lucunya, kebanyakan pengklaim
pejuang Risalah Ilahi takut turun ‘gengsi’ jika berbicara soal rakyat
banyak karena menurut mereka ini hanya permasalahan perut. Mereka -para
du’at Islam-  mungkin juga dipenjara rasa kekhawatiran yang berlebihan
karena ada anggapan permasalahan buruh adalah lahan pergerakan kaum kiri.
Yang lebih mengerikan adalah munculnya kecurigaan jika banyak tokoh agama
justru hanya menjadi ‘tukang stempel’ dari penguasa dan pengusaha (pemilik
modal). Walhasil, ‘bendera merah’-lah yang pada akhirnya akrab menaungi
kaum buruh kita. *Astaghfirullohul ‘azhim...!*

Fenomena ramainya diskusi tentang urgensitas lembaga agama sebagai penerbit
sertifikat halal bagi produk yang dibutuhkan masyarakat muslim mengalahkan
khusyu’-nya kebanyakan aktivis Islam dalam mengupayakan jalan keluar bagi
kemelut kaum pekerja yang mayoritas adalah muslim. Padahal, masyarakat
muslim yang mayoritas juga adalah pekerja tidak akan mampu membeli apa-apa,
hatta barang yang masih diragukan halalnya sekalipun jika nasib mereka
terus berkutat pada perlakuan tidak manusiawi terkait upah layak yang
semestinya mereka dapatkan. Jadi, teologi yang didakwahkan mestinya membumi
pada faktor manusia itu sendiri, karena hukum Tuhan yang getol
diperjuangkan sebenarnya juga bagi kepentingan kemashlahatan manusia.
Konsep ubudiyah bukanlah semata-mata membesarkan norma-norma agama, karena
agama sendiri akan tegak jika sektor ma’isyah (pencaharian hidup)
manusianya terpenuhi secara wajar.

Adalah ironi, jika para aktivis dakwah membuat sistem dan jaringan untuk
mampu ‘mengeruk’ potensi ummat yang kebanyakan kaum buruh itu dengan
mendirikan berbagai model perbankan ataupun lembaga keuangan mikro yang
berlabelkan Syari’ah, tapi sementara itu, mereka tidak cukup peduli pada
kelayakan derajat pengupahan kalangan pekerja muslim? Mengapa juga
ulama-ulama level Nasional, misalnya, tidak bergerak merumuskan fatwa-fatwa
yang membela kepentingan kaum buruh yang terus termarginalkan oleh sistem
ekonomi yang pro kapitalisme ini? Betapapun kita sibuk membuat deretan
produk institusi keuangan yang halal, bukankah percuma jika daya simpan
(saving) masyarakat tidak wujud? Akankah tidak lebih baik kita berfokus
pada upaya merombak dan menghancurkan sistim ekonomi yang hanya berpihak
kepada pemilik modal dan keserakahan pembuat kebijakan, yakni menentukan
keberpihakan dan menjalin kebersamaan hati, pikiran dan tindakan dengan
kaum pekerja yang merupakan kalangan mustadh’afin? Bukankah Alloh Azza wa
Jalla adalah Rabbul Mustadh’afin dan Dia mengijabah doa-doa kaum tertindas?

*Upah dan Kesejahteraan*

Isu upah adalah permasalahan yang menjadi ‘hotspot’ kalangan perburuhan
karena upah adalah indikator kesejahteraan yang paling substansial dalam
dunia kerja. Masalah upah bagi buruh betul-betul masalah hidup mati jika
kita sepakat bahwa pengertian lapisan buruh adalah kelompok masyarakat
kebanyakan yang tidak memiliki apa-apa selain tenaga kasar yang dapat
ditukarkan bagi kelangsungan hidup mereka. Kezaliman sistem dalam hal ini
dapat kita jadikan sebagai tertuduh utama yang melanggengkan cara berbagai
rezeki Tuhan secara tidak manusiawi. Yakni eksploatasi  manusia oleh
manusia lainnya sehingga hari-hari yang terjadi adalah cerita siapa makan
siapa, *innalillahi wa inna ilaihi roji’un!*

Hanya kalangan pengusaha bermental lintah darat saja yang tidak mau peduli
dengan derajat upah yang diberlakukan bagi orang-orang yang telah berjasa
besar menggerakan roda usaha yang membuat dirinya kayaraya itu. Dimana
–jika sang bos adalah muslim juga- ia bisa naik haji, beribadah dengan
fasilitas yang mewah dan serba plus atau sang bos dengan keluarga serta
kroni-kroninya bisa makan-makan dan berpesta setiap malam di hotel-hotel
berbintang, menjamu penguasa sipil dan militer serta berlibur ke manca
negara berkat kerja keras lapisan pekerja yang terpaksa harus loyal walau
hanya demi penghidupan mereka yang ala kadarnya itu.

Terlalu melimpah dalil-dalil agama dalam Islam yang memuliakan manusia
secara keseluruhan maupun yang mengatur secara adil dan bijaksana hubungan
antara majikan dengan pekerjanya. Kemenangan ukhrowi tidak pernah
didikotomikan oleh Islam dari kesuksesan duniawi yang berwujud
kesejahteraan hidup manusia. Itu sebabnya, pejuang Islam semisal SM
Kartosuwiryo urun pendapat bahkan terjun bergerak menyoal nasib kaum buruh.
Beliau menyadari bahwa sistem dan para penyembahnyalah yang layak dijadikan
tertuduh tunggal dari kesengsaraan masyarakat. Sistem, menurut hemat kami,
adalah produk dari budaya yang dianut sebuah masyarakat sementara budaya
hanyalah anak kandung dari nilai dan struktur yang mendominasi masyarakat.
Maka nilai-nilai Islam yang diperjuangkan SM Kartosuwiryo itulah kemudian
mengkristal dalam bentuk penegakan cita Negara Islam Indonesia sebagai
wahana struktural masyarakat ‘republiken’ yang mencintai Islam. Benar atau
salahnya ijtihad beliau bersama para tokoh Islam dimasanya telah beliau
tebus dengan gagah beraninya berjuang naik turun gunung selama 13 tahun dan
berujung eksekusi mati.

Kesejahteraan manusiawi adalah batasan ideal atas perolehan setiap anggota
masyarakat dari akumulasi pendapatan (upah) kerja yang dilakukan secara
legal sesuai sistem yang ada dalam masyarakatnya. Maka jika dikaitkan
nilai-nilai dasar Islam, seorang dapat dikatakan sejahtera jika ia mampu
beribadah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dengan baik dan benar. Yakni
manusia yang mampu mendapatkan kemampuan dan kebebasan mengaktualisasikan
keyakinan  (syahadatain) serta seluruh tuntunan syari’at agamanya, mulai
dari sholat hingga Jihad. Jadi kesejahteraan minimal bagi seorang muslim
dapat diukur bisa tidaknya seseorang membayar zakat dan menunaikan haji ke
tanah suci sekali seumur hidupnya. Jika sistem yang mengikat hubungan
pengusaha dan pekerja hanya mampu memberikan batas minimal upah pekerja
yang diselaraskan dengan asupan makan (pangan), kepantasan pakaian(sandang)
dan keteduhan bernaung dari angin (papan), hujan dan panas apalagi jika
kenyataannya banyak kaum buruh kita belum dapat memperoleh hak-hak
minimalnya maka kita bisa memastikan bahwa kesejahteraan hanyalah utopia
(mimpi indah) dari janji penguasa dan pengusaha yang tidak mungkin tercipta.

*Realitas Kemiskinan: Fakta atau Rekayasa?*

Data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2007 menunjukkan bahwa rata-rata upah
minimum masyarakat Indonesia telah mencapai Rp. 1.000.000,-  ( 5 kali lipat
dari 12 tahun sebelumnya (1995) yang hanya rata-rata Rp. 200.000,-) namun
ketika kita bandingkan daya beli masyarakat yang pada tahun 1995 hanya
selisih sedikit dengan pendapatan mereka sedangkan pada masa 12 tahun
kemudian daya beli masyarakatnya lebih rendah 800.000-an dari pendapatannya
maka berarti kebanyakan upah masyarakat telah habis untuk memenuhi
kebutuhan pokok saja dan hilangnya kemampuan  saving
(penghematan/tabungan), pendeknya,  jarak masa 12 tahun (1995-2007) bahkan
10 tahun setelah era Reformasi tidak terjadi peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Lantas uang-uang yang banyak di Bank-bank punya siapa?
Mall-mall mewah yang menjamur di berbagai kota besar dan kecil, mobil-mobil
mewah yang bersliweran, tempat-tempat hiburan yang bermunculan, itu semua
untuk siapa? Apakah masa lima tahun setelahnya yakni sekarang, sudah
terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang mayoritas kaum pekerja
itu? Sehingga bangsa ini boleh berbangga dengan angka pertumbuhan ekonomi
diatas 6 % pertahunnya?

Hal inilah yang mengakibatkan munculnya kecurigaan rakyat kebanyakan bahwa
kemiskinan di negri-negri berkembang seperti Indonesia ini bukan disebabkan
budaya rakyatnya ataupun miskinnya alam sekitar tapi lebih disebabkan
kosongnya rezim penguasa dan kalangan pengusaha dengan didukung pilar-pilar
aparat keamanan bersenjata serta kaum pintar yang menggawangi Hukum dari
perspektif keadilan sosial yang hakiki. Rakyat juga merasa, bahwa kalangan
pemilik modal sudah membeli para penggaris kebijakan dan penegak keadilan
sehingga nasib mereka tidak lebih sebagai sapi perahan dari ambisi dan
kesenangan kaum pemodal. Bahkan tidak hanya itu, sejak dini semestinya
kalangan yang mengaku sebagai Pemuka Agama sudah harus menyadari akan
adanya bahaya yang dahsyat dari munculnya kekecewaan rakyat yang merupakan
pekerja keras dan pemilik syah dari kemajuan pembangunan materi di negri
ini terhadap mereka. Kekecewaan yang akan mempersetankan semua dalil-dalil
religi, *wa’iyyadzubillah!*

*(Abdurrahman S.)*

0 comments:

Post a Comment

Saudaraku......silahkan berikan komentar antum,,,,, untuk menjadi pelajaran bagiku.... jazakumullah....