Thursday, October 25, 2012

Menikahlah dengan orang yang bertakwa

DALAM hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan agar mengutamakan
faktor agama dan keshalihan dalam memilih calon suami/istri. Diantara
empat faktor yang biasanya melatari pilihan seseorang, yaitu
kecantikan/ketampanan, kekayaan, status sosial,dan agama, beliau
menyarankan untuk mengedepankan sisi agama, agar kita beruntung. Apa
sebenarnya keberuntungan yang beliau maksudkan?

Ibnu Qutaibah ad-Dinawari menceritakan dalam kitab ‘Uyunul Akhbar,
bahwa seseorang berkonsultasi kepada al-Hasan al-Bashri, “Saya
memiliki seorang anak gadis, dan ia sudah dilamar orang. Kepada siapa
saya harus menikahkannya?” Maka, beliau pun menjawab, “Nikahkan dia
dengan orang yang bertakwa kepada Allah. Jika orang itu mencintai
putrimu, ia akan memuliakannya; dan jika ia membencinya, ia tidak akan
menzhaliminya.”

Jadi, inilah rahasianya: perlakuan yang layak, pergaulan yang
menyenangkan, dan kehidupan yang tenang. Bukankah semua itu yang
paling dirindukan oleh setiap orang, sehingga ia berharap suatu saat
bisa berkata: “rumahku adalah surgaku”?

Nasehat al-Hasan diatas bisa juga dimaknai bahwa “agama” dan ketakwaan
bukan hanya nama dan kualifikasi akademis; namun perilaku dan
tindak-tanduk. Walau pun seseorang sangat mahir ilmu-ilmu agama, namun
jika perilakunya tidak mencerminkan orang berilmu (apalagi orang
beragama), sebenarnya dia termasuk orang bodoh dan belum beragama.
Menurut Islam, ilmu dipelajari untuk diamalkan, mengubah perilaku, dan
diambil manfaatnya sehingga memberi kontribusi positif kepada
kehidupan, bukan hanya untuk dipamerkan dan dibangga-banggakan.

Al-Hasan al-Bashri berkata, “Dulu, bila seseorang telah mempelajari
satu bab dari ilmu, maka tidak lama kemudian (pengaruhnya) bisa
dilihat pada kekhusyu’annya, matanya, lisannya, tangannya,
kezuhudannya, keshalihannya, dan seluruh tubuhnya. Jika seseorang
telah benar-benar mengkaji satu bab ilmu (seperti itu), sungguh itu
lebih baik dibanding dunia dan seisinya.” (Riwayat Ibnu Batthah dalam
Ibthalul Hiyal).

Dengan kata lain, agama telah menjadi “dirinya”, baik di saat
sendirian maupun bersama orang lain, susah maupun senang, kaya maupun
miskin, muda maupun tua. Ibaratnya, agama telah tercampur bersama
darah, seirama dengan detak jantung, dan merasuk hingga ke tulang
sungsum. Seluruh aktivitasnya dikendalikan oleh nilai-nilai agama yang
diyakininya, sehingga hidupnya diberkahi dan menentramkan. Bila Allah
menganugerahinya kesempurnaan fisik, maka menjadi tali pengikat yang
semakin mengokohkan hubungan. Bila Allah memberinya harta, maka
dibelanjakannya di jalan kebajikan. Jika Allah menetapkan untuknya
status sosial yang baik, maka pengaruhnya dia pergunakan untuk
kebenaran.

Sebagian orang memang bisa beralasan bahwa harta yang cukup akan
membuat kehidupan rumah tangga tenteram dan harmonis. Namun faktanya
tidak selalu demikian, sebab harta hanyalah sarana. Bagaimana ia
digunakan, sangat tergantung kepada pemiliknya. Benar, bahwa dengan
harta itu seorang suami kaya mampu mencukupi istri dan keluarganya
secara wajar. Tetapi jika ia tidak beragama, maka dengan kekayaannya
pula ia bisa lebih mudah menyakiti istri dan keluarganya itu, misalnya
membayar wanita nakal dan berselingkuh. Hal sebaliknya juga bisa
dilakukan si istri, jika ia tidak beragama.

Oleh karenanya, Ibnul A’rabi berkata, “Jika engkau mencari wanita
untuk diperistri tanpa pernah mengenalnya sebelum itu, maka
perhatikanlah siapa ayah dan paman/bibinya (dari pihak ibu). Sebab,
keduanya adalah bagian dari wanita itu, sebagaimana dia pun bagian
dari mereka; mirip sepasang tali sandal. Bila yang kaucari darinya
adalah harta, maka sungguh akan datang setelah itu kebosanan dan
malapetaka.”

Koran, televisi, dan media massa modern adalah saksi dari kebosanan
dan malapetaka tsb. Tidak sedikit suami-istri yang – menurut sebagian
orang – disebut-sebut sebagai “pasangan ideal”. Konon kekayaan,
kecantikan, ketampanan, bakat, dan popularitas mereka nyaris sempurna.
Namun, tiba-tiba mereka terjerat kecanduan obat bius dan alkohol,
perselingkuhan, pertengkaran hebat, trauma kekerasan fisik dan mental,
dsb. Sepasang mantan kekasih yang dikagumi jutaan orang itu tiba-tiba
bermusuhan sangat serius di pengadilan, lalu bercerai secara tragis.
Mereka tidak menemukan kebahagiaan dan ketenangan bersama pasangan
idealnya. Mengapa?

Kita juga sering mendengar orang-orang yang berpacaran dan melakukan
“penjajakan” selama bertahun-tahun, bahkan sebagian telah tinggal
serumah tanpa ikatan pernikahan. Suatu saat mereka kemudian siap
menikah, namun rumah tangganya terbukti hanya mampu bertahan dalam
hitungan bulan. Sekali lagi, mengapa?

Baiklah. Sekarang, kita tidak usah meneliti kesalahan orang lain. Mari
menyelisik motif-motif kita sendiri dalam membangun rumah tangga, dan
memperbaikinya selagi masih ada kesempatan. Cara terbaik adalah sekuat
tenaga menanamkan agama agar benar-benar menjadi identitas diri.
Sebab, bila tidak, kita pasti menghadapi terlalu banyak masalah yang
menyulitkan.

Allah berfirman:

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا
وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً

“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada
kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati
(kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS:
Al-Furqan: 74).

Menurut Imam ath-Thabari, makna ayat ini adalah: memohon agar anak dan
istri kita dijadikan sebagai orang-orang yang sejuk dipandang mata,
karena selalu taat kepada Allah; dan memohon agar kita dijadikan
teladan bagi orang-orang yang bertakwa dalam kebaikan-kebaikan. Tentu
saja, menjadi teladan dan imam bagi orang bertakwa bukan perkara mudah
dan tidak bisa diraih dengan berpangku tangan, namun ia sangat layak
diharapkan dan diperjuangkan. Amin. Wallahu a’lam.*

0 comments:

Post a Comment

Saudaraku......silahkan berikan komentar antum,,,,, untuk menjadi pelajaran bagiku.... jazakumullah....