Shofwan bin ‘Asal al-Muradi berkata: Aku pernah datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menuntut ilmu.” Beliau pun menjawab, “Selamat datang, wahai penuntut ilmu. Sesungguhnya penuntut ilmu diliputi oleh para malaikat dan mereka menaunginya dengan sayap-sayap mereka. Kemudian sebagian mereka (malaikat, pent) menaiki sebagian yang lain sampai ke langit dunia karena mencintai apa yang mereka lakukan.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 37)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebagian di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, kebodohan merajalela, khamr ditenggak, dan perzinaan merebak.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-’Ilm[80] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2671]). Yang dimaksud terangkatnya ilmu bukanlah dicabutnya ilmu secara langsung dari dada-dada manusia. Akan tetapi yang dimaksud adalah meninggalnya para ulama atau orang-orang yang mengemban ilmu tersebut (lihatFath al-Bari [1/237]).
Hal itu telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin Amr al-Ash radhiyallahu’anhuma, “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu itu secara tiba-tiba -dari dada manusia- akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan cara mewafatkan para ulama. Sampai-sampai apabila tidak tersisa lagi orang alim maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin dari kalangan orang yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dalamKitab al-’Ilm [100] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2673])
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.” (lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata, “Allah subhanahu menjadikan ilmu bagi hati laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana tanah/bumi tidak akan hidup kecuali dengan curahan air hujan, maka demikian pula tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan ilmu.” (lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 227).
Imam al-Auza’i rahimahullah
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkat
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu
Syaikh as-Sa’di rahimahullah
Imam Ibnul A’rabi rahimahullah berkata, “Seorang yang berilmu tidak dikatakan sebagai alim robbani sampai dia menjadi orang yang -benar-benar- berilmu, mengajarkan ilmunya, dan juga mengamalkannya.” (lihat Fath al-Bari [1/197])
Lebih daripada itu, ahli ilmu yang sejati adalah yang selalu merasa takut kepada Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang benar-benar merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28). Karena ilmu dan rasa takutnya kepada Allah, maka para ulama menjadi orang-orang yang paling jauh dari hawa nafsu dan paling mendekati kebenaran sehingga pendapat mereka layak diperhitungkan dalam kacamata syari’at Islam (lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 52).
Masruq berkata, “Sekadar dengan kualitas ilmu yang dimiliki seseorang maka sekadar itulah rasa takutnya kepada Allah. Dan sekadar dengan tingkat kebodohannya maka sekadar itulah hilang rasa takutnya kepada Allah.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Sesungguhnya rasa takut yang sejati itu adalah kamu takut kepada Allah sehingga menghalangi dirimu dari berbuat maksiat. Itulah rasa takut. Adapun dzikir adalah sikap taat kepada Allah. Siapa pun yang taat kepada Allah maka dia telah berdzikir kepada-Nya. Barangsiapa yang tidak taat kepada-Nya maka dia bukanlah orang yang -benar-benar- berdzikir kepada-Nya, meskipun dia banyak membaca tasbih dan tilawah al-Qur’an.” (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 31)
Ibnu Wahb menceritakan, suatu saat Abud Darda’ radhiyallahu’anhu
Ibnu Baththal berkata, “Barangsiapa yang mempelajari hadits demi memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya maka kelak di akherat Allah akan memalingkan wajahnya menuju neraka.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
Waki’ bin al-Jarrah rahimahullah
Hisyam ad-Dastuwa’i rahimahullah berk
Sa’ad bin Ibrahim rahimahullah pernah ditanya; Siapakah yang paling fakih (paham agama, pent) di antara ulama di Madinah? Maka beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling bertakwa di antara mereka.” (lihat Ta’liqat Risalah Lathifah, hal. 44).
Ibnus Samak rahimahullah berkata, “Wahai saudaraku. Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain untuk ingat kepada Allah sementara dia sendiri melupakan Allah. Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain takut kepada Allah akan tetapi dia sendiri lancang kepada Allah. Betapa banyak orang yang mengajak ke jalan Allah sementara dia sendiri justru meninggalkan Allah. Dan betapa banyak orang yang membaca Kitab Allah sementara dirinya tidak terikat sama sekali dengan ayat-ayat Allah. Wassalam.” (lihatTa’thirul Anfas, hal. 570)
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah
Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata,
Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu dengan dalih untuk fokus beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan dalih untuk fokus menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 44-45)
Abu Abdillah ar-Rudzabari rahimahullah
Yusuf bin al-Husain menceritakan: Aku bertanya kepada Dzun Nun tatkala perpisahanku dengannya, “Kepada siapakah aku duduk/berteman dan belajar?”. Beliau menjawab, “Hendaknya kamu duduk bersama orang yang dengan melihatnya akan mengingatkan dirimu kepada Allah. Kamu memiliki rasa segan kepadanya di dalam hatimu. Orang yang pembicaraannya bisa menambah ilmumu. Orang yang tingkah lakunya membuatmu semakin zuhud kepada dunia. Bahkan, kamu pun tidak mau bermaksiat kepada Allah selama kamu sedang berada di sisinya. Dia memberikan nasehat kepadamu dengan perbuatannya, dan tidak menasehatimu dengan ucapannya semata.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71-72)
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr menceritakan: Suatu saat aku mengunjungi salah seorang bapak tua yang rajin beribadah di suatu masjid tempat dia biasa mengerjakan sholat. Beliau adalah orang yang sangat rajin beribadah. Ketika itu dia sedang duduk di masjid -menunggu tibanya waktu sholat setelah sholat sebelumnya- maka akupun mengucapkan salam kepadanya dan berbincang-bincang dengannya. Aku berkata kepadanya, “Masya Allah, di daerah kalian ini banyak terdapat para penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Kukatakan, “Iya benar, di daerah kalian ini masya Allah banyak penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Dia mengulangi perkataannya kepadaku dengan nada mengingkari. “Daerah kami ini?!”. Kukatakan, “Iya, benar.” Maka dia berkata, “Wahai puteraku! Orang yang tidak menjaga sholat berjama’ah tidak layak disebut sebagai seorang penuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 36-37)
Bertakwalah, Wahai Para Penimba Ilmu!
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan menjadikan untuk kalian furqan, menghapuskan dosa-dosa kalian dan mengampuninya untuk kalian. Allah lah pemilik keutamaan yang sangat besar.” (QS. Al-Anfal: 29)
Tatkala seorang hamba menunaikan ketakwaan kepada Rabb-nya maka itu merupakan tanda kebahagiaan dan alamat kemenangan baginya. Allah telah menyiapkan balasan yang melimpah berupa kebaikan di dunia dan di akhirat bagi orang yang bertakwa. Dalam ayat di atas, Allah menyebutkan bahwa orang yang bertakwa kepada Allah akan memetik empat keutamaan:
- Furqan; yaitu berupa ilmu dan hidayah yang dengannya ia bisa membedakan antara petunjuk dengan kesesatan, antara kebenaran dengan kebatilan, antara halal dengan haram, antara golongan orang yang berbahagia dengan golongan orang yang celaka
- Dihapuskannya dosa
- Pengampunan atas dosa. Kedua istilah ini sama maksudnya jika disebutkan dalam keadaan terpisah dari yang satunya. Adapun jika disebutkan secara beriringan, maka yang dimaksud dengan penghapusan dosa adalah untuk dosa-dosa kecil sedangkan yang dimaksud dengan pengampunan dosa ialah untuk dosa-dosa besar
- Pahala dan ganjaran yang melimpah ruah bagi orang-orang yang bertakwa kepada-Nya dan lebih mengutamakan keridhoan-Nya di atas hawa nafsu mereka (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 319 cet. Ar-Risalah)
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa ciri utama orang yang bertakwa adalah mengimani perkara yang gaib. Hakikat iman itu sendiri adalah membenarkan secara pasti terhadap segala yang diberitakan oleh para rasul, yang di dalam pembenaran itu telah terkandung ketundukan anggota badan terhadap ajaran mereka. Memang, yang menjadi ukuran utama keimanan bukanlah keyakinan terhadap perkara yang terjangkau oleh indera. Sebab hal itu tidaklah membedakan antara orang yang muslim dengan yang kafir. Sesungguhnya yang menjadi karakter ketakwaan yang paling utama adalah iman terhadap perkara gaib; sesuatu yang tidak bisa kita lihat secara langsung dan tidak kita saksikan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 40 cet. Ar-Risalah)
Wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
0 comments:
Post a Comment
Saudaraku......silahkan berikan komentar antum,,,,, untuk menjadi pelajaran bagiku.... jazakumullah....